,

Kisah Opa Zaka, Dari Penangkap Jadi Pelindung Nuri Talaud  

Zakaria Mayuntu masih terlihat bugar. Berjalan kaki sejauh 3 kilometer tak membuatnya ngos-ngosan. Padahal, Juli mendatang, usianya genap 66 tahun. “Tadi habis beli gula. Kalau jalan kaki, opa masih kuat. Cuma mata so kabur, deng telinga so korslet,” kata dia membuka percakapan.

Opa Zaka, demikian ia dikenal, adalah petani dari Desa Bantane, Kecamatan Rainis, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Belakangan, ia dan istrinya, Ostelina Lamangsiang, banyak menghabiskan waktu di pondok untuk mengurusi kebun dan menjaga ternak.

“Opa punya kebun sekitar 10 hektar, sudah dibagi ke 5 anak. Semua jadi petani,” ujar opa Zaka ketika ditemui Mongabay Indonesia di pondoknya, Senin (13/6/2016).

Dulu, ketika hasil kebun belum sebaik sekarang, opa Zaka adalah penangkap nuri talaud (Eos histrio talautensis). Aktifitas itu dijalani sejak tahun 1970-an, dan berhenti pada awal 2000-an. “Opa dulu tangkap burung di hutan Rirung, Dapalan, Rae, bahkan sampai di Suaka Margasatwa Karakelang selatan. Bisa satu minggu tinggal di dalam hutan.”

Ketika masih aktif melakukan penangkapan, opa Zaka sudah berada di hutan sekitar jam 10 pagi untuk memanjat dan mengoleskan lem kayu di bagian dahan pohon. Ada banyak dahan yang diolesinya. Ia tahu betul kapan waktu yang tepat serta lokasi mana saja yang menjadi pohon tidur burung.

Setelah mengoleskan lem kayu, di dahan-dahan tadi, ia menggantungkan seekor sampiri, nama lokal nuri talaud, sebagai umpan. Sehingga, ketika burung lain datang, mereka melekat di dahan pohon dan tak bisa lagi terbang.

Begitu berhasil menjerat sejumlah burung, opa Zaka mulai mengolesi minyak kelapa di tubuh sampiri. Kemudian, mencabut bulu primer secara hati-hati. Sebab, kata dia, kalau bulu rusak, harga burung sampiri akan turun.

Seturut pengakuannya, burung-burung itu tidak pernah dijual di pasar. Ia lebih memilih menjual ke orang per orang. Meski tidak selalu ada yang pesan, namun selalu ada yang membeli sampiri.

“Pertama kali opa menjual sampiri, pada tahun 1970-an, harga per ekor masih Rp2.500. Terakhir, sekitar tahun 2000, satu ekor sampiri dijual dengan harga Rp15.000,” ungkapnya.

Penyelundupan nuri Talaud yang berhasil digagalkan Polres Talaud. Foto: Rychter/Kompak
Penyelundupan nuri Talaud yang berhasil digagalkan Polres Talaud. Foto: Rychter/Kompak

Sebagai perbandingan, sesuai informasi terakhir yang diperoleh Mongabay Indonesia, saat ini harga sampiri per ekornya antara Rp80.000-150.000. Jauh lebih mahal, namun bukan berarti sepi peminat. Pada bulan Juni ini misalnya, BKSDA Resort Karakelang utara menyita 7 sampiri yang dipelihara warga di kecamatan Beo.

Opa Zaka menceritakan, dulu pembeli burung hasil tangkapannya datang dari berbagai kalangan, mulai dari kenalan, perantau hingga pejabat setempat. Menurut dia, setelah membeli burung itu, sejumlah orang kembali menjualnya. Hanya beberapa yang mengaku membeli sebagai oleh-oleh.

“Karena belum dilindungi, dulu banyak pejabat beli sampiri, kong kirim keluar,” terang dia.

Berdasarkan pengakuan opa Zaka, sekali menangkap burung, ia bisa mendapat 30 sampai 50 ekor sampiri. Hingga memutuskan berhenti, diperkirakan ribuan sampiri sudah ia tangkap dan jual.

