,

20 Tahun Penjara untuk Terdakwa Pembunuh Salim Kancil, Cerminkan Keadilan?

Raut muka sedih dan tegang terpancar di wajah Tijah, istri almarhum Salim Kancil, korban yang dianiaya hingga tewas oleh puluhan orang pada 26 September 2015, di Balai Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Tijah terlihat di ruang sidang Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (23/06/2016), saat Hakim Ketua Sidang Jihad Arkanuddin membacakan vonis pada 2 terdakwa, Hariyono dan Madasir, otak sekaligus pelaku penganiayaan dan pembunuhan Salim Kancil.

“Vonis penjara kepada terdakwa satu Hariyono bin Salim, dan terdakwa dua Madasir alias Abdul Kholik bin Azwan, masing-masing 20 tahun,” seru Jihad seraya mengetok palu.

Tijah tidak terima dengan putusan itu, alasannya hakim meringankan hukuman kepada pembunuhan suaminya. Ia berharap besar, para pelaku dijatuhi hukuman mati demi terciptanya keadilan. “Kecewa banget, tidak sesuai dengan kelakuan mereka. Suami saya mati, harusnya mereka  dihukum mati juga, tidak boleh ada hidup.”

Hariyono, si terdakwa menyatakan pikir-pikir terhadap putusan tersebut. Ia mengaku tidak pernah menyuruh dan merencanakan pembunuhan Salim Kancil. “Tidak pernah menyuruh, tidak seperti itu. Tidak pernah saya merencanakan pembunuhan seseorang,” ucapnya saat digelandang keluar ruang sidang.

Na’imullah, Jaksa Penuntut Umum, juga menyatakan pikir-pikir sebelum menerima atau banding terhadap putusan hakim. “20 tahun itu hukuman maksimal. Puas atau tidak, ada waktu berpikir untuk melakukan banding,” ujarnya yang merupakan Kasie Pidum Kejari Lumajang.

Tidak rela

Pembunuhan terhadap Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, dua aktivis lingkungan asal Desa Selok Awar-awar, menurut Tijah merupakan pembunuhan berencana yang digagas Hariyono selaku Kepala Desa, dan Madasir yang merupakan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Selok Awar-awar. Salim Kancil dibunuh karena melakukan sejumlah aksi penolakan penambangan pasir di desa mereka, yang selama ini dijalankan Hariyono.

“Saya tidak rela, tidak terima kalau hanya dihukum begini. Jumlah mereka yang menganiaya Salim Kancil sebanyak 60 orang. Bila pemimpinnya hanya dipenjara 20 tahun, bisa jadi yang lain disuruh pulang,” ujar Tijah yang ingin mengadukan kasus ini ke Presiden Joko Widodo.

Tijah (kanan) istri almarhum Salim Kancil hadir di persidangan. Ia menuntut pembunuh suaminya dihukum mati. Foto: Petrus Riski
Tijah (kanan) istri almarhum Salim Kancil hadir di persidangan. Ia menuntut pembunuh suaminya dihukum mati. Foto: Petrus Riski

Tosan, korban penganiayaan yang selamat, mengaku heran dengan putusan hakim. Dia menilai, proses persidangan sudah diatur agar pelaku penganiayaan terhadap dirinya dan pembunuh Salim Kancil diringankan hukumannya.

“Itu pembunuhan berencana pasal 340 KUHP. Jessica saja dituntut hukuman mati, ini kenapa Salim Kancil yang disiksa dan dibunuh di balai desa, pelakunya cuma diganjar 20 tahun penjara.”

Selain kecewa dengan putusan hakim, Tosan menganggap persidangan tidak penyentuh pokok masalah, yakni mafia pertambangan yang mengeruk sumber daya alam Lumajang. Meski disebut di persidangan, namun proses pengadilan tidak menyentuh pihak-pihak yang disebut ikut menerima aliran dana pertambangan. Tosan menduga ada keterlibatan oknum pemerintah dan aparat keamanan, sehingga kasus ini terkesan kejahatan biasa. “Pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan tolong dikesampingkan dulu, berantas saja para penambang. Saya tidak apa-apa biar pun perut saya robek, dan Salim Kancil meninggal,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto, mengaku telah memprediksi putusan hakim itu. Menurutnya, Walhi Jawa Timur sebagai salah satu Tim Advokasi Salim Kancil akan melaporkan sejumlah pelanggaran dan kejanggalan yang ditemui selama proses persidangan kepada Komisi Yudisial (KY) atau Mahkaman Agung (MA).

“Sedang disiapkan, seluruh temuan di pengadilan berupa kejanggalan dan pelanggaran,” katanya yang mendukung jaksa melakukan banding.

Rere menambahkan, kasus ini menjadi tolok ukur pengelolaan lingkungan di masa depan. Seharusnya, hukum menjadi pelindung aktivis lingkungan yang menolak pertambangan dan industri ekstarktif lain. “Kalau pengadilan kalah dari mafia pertambangan, di masa mendatang, aktivis yang melakukan penolakan pastinya tidak akan mendapat perlindungan hukum yang sesuai,” tandasnya.

Sumber: Facebook Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,