,

Kisah Karaeng, Pulang Kampung Demi Membantu Peternak dan Petani

Namanya Andy Karaeng Bonggadatu, tapi biasa dipanggil Karaeng saja. Lulusan Universitas Sarjanawita Taman Siswa Jogjakarta jurusan Psikologi 2010. Tidak mengikuti bidang keilmuannya, ia justru pulang kampung di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat untuk bertani dan beternak.

Sebagai daerah baru dimekarkan, Kabupaten Mamasa baru merasakan pembangunan beberapa tahun terakhir ini. Letak daerah yang dulunya termasuk dalam Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) ini cukup sulit diakses. Kondisi jalanan yang buruk, dan berlumpur di musim hujan, membuat daerah ini dulunya baru bisa dicapai dengan 8-9 jam perajalanan dari Kota Polewali, meski jaraknya hanya sekitar 90 km.

Ketika Mongabay berkunjung ke daerah ini awal April 2016 lalu, kondisi jalan sudah jauh lebih baik. Hanya beberapa jalan yang rusak akibat longsor dan sebagian lagi sedang dalam kondisi pembangunan jalan.

Karaeng adalah orang yang ramah dan ulet. Sehari-hari pria kelahiran 13 September 1986  bekerja sebagai penjual obat tanaman di Toko Generasi Baru Mitra Tani Tarabang yang didirikannya sejak 2010 silam. Di waktu luangnya ia gunakan untuk bertanam kopi dan beternak babi. Ia juga aktif di gereja dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mamasa.

Karaeng mengakui tekadnya kembali ke kampung adalah sebuah pilihan ideologis karena kerisauan melihat pada kondisi masyarakat di daerahnya yang masih tertinggal dan jauh dari akses informasi.

Karaeng merasakan kegelisahan bahwa umumnya petani dan peternak di daerahnya selama ini tidak mendapatkan informasi yang baik tentang masalah yang mereka hadapi, yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Perhatian pemerintah pun tidak maksimal.

“Banyak orang beternak babi meski merugi, karena metode beternak yang tidak efisien dan berbiaya tinggi,” ungkapnya.

Petani pun memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pupuk dan pestisida kimawi. Sehingga ketika terjadi kelangkaan pupuk dan pestisida harganya menjadi lebih mahal, menambah beban pengeluaran mereka.

“Dari kondisi ini saya berpikir apa yang bisa saya lakukan. Lalu terbersit keinginan mengambil ruang pergerakan yang fokus pada peningkatan hidup masyarakat melalui peternakan dan pertanian.”

Untuk mewujudkan tekad ini hal pertama yang menjadi prioritasnya adalah menambah kapasitas diri. Menyadari keterbatasan pengetahuannya pada ilmu peternakan dan pertanian ia mulai mencari berbagai referensi-referensi, tidak hanya dari buku-buku tapi juga dari artikel di internet dan video pembelajaran di YouTube.

Dalam periode 2011-2012 Karaeng terus melakukan pendalaman kemampuan, uji coba beberapa pakan, serta aktif mencari metode pertanian terbarukan dan ramah lingkungan.

Beberapa pengetahuan dan keterampilan yang terus diasahnya adalah penanganan penyakit ternak yang murah melalui pemanfaatan bahan-bahan alami.Jantung pisang misalnya, bisa digunakan untuk menyembuhkan cacingan pada ternak. Ia juga belajar penanganan penyakit ayam dengan bahan herbal kunyit, penyakit luka, kutil, serta temulawak untuk penambah nafsu makan pada ternak-ternak.

Sebagai daerah baru, Kabupaten Mamasa, Sulbar yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa masih terus melakukan pembangunan infrastruktur. Akses transportasi baru setahun terakhir lancar setelah sebelumnya merupakan kubangan lumpur yang sulit diakses. Foto : Wahyu Chandra
Sebagai daerah baru, Kabupaten Mamasa, Sulbar yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Polewali Mamasa masih terus melakukan pembangunan infrastruktur. Akses transportasi baru setahun terakhir lancar setelah sebelumnya merupakan kubangan lumpur yang sulit diakses. Foto : Wahyu Chandra

Hal yang menarik dari aktivitas Karaeng adalah meski pekerjaannya menjual obat ternak pada petani, namun justru ia lebih banyak menyarankan petani untuk menggunakan bahan-bahan organik yang ada di sekitar untuk pengobatan.

“Kalau datang belanja obat saya pasti akan konsultasikan pada mereka masalah yang dihadapi. Jika masih bisa diatasi dengan cara alami, maka saya biasa tidak menganjurkan mereka menggunakan obat-obatan, atau setidaknya meminimalkan penggunaan obat kimiawi.”

Tidak hanya itu, Karaeng bahkan memberi ruang konsultasi pada para peternak dan petani secara lebih intens, serta mengajarkan kemandirian, tidak lagi bergantung pada penyuluh.

“Saya membantu mereka bagaimana melakukan identifikasi penyakit dan bagaimana penanganannya tanpa bergantung lagi pada petugas atau penyuluh.Saya tak bisa menghitung jumlah orang yang konsultasi, mungkin sudah ratusan dalam beberapa tahun ini,” tambahnya.

Kepada para peternak, Karaeng juga mengajarkan bagaimana pemilihan bibit yang baik, pemilihan indukan, pejantan yang baik, cara penanganan babi di saat bunting, melahirkan dan masa-masa yang rawan bagi babi.