Berhenti Menangkap Burung, Jadi Pelindung Sampiri

Belakangan ini opa Zaka dan istrinya banyak menghabiskan waktu di pondok, agar bisa mengurus kebun dan ternak secara maksimal. Hasilnya dimanfaatkan untuk membantu perekonomian anak-anaknya. Sesekali, mereka mengirim bekal makanan, yang juga dari hasil kebun, untuk cucu-cucu yang sedang berkuliah.

Di sela-sela kesibukan itu, ia telah berkomitmen untuk melibatkan diri dalam agenda perlindungan sampiri. Kini, sudah 15 tahun opa Zaka tidak lagi menangkap burung tersebut.

Lewat penjelasan beberapa lembaga konservasi, ia tahu populasi burung itu makin berkurang dan telah dilindungi Undang-Undang. Kesempatan generasi mendatang menyaksikan burung endemik Talaud itu juga menjadi pertimbangannya. Dikhawatirkan, jika aktifitas penangkapan tidak dihentikan, cucu-cucunya sudah tidak bisa lagi melihat sampiri secara langsung.

“Opa berhenti tangkap burung bukan karena dipaksa. Begitu sadar dpe jumlah sedikit dan so dilindungi, opa menyesal dengan perbuatan dulu,” ungkapnya.

Aparat kepolisian Polres Talaud yang menggagalkan penyelundupan 111 nuri Talaud. Namun, nuri-nuri ini tak bisa langsung dilepasliarkan hingga dimasukkan ke PPS Tasikoki. Foto: Rcyhter/Kompak
Aparat kepolisian Polres Talaud yang menggagalkan penyelundupan 111 nuri Talaud. Namun, nuri-nuri ini tak bisa langsung dilepasliarkan hingga dimasukkan ke PPS Tasikoki. Foto: Rcyhter/Kompak

Setelah berhenti menangkap sampiri, opa Zaka mulai mengajak kawan-kawannya untuk bertindak serupa. Kepada mereka, ia menjelaskan status keterancaman dan konsekuensi hukum bila kedapatan menangkap atau memperdagangkan sampiri. Dampaknya, kata dia, sejumlah rekan di desa Kuma, Apan, Tuabatu dan Tabang, memutuskan ikut berhenti.

Selain langkah persuasif, opa Zaka juga aktif mencegah orang-orang yang masih melakukan penangkapan burung di hutan ataupun upaya memperdagangannya. Langkah lain yang ditempuhnya adalah melapor orang-orang mencurigakan ke BKSDA setempat dan lembaga-lembaga yang terlibat aktif dalam penyelamatan sampiri. “Mereka tidak bisa dusta. Opa sudah tahu taktik-taktiknya. Sebab, Opa dulu juga tukang tangkap burung.”

Dia menceritakan, ketika orang Filipina masih mudah datang ke Talaud, sampiri sering diangkut menggunakan pamboat untuk dibawa ke negara mereka. “Kalau di desa Apan, dulu, masih tukar sampiri dengan parang atau panci. Orang-orang Filipina begitu dulu, waktu itu mereka masih sering masuk ke sini.”

Pernah suatu kali, opa Zaka berdebat dengan seorang dari Filipina. Waktu itu, demikian diceritakan dia, pihaknya sedang melakukan pendataan burung. Tiba-tiba, orang dari Filipina tadi menyatakan bahwa sampiri adalah kekayaan alam milik negara mereka.

Dia naik pitam, dan berkeras untuk mengamankan sampiri. “Saya bilang, kepada orang Filipina itu, kalian mencuri burung itu dari pulau Karakelang.”

Mendengar pernyataan opa Zaka, lawan bicaranya urung menangkap burung itu. Ia berhasil menjaga sampiri dan mencegah upaya memindahkannya dari hutan ke kandang burung. “Burung sampiri cuma ada di Talaud. Dia adalah kekayaan alam yang tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan,” tegas opa Zaka.

Sampiri juga dikenal dengan nama red and blue lory. Survei Burung Indonesia, pada 2003, diperkirakan jumlah sampiri di pulau Karakelang sebanyak 16.531 individu. Mereka tersebar di tiga tipe vegetasi, yaitu hutan primer, hutan sekunder dan kebun. Kemudian, pada 2006, diperoleh jumlah sampiri sebanyak 19.322 individu.

