,

Kerap Diburu, Hidup Burung Liar Berujung di Sangkar

Awal Juni 2016, Kepolisian Sektor Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mengamankan 200 individu burung jenis kucica kampung (Copsyhus saularis), yang diduga dibawa dari Malaysia. Polisi menemukan burung tersebut dikemas dalam sepuluh kotak plastik, di bus antarnegara, dalam sebuah pemeriksaan rutin. Entikong merupakan salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan distrik Tebedu, negara bagian Sarawak, Malaysia.

Amat, pemilik ratusan burung tersebut yang menumpang bus SJS jurusan Kuching-Pontianak. Kepala Kepolisian Sektor Entikong, Ajun Komisaris Polisi Kartayana, mengatakan, Amat akan menjual burung-burung tersebut di Pontianak. “Harganya cukup bagus. Didukung banyak kolektor burung,” katanya. Amat merupakan pekerja di perkebunan kelapa sawit. Di daerahnya bekerja, burung tersebut masih banyak ditemukan.

Sebelumnya, 14 Maret 2016, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, menggagalkan pengiriman 140 individu burung berbagai jenis di Bandara Internasional Supadio, Pontianak. Burung tersebut, dibawa dari Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, menggunakan pesawat menuju Pontianak.

“Beberapa memang bukan burung yang dilindungi, tetapi prosedur pengirimannya tidak sah. Tidak dilengkapi dokumen balai karantina untuk tumbuhan dan hewan,” kata Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono. Pemilik berinisial SH, terbukti dijerat dengan pasal 42 junto Pasal 63 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Namun SH, tidak ditahan dan hanya diberikan pembinaan.

Modus operandi dalam kasus ini adalah burung-burung dimasukkan dalam kardus yang diberi lubang di sisinya. Jenis yang terindentifikasi adalah cica-daun besar (95 ekor), murai batu (27 ekor), kucica kampung (13 ekor), beo (3 ekor), cica-daun sayap-biru (1 ekor), dan kapasan (1 ekor).

Setahun lalu, kasus yang sama juga terjadi di perbatasan Entikong. Bahkan jumlahnya lebih banyak; 400 individu kucica kampung asal Malaysia lolos di pos pemeriksaan lintas batas negara di Entikong. Burung-burung tersebut dibawa dalam kotak oleh mobil pribadi.

Kucica kampung (Copsychus saularis) adalah anggota keluarga Turdidae. Burung yang memiliki kemampuannya berkicau ini banyak dijumpai di pasar burung Kalimantan Barat. Foto: Dok. Planet Indonesia

Menipis

Riset yang dilakukan Yayasan Planet Indonesia menunjukkan, ragam jenis burung terdapat di wilayah segitiga Kalimantan Barat. Daerah itu adalah Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Landak dan Kabupaten Sanggau. Di tambah lagi, Sintang dan Putusibau. Di Malaysia, nilai ekonomi burung seperti kucica kampung atau murai batu tidak semahal di Indonesia.

“Survei pertama kami dilakukan 23 hari pada 92 di toko burung,” ujar Adam Miller, Direktur Eksekutif Yayasan Planet Indonesia. Survei dilakukan dua tahapan yang pertama ditemukan 4.802 individu burung, sedangkan survei kedua ditemukan 1.0627 individu.

Di daerah tersebut, kata Adam, yang banyak didatangi para penjebak yang kebanyakan adalah warga transmigrasi. “Namun, ada juga penjebak lokal. Mereka baru mengetahui nilai ekonomi burung-burung tersebut setelah melihat banyak orang luar masuk hutan.”

Upaya yang dilakukan Yayasan Planet Indonesia adalah mendekati tokoh-tokoh dan komunitas kunci, untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, terlebih melindungi burung agar tetap di alam. Masyarakat belum banyak mengerti, keberadaan jenis burung tertentu merupakan predator bagi hama tanaman ladang mereka. Populasi predator yang tidak seimbang dengan makan, dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem.

Novia Sagita, Managing Director Planet Indonesia Kalimantan Barat mengatakan, saat ini yayasannya mendampingi masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam (CA) Gunung Nyiut, agar dapat mengelola masa menjebak burung di hutan. “Kita harapkan, dengan manajemen waktu berburu ke hutan, dapat memberikan kesempatan burung-burung yang ada di sana untuk berkembang biak. Walau pada dasarnya, hal itu bertentangan dengan aturan,” kata dia. Sambil memberikan dampingan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, masyarakat sekitar CA Gunung Nyiut juga didorong untuk membuat aturan adat terkait pengelolaan kawasan.

Cica-daun besar (Chloropsis sonnerati) yang siap dijual di pasar bebas Kalimantan Barat. Burung ini dikenal pula dengan sebutan Greater Green Leafbird. Foto: Dok. Planet Indonesia

Status

Adam menambahkan, berdasarkan survei, pihaknya mengidentifikasi beberapa spesies burung di Kalimantan Barat (Kalbar) yang status konservasinya berubah. “Kita akan berbagi data dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terkait status konservasi ini.”

Menurutnya, perdagangan burung di Indonesia sangat unik. Karena sudah menjadi budaya masyarakat, sulit untuk menghentikannya. Terdapat 15 spesies burung di Kalbar yang saat ini populasinya terancam. “Sebenarnya ada 20 species. Hal ini berawal dari konferensi di Singapura. Hasil dari konferensi tersebut kita bangun kelompok untuk mengidentifikasikan 20 spesies terancam seperti jalak putih, jalak suren, beo, dan murai batu.”

Terkait advokasi, kata Adam, dalam waktu dekat akan dilakukan lokakarya untuk para penjebak, atau pemburu. Membangun pemahaman ditingkat akar rumput, diharapkan menjadi solusi ketimbang tindakan represif. “Karena ini menyangkut mata pencaharian mereka, periuk orang kecil,” tambah Novia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,