Karaeng pun bersedia mengunjungi mereka di kampung, wilayah-wilayah adat yang terkadang jaraknya hingga puluhan kilometer.

Sebuah kejadian paling berkesan dirasakan Karaeng ketika ia diminta mengobati seekor kerbau bonga, yaitu kerbau dengan tanda khas di tubuhnya yang bisa berharga ratusan juta, di komunitas adat Tawaliang.

Awalnya Karaeng hanya datang untuk mengecek kondisi ternak yang sudah kritis. Pemiliknya sudah pasrah.

“Ketika saya datang, kondisi kerbau itu terlihat lumpuh, badannya panas dan nafsu makan yang menurun. Saya lalu memberi obat cacing dan suntik antibiotik. Saya campur juga dengan penambah nafsu maka. Tiga hari berturut-turut saya suntik. Syukurlah seminggu kemudian bisa sembuh total.”

Keputusan untuk menyuntik kerbau itu adalah hal awalnya sulit bagi Karaeng, karena membutuhkan keahlian khusus yang harus dipelajari di bangku pendidikan. Namun karena kondisi kritis dan kepasrahan pemiliknya, Karaeng lalu mencari literatur teknik penyuntikan di YouTube.

“Saya belajar menyuntik hingga benar-benar tahu caranya. Lalu saya membangun keyakinan dalam hal bahwa segala sesuatu yang dipelajari dengan hati dan keikhlasan pasti akan berujung baik. Saya juga mencoba membangun komunikasi dengan ternak,  bisa menemukan solusi yang terbaik tanpa mendengar mereka bicara.”

Umumnya masyarakat desa di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat masih beternak babi secara tradisional menggunakan bibit dari babi hutan yang berukuran kecil dan masa pertumbuhan yang lambat. Dampaknya pada kurangnya produktifitas dan berbiaya tinggi. Foto : Wahyu Chandra
Umumnya masyarakat desa di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat masih beternak babi secara tradisional menggunakan bibit dari babi hutan yang berukuran kecil dan masa pertumbuhan yang lambat. Dampaknya pada kurangnya produktifitas dan berbiaya tinggi. Foto : Wahyu Chandra

Metode beternak babi Karaeng berbeda dengan masyarakat tradisional umumnya adalah dalam hal pemilihan bibit. Umumnya masyarakat masih menggunakan bibit lokal berupa babi hutan yang dijinakkan, padahal jenis babi ini memiliki pertumbuhan yang lambat.

Selain itu, cara pemberian pakan juga masih jauh dari standar peternakan modern. Misalnya pemberian pakan hanya berupa dedaunan dicampur sedikit dedak.

“Mereka hanya kasih daun dan dedak, padahal bahan baku yang tersedia di lingkungan sekitar cukup banyak, seperti jagung, tebu, ubi kayu, pisang dan ampas kelapa.Ini yang tidak mereka gunakan. Bisa juga memanfaatkan tepung dari keong mas dan ikan nila yang mengandung nutrisi protein yang tinggi, yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ternak. Ini lebih bagus dibanding menggunakan pakan pabrik konsetrat.”

Hal lain yang tak diketahui masyarakat adalah siklus birahi ternak.Mereka biasanya memisahkan babi dengan indukan dalam waktu 3-4 bulan dan 1 bulan lagi baru dikawinkan.Padahal normalnya 40 hari sudah dipisah dari indukan dan tiga hari sudah bisa dikawinkan atau mengikuti silkus birahi babi per 21 hari.

Dengan metode baru yang diperkenalkan Karaeng, peternak dalam empat bulan sudah bisa panen dengan harga babi Rp2 juta – Rp2,5juta. Jika dipanen pada bulan ke 10-14 bulan maka harga babi bisa mencapai Rp6 juta – Rp8 juta, dibandingkan dengan cara tradisional yang cuma seharga Rp2 juta.

Karaeng juga mengajarkan peternak agar mampu mengidentifikasi penyakit. Di musim alami, penyakit yang biasa muncul adalah siare dan anemia. Pada anak babi adalah masa paling rentan penyakit yang berdampak pada kelumpuhan, cacingan, kurang nafsu makan, gangguan pernafasan, serta peradangan pada kulit.

Atas aktivitasnya membantu petani dan peternak dan kadang menggantikan peran dokter ternak, Karaeng mengaku pernah ditegur oleh aparat Dinas Peternakan setempat.

“Saya katakan tidak buka praktek tetapi hanya membantu karena kebetulan paham cara dan metodenya dan sudah pernah dipraktekkan di ternak sendiri.”

Menggunakan jasa penyuluh atau dokter ternak menjadi beban tersendiri bagi peternak karena harus membayar biaya suntik Rp50 ribu per sekali suntik dan tambahan Rp40 ribu untuk obat-obatan.

“Meski membayar, dalam banyak kasus ternak yang ditangani penyuluh ini justru mati, sehingga masyarakat tidak lagi mau ditangani oleh Dinas.”

Untuk petani sendiri Karaeng membantu dalam hal pembuatan pupuk organik, yang bisa digunakan untuk seluruh jenis tanaman. Bahannya berupa kotoran ternak, daun-daun dan buah-buahan busuk.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,