Fosil Manusia Purba Ini Ditemukan di NTT, Bisa Jadi Referensi Global Baru

Keindahan alam nusantara memang menarik untuk ditelisik.  Dibalik alamnya yang indah, ternyata tersimpan sejarah unik tentang asal usul nenek moyang yang masih menjadi teka-teki di masa lampau. Baru – baru ini para ilmuwan geologi telah menemukan mata menge yang merupakan fosil manusia purba, dari daerah Cekungan Soa,  Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur.

Penemuan fosil yang terisolasi dan terfragmen ini, berupa enam keping gigi, geraham bawah dan serpihan kecil batok kepala. Fosil pertama yang ditemukan di kawasan tersebut berupa gigi geraham, selanjutnya penggalian menemukan fosil tulang rahang, gigi taring dan gigi seri.

Fosil gigi dan rahang bawah ini, milik satu individu dewasa serta dua anak-anak. Jenis fosil ini diduga milik manusia yang dibilang saudara Homo floresiensi, rata – rata tinggi manusia kerdil yang merupakan sepupu manusia modern ini hanya sekitar satu meter saja. Dapat diperkirakan fosil manusia kerdil purba ini berasal dari era 700.000 tahun lalu.

Fosil gigi dari mata menge atau manusia purba yang ditemukan di daerah Cekungan Soa, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, NTT. Fosil ini ditemukan pada 8 Oktober 2014, oleh peneliti Museum Geologi, Bandung, saat melakukan ekskavasi, dan dipublikasikan di Jurnal Nature, tanggal 09/06/2016 oleh peneliti vertebrata University of Wollongong Australia, Van den Bergh. Foto : Van den Bergh
Fosil gigi dari mata menge atau manusia purba yang ditemukan di daerah Cekungan Soa, Kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, NTT. Fosil ini ditemukan pada 8 Oktober 2014, oleh peneliti Museum Geologi, Bandung, saat melakukan ekskavasi, dan dipublikasikan di Jurnal Nature, tanggal 09/06/2016 oleh peneliti vertebrata University of Wollongong Australia, Van den Bergh. Foto : Van den Bergh

Sebelumnya, fosil-fosil manusia tersebut ditemukan pada 8 Oktober 2014, saat melakukan ekskavasi bersama peneliti geologi. Kemudian hasil temuan ini pernah dipublikasi di Jurnal Nature,  tanggal 09/06/2016 oleh peneliti vertebrata dari University of Wollongong di Australia, Van den Bergh.

“Saat ditemukan rahang itu cenderung tipis dan vertikal dan tidak memiliki celah. Kemudian jika dilihat dari giginya, manusia mata menge juga memiliki karakteristik yang bisa dikatakan merupakan perpaduan antara Homo floresiesis dan Homo erectu,” kata Paleontologi Veterbrata, Erick Setyabudi saat ditemui Mongabay,  di Museum Geologi, Bandung, pada Rabu (23/06/2016) lalu.

Dia menyebutkan, penemuan fosil Homo floresiesis berada di wilayah Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT. Sedangkan penemuan fosil Homo Erectu jaraknya kurang lebih empat jam dari sana.

“Nah, kalau penemuan fosil mata menge ini berada di tengah – tengah kedua tempat tersebut, hanya beda kabupaten,” ujarnya.

Fosil gajah purba Stegodon floresis dan koleksi fosil musieum Geologi Bandung. Foto : Donny Iqbal
Fosil gajah purba Stegodon floresis dan koleksi fosil musieum Geologi Bandung. Foto : Donny Iqbal

Erick menambahkan, temuan ini berharga bagi ilmu pengetahuan karena berpotensi menjadi situs warisan dunia kedua, setelah Sangiran, di Jawa Tengah, yang selama ini dijadikan referensi penemuan manusia purba di Indonesia.

Dia juga mengusulkan agar kawasan Cekungan Soa, dijadikan museum alam terbuka, yang nantinya berfungsi sebagai wadah edukasi sekaligus pariwisata, bahkan bisa jadi geopark apabila ingin dikelola lebih serius.

Lebih lanjut, Erick menjelaskan untuk mengetahui perkembangan manusia purba,  wilayah Flores memiliki peranan penting karena Flores merupakan jalur translit dan jalur migrasi ke arah Australia.

“Dalam teori  multiregional, manusia purba pertama dari Afrika menyebar sampai ke kawasan Asia Tenggara. Diprediksikan mereka menyeberang di waktu 50.000 tahun ke Aborigin, kemungkinan melalui wilayah Flores.  Penemuan tersebut secara  DNA (deoxyribonucleic acid) manusia purba di Flores lebih dekat dengan Suku Aborigin dibanding Papua,” ungkapnya.

