,

Opini : CSR dan Pembangunan Perkotaan yang Berkelanjutan (Bagian 1)

CSR adalah Caranya; Keberlanjutan adalah Tujuannya

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) adalah konsep yang sangat dan semakin popular—di tengah upaya cukup banyak akademisi untuk ‘membunuh’-nya—dalam literatur ilmiah mengenai kaitan antara bisnis dan masyarakat.  Berbagai analisis bibliometrik mengungkapkan itu.  Namun, popularitas konsep itu di dataran ilmiah tidak secara otomatis  membuatnya dipahami masyarakat.  Reduksi makna bahkan pembelokan yang membuat istilah tersebut menjadi pejoratif terus terjadi.

Sejatinya, CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang timbul dari keputusan dan aktivitasnya.  Tujuannya adalah untuk menyumbang pada pencapaian pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. ISO 26000 Guidance on Social Responsibility, standar internasional yang dibuat selama sekitar 10 tahun dengan melibatkan lebih dari 50.000 orang dan disetujui oleh 93% negara anggota ISO—termasuk Indonesia!—itu menyatakan bahwa tanggung jawab sosial berarti  “responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, including health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practised in its relationships.”

Pengertian tersebut sudah ajeg sejak awal CSR dibincangkan para pakar.  Howard Bowen—orang yang disebut sebagai Bapak CSR oleh Archie Carroll, dan disetujui oleh jumhur pakar, setelah memeriksa sejarah konstruk definisional CSR—pada tahun 1953 saja sudah mengajukan pengertian yang sama.  Kalau kemudian beragam survei atas definisi itu—satu artikel yang paling kerap dirujuk adalah dari Alexander Dahlsrud—diperhatikan, tak mungkin kita lolos dari kesimpulan bahwa perbedaan yang ada di dalam definisi adalah perbedaan artikulatif dan penekanan belaka.  Sementara, secara substansial semuanya sama.  Perusahaan memang diharapkan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk bertanggung jawab atas dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkannya.

Dampak sendiri terdiri dari dua kategori besar, yaitu negatif dan positif.  Lagi-lagi, jumhur pakar CSR sangat tegas dalam urusan ini.  Perusahaan perlu untuk mengurusi dampak negatifnya terlebih dahulu sebelum dampak positifnya.  Tidak musti seluruh dampak negatif, namun dampak negatif yang paling signifikan harus diurusi dengan benar.  ‘Benar’ di sini berarti tunduk pada hierarki pengelolaan dampak negatif: menghindari, meminimisasi, merehabilitasi, baru kemudian mengkompensasi.

Jadi, perusahaan tak bisa secara sembarangan melompat ke ujung hierarki sebelum yang lain dijalankan.  Tentu saja, karena dampak negatif yang signifikan harus diurus dengan benar, maka yang pertama kali dilakukan adalah memetakan seluruh potensi dampak negatif itu, lalu menyusun strategi pengelolaan yang sesuai dengan hierarki tersebut.

Sementara, dampak positif bisa diurus ‘hanya’ dengan dua langkah, yaitu mengetahui seluruh potensinya, lalu melakukan maksimisasi atasnya.  Dampak positif itu bisa dari proses produknya (misal ketenagakerjaan dan peluang bisnis untuk masyarakat lokal); serta dari produk yang bisa membantu memcahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, dengan harga yang terjangkau, sehingga makin banyak masyarakat yang terbantu.

Proses produksi dan produk yang ramah ekonomi-sosial-lingkungan itulah yang menjadi tujuan antara dari CSR.  Sementara, tujuan akhirnya, sekali lagi, adalah keberlanjutan dunia.  Dan ini hanya mungkin terjadi bila perusahaan—juga organisasi pemerintahan dan masyarakat sipil—mengusung tanggung jawab sosialnya dengan benar.

Dana CSR atau Anggaran CSR?

Dengan pengertian CSR yang demikian, lalu apa yang dimaksud dengan dana CSR yang banyak sekali menjadi pembicaraan masyarakat awam.  Kalau kita periksa wacana tentang dana CSR yang berkembang di masyarakat lewat analisis isi di media massa tampaknya yang dimaksud adalah donasi perusahaan.  Ini merupakan kesalahan paling umum yang ditemui di negeri ini—dan juga negara-negara berkembang lainnya.  Para pakar sendiri kerap mengingatkan bahwa CSR adalah tentang bagaimana perusahaan menciptakan keuntungan, bukan tentang perusahaan berbagi sebagian dari keuntungan itu.

Tentu saja sah bila perusahaan hendak membagi sebagian keuntungannya, sebagai bentuk dari apa yang kerap disebut ‘giving back to society’.  Tapi itu tidak kemudian membuat perusahaan boleh seenaknya sendiri melupakan tanggung jawab atas dampak negatifnya terlebih dahulu, dan dampak positif lain yang bisa dibuat melalui proses produksi yang inklusif dan adil serta produknya.  Pendeknya, donasi perusahaan adalah sah saja sebagai salah satu cara ber-CSR, namun tidak menghapus tanggung jawab yang lebih esensial.

Untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya itu, tentu perusahaan memerlukan anggaran—dan sumberdaya yang lain.  Kalau ISO 26000 kembali dirujuk, maka perusahaan harus menegakkan prinsip transparan, akuntabel, berperilaku etis, patuh pada hukum, hormat kepada para pemangku kepentingan, hormat pada norma perilaku internasional, serta mengormati HAM.  Di samping ketujuh prinsip tersebut, perusahaan juga wajib mengurusi tujuh hal yang disebut sebagai subjek inti, yaitu tata kelola, HAM, ketenagakerjaan, lingkungan, praktik operasi yang adil, isu-isu konsumen, serta pelibatan dan pengembangan masyarakat.

Nah, anggaran CSR, menurut para pakar adalah anggaran perusahaan yang dimanfaatkan untuk menegakkan ketujuh prinsip dan mengurus ketujuh subjek inti itu.  Alias, seluruh anggaran perusahaan.  Ini merupakan konsekuensi logis bila tanggung jawab sosial diintegrasikan ke dalam seluruh operasi perusahaan.

Dan, tentu saja, anggaran tersebut tidak bisa diberikan kepada pihak lain, kecuali memang pihak tersebut bekerja sama dengan perusahaan untuk mewujudkan minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positifnya.  Juga penting dicatat bahwa bila sebagian anggaran tersebut diberikan kepada pihak lain, tanggung jawab atas dampak tetap melekat pada perusahaan, bukan pada pihak lain yang menjadi mitra atau kontraktor perusahaan.

Penyelewengan ‘Dana CSR’

 Lalu, mengapa penyelewengan makna ‘dana CSR’ sedemikian massifnya?  Tentu, selain honest mistake berupa ketidaktahuan, ada penjelasan yang lebih mungkin, yaitu kecenderungan koruptif dan upaya meloloskan diri dari tanggung jawab dengan menutup-nutupi dampak negatif.  Mereduksi CSR menjadi sekadar donasi tentu bisa membuat siapapun berkubang dalam kolam penuh uang.  Ini berlaku bagi mereka yang berada di dalam perusahaan maupun yang menjadi perantara maupun penerimanya.

Aktivitas pertambangan di dekat sungai, Kalteng. Foto: Walhi Kalteng
Aktivitas pertambangan di dekat sungai, Kalteng. Foto: Walhi Kalteng

Di sini kemudian perlu ditekankan kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan yang kontroversial paling kerap melakukan reduksi dan pembelokan makna CSR itu.  Ada sejumlah besar penelitian yang membuktikan kecenderungan tersebut.  Perusahaan-perusahaan yang sedang bermasalah dengan masyarakat cenderung menghamburkan donasi ke pihak-pihak yang ‘strategis’ tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalah yang membuat masyarakat menjadi kecewa dan marah.

Perusahaan yang berada pada sektor-sektor yang disebut controversial, irresponsible, atau sinful industries juga yang cenderung paling ‘murah hati’.  Di dalamnya termasuk industri rokok, minuman keras, nuklir, dan belakangan juga—lantaran emisinya disebut-sebut paling berkontribusi pada perubahan iklim antropogenik—otomotif, minyak dan batubara.  Perusahaan yang sedang ‘ada maunya’, misalnya yang sedang mengincar projek-projek pemerintah tertentu, atau hendak memohon (perpanjangan) ijin juga cenderung royal.

Tidaklah mengherankan bila banyak di antara perusahaan seperti di atas kemudian menempatkan banyak uang yang mereka pergunakan untuk menyuap atau memberi gratifikasi ke dalam apa yang mereka namakan ‘dana CSR’.  Kalau ditelisik lebih dalam, hampir pasti perusahaan-perusahaan itu akan memasukkan kegiatan seperti membayari aparat tertentu untuk perjalanan dinas, membelikan mereka barang, dan yang sejenisnya ke dalam ‘dana CSR’.

Dan, lantaran pertanggungjawaban atas dana tersebut memang sumir, maka para penanggungjawabnya di dalam perusahaan tak sedikit yang mengambilnya untuk kepentingan memperkaya diri sendiri.  Ini sama sekali bukan cerita rahasia di antara mereka yang menggeluti (beragam penyelewengan) CSR.  Sudah jamak dipahami bahwa perusahaan-perusahaan yang gemar menghamburkan donasi adalah mereka yang tata kelolanya tak beres.

Secara umum mereka yang membelokkan makna CSR menjadi sekadar donasi dengan tujuan menutupi dampak negatifnya atau mendapatkan akses terhadap para pengambil keputusan atau pemangku kebijakan itu disebut sebagai pelaku CSR-washing.  Dan CSR-washing ini bertentangan secara diametrikal dengan tujuan CSR.

Pelaku CSR-washing menginginkan citra sebagai perusahaan yang ramah ekonomi-sosial-lingkungan; sementara CSR menekankan pada kinerja yang benar-benar ramah.  Tentu saja perusahaan yang ber-CSR perlu berkomunikasi, namun dengan komunikasi yang tak boleh melampaui kinerja yang sesungguhnya, dengan secara terbuka mengungkap dampak negatif dan positifnya.  Balance adalah salah satu rule of the tumb dari komunikasi CSR.

Tulisan kedua bisa dilihat di tautan ini

*JalalReader on Political Economy and Corporate GovernanceThamrin School of Climate Change and Sustainability

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,