Isu Penting Penangkapan dan Perdagangan Sampiri

Menurut Hanom Bashari, Biodiversity Conservation Specialist Burung Indonesia, setidaknya ada tiga isu penting dalam penangkapan dan perdagangan (penyelundupan) jenis-jenis paruh bengkok ke luar Talaud dan Indonesia.

Pertama, penyelundupan sampiri dari Talaud ke Filipina tampaknya belum akan berhenti. Berbagai kemudahan akses menjadi keuntungan bagi masyarkat untuk melakukan hal ini.

Sejumlah burung nuri talaud (Eos histrio talautensis) yang disita dari rumah seorang warga di Kelurahan Beo Barat, Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Sabtu (11/6/2016). Nuri talaud bernama lokal sampiri merupakan burung endemik yang dilindungi peraturan. Foto : Themmy Doaly
Sejumlah burung nuri talaud (Eos histrio talautensis) yang disita dari rumah seorang warga di Kelurahan Beo Barat, Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, Sabtu (11/6/2016). Nuri talaud bernama lokal sampiri merupakan burung endemik yang dilindungi peraturan. Foto : Themmy Doaly

Kedua, saat ini tidak ada pemantauan dan patroli rutin dari pihak terkait, seperti BKSDA dan Kepolisian. Kelonggaran pengawasan, dikhawatirkan Hanom, menjadi peluang bagi masyarakat setempat untuk kembali menjadikan  penangkapan dan penyelundupan sampiri menjadi mata pencaharian utama.

Ketiga, tidak ada laporan dari Filipina mengenai aksi penyelundupan ini. “Tentunya ini harus menjadi perhatian dua instansi pemerintah terkait untuk memantau dan menghentikan penyelundupan ini,” tulis Hanom Bashari dalam “Isu-Isu Penting Perdagangan Burung Paruh Bengkok dari Kawasan Wallacea ke Luar Indonesia, 2004-2014”.

Penangkapan dan perdagangan sampiri sempat dipantau oleh Burung Indonesia pada 2004-2006. Setidaknya, dalam 3 tahun tersebut sebanyak 358 individu dikirim atau siap dikirim ke Filipina.

Kemudian, berdasarkan investigasi Komunitas Pecinta Alam Karakelang (Kompak), Oktober 2013, sebanyak 115 individu nuri talaud yang siap dikirim ke Filipina berhasil disita.

Apresiasi atas Perlindungan Sampiri

Sebagai bentuk apresiasi, pada tahun 2014, Kompak memberi piagam penghargaan pada opa Zaka. Pertimbangan Kompak, dalam kurun lebih dari 10 tahun, opa Zaka banyak memberi informasi di lapangan serta terlibat aktif dalam upaya perlindungan sampiri. Selain itu, dia juga dinilai menjadi sosok inspiratif bagi rekan-rekannya.

Dikatakan Michael Wangko, ketua Perkumpulan Kompak, kesadaran opa Zaka memang telah dibentuk dalam kurun waktu relatif lama. Diceritakan dia, pertemuan dengan opa Zaka tidak lepas dari program Action Sampiri, sekitar 1995-1999.

“Beliau waktu itu, masih menangkap burung. Kemudian, setelah Yayasan Sampiri dibentuk, opa Zaka mulai sering dilibatkan. Karena, berdasarkan informasi di lapangan, beliau dianggap sebagai ‘kepala ksuku’ para penangkap sampiri,” kenang Michael.

Kemudian, tambah dia, di tiap sosialisasi, opa Zaka selalu dilibatkan untuk mengajak para penangkap lainnya berhenti, serta mendukung kprogram-program konservasi. Ketika opa Zaka sadar, dia berbalik mencintai Sampiri dan tidak ingin burung ini punah.

“Mudah-mudahan, yang lain juga bisa terinspirasi dengan itu. Karena memang, penangkapan sampiri, tidak sebebas dulu. Sekarang sudah dilarang. Resiko hukuman tinggi dan menimbulkan banyak kerugian. Harus pikir-pikir panjang, lah,” harap Michael.

Artikel yang diterbitkan oleh
,