Hewan Purba

Dari hasil ekskavasi mata menge yang dilakukan di Cekungan Soa, Flores sejak 2011 lalu, telah ditemukan sebanyak 2973 spesimen diantaranya crocodilia (buaya), Varanus komodoensis (komodo), muridae (tikus), aves (burung) dan ranidae (kodok) dan gajah purba.

“Fosil yang ditemukan salah satunya adalah Stegodon florensis (salah satu genus gajah purba) yang banyak terdapat di dalam batu sedimen,” ungkap Erick.

Petugas menunjukkan fosil gajah stegodon floresis di yang merupakankoleksi Museum Geologi, Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal
Petugas menunjukkan fosil gajah stegodon floresis di yang merupakankoleksi Museum Geologi, Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal

Hal senada juga di ungkapkan oleh Unggul, seorang Paleontologi yang meneliti gajah. Dia menyebutkan ada empat genus gajah yang penyebarannya ada di wilayah Indonesia, yaitu sinomastodon, stegodon, stegoloxodon dan elephast.

“Untuk sebaran secara geologi, di Indonesia terbagi menjadi dua yaitu paparan Sunda/Sahul dan paparan tengah yakni Sulawesi. Persebaran gajah hanya sampai paparan Sunda dan Sulawesi lalu dari sana masuk ke wilayah – wilayah kecil  dan itu disebutnya paparan kecil,” jelas Unggul.

Ukuran fosil – fosil dari keempat genus gajah purba yang di temukan di beberapa tempat di kepulauan Indonesia bervariasi, yang tadinya ukuran besar cenderung beradaptasi  menyesuaikan dengan lingkungan.

“Secara umur geologi, genus gajah yang pertama kali masuk ke wilayah Indonesia adalah genus sinomastodon dan stegoloxodon sekitar 2 juta tahun yang lalu disusul oleh ketiga genis lainya. Sedangkan yang masih tersisa adalah genus elephast atau gajah Sumatera,” jelasnya.

Unggul juga berpendapat temuan fosil khususnya gajah purba di Indonesia ini  bisa dijadikan mitigasi perlindungan hewan. “Kondisi badak bercula satu saat ini endangered. agar kebaradaannya tetap lestari, maka lingkungannya harus dijaga”. jelasnya.

Sedangkan dari data, beberapa taksa yang digunakan dalam penelitian adalah Stegodon florensis, karena jumlah fosilnya yang banyak di dalam sedimen.

Spesies ini sangat baik digunakan sebagai indikator lingkungan purba sebab ukurannya yang besar dan makanannya yang banyak (150 kg/hari), umumnya spesies ini tidak selektif dalam memilih sumber makanannya.

Selain itu, karena ukurannya yang besar, taksa ini kemungkinan memiliki area jelajah yang lebih luas untuk mendapatkan makanannya. Terlebih lagi, gigi dari taksa ini terbentuk dalam waktu lama sehingga giginya merekam parameter perubahan lingkungan untuk waktu yag lama.

Faktor Kepunahan Hewan

Berbicara tentang kepunahan hewan purba, Erick berpendapat bahwa hal itu terjadi karena pengaruh perburuan manusia dan sebagian merupakan faktor bencana alam atau perubahan iklim.

Dia mencontohkan, misalanya disebuah pulau ada gunung merapi yang memuntahkan abu vulkanik kemudian menutupi padang savana dan hutan setempat,  otomatis tumbuhan tertutup sehingga binatang tidak bisa makan dan akhirnya mati.

Erick salah satu peneliti geologi sedang membaca peta lokasi ditemukan fosil mata mange hasil ekskavasi di Cekungan Soa, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto : Donny Iqbal
Erick salah satu peneliti geologi sedang membaca peta lokasi ditemukan fosil mata mange hasil ekskavasi di Cekungan Soa, Flores, Nusa Tenggara Timur. Foto : Donny Iqbal

“Jika dilihat dari fosilnya, dari jaman dulu hingga sekarang masih ada adalah komodo dan tikus besar  atau tikus betu kalo masyarakat lokal hewan endemik sana. Kedua hewan tersebut bisa bertahan dengan membuat terowongan dan sifatnya yang survive memakan apa saja terus hewan ini bisa hibernasi sampai musim tertentu. Hewan ini unik dan bisa bertahan karena pola hidupnya,” tambahnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
,