,

Beginilah Kondisi Gambut di Jambi

Kebakaran hutan dan lahan gambut di Jambi, hampir setiap tahun kurun waktu 10 tahun terakhir. Kabut asap pun jadi duka tahunan warga. Hutan dan lahan gambut makin rusak.

Analisis unit GIS Warsi, hutan alam pada lahan gambut tersisa 179.963 hektar dari 751.000 hektar di Jambi. Guna mengatasi kerusakan gambut lebih parah, Kepala Dinas Kehutanan Jambi Irmansyah Rachman menyebutkan telah mengidentifikasi luasan gambut yang perlu rehabilitasi maupun restorasi.

Berdasarkan identifikasi peta Badan Restorasi Gambut, dari lahan gambut Jambi 751.000 hektar, 595.400 hektar kawasan budidaya dan 146.600 hektar lindung. “Sedang 19.000 hektar gambut belum teridentifikasi lahan masyarakat,” katanya saat Dialog Publik Pasca COP21 di Jambi.

Dari 595.400 hektar budidaya, katanya, hampir separuh terkelola baik. “Dibagi 252.700 hektar terkelola baik, 28.000 hektar perlu rehabilitasi dan 136.500 hektar prioritas restorasi. Perlu moratorium 168.200 hektar gambut,”katanya.

Lahan gambut perlu prioritas restorasi, katanya,  didominasi hutan tanaman industri, disusul konsesi perkebunan, dan perkebunan masyarakat serta HPH. “Dari 136.500 hektar gambut prioritas restorasi 49.900 hektar HTI, 37.7000 hektar sawit skala besar, kebun masyarakat 30.900 hektar dan HPH 18.000 hektar.”

Karhutla terutama gambut penyumbang utama emisi  karbon (gas rumah kaca /GRK). Untuk itu, katanya, menurunkan emisi perlu meminimalisir kebakaran gambut.

“Kita optimistis dapat menurunkan karhutla. Tahun lalu, ada 120.000 hektar terbakar. Kita menargetkan sampai 2021 menekan kebakaran tinggal 10.000 hektar.”

Upaya Jambi menekan karhuta ini, katanya, melalui berbagai cara seperti pengesahan Peraturan Daerah Jambi Nomor : 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Forkopimda Jambi juga memberi maklumat, sanksi pidana bagi pelaku pembakaran hutan, lahan dan kebun.

 

Kerusakan gambut

Hampir 70% lahan gambut Jambi dibangun kanal. Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi mengatakan, kerusakan utama gambut karena sistem kanal. Bahkan,  di hutan lindung sekalipun ada 13% wilayah berkanal.

Kanal-kanal perusahaan di sekitar hutan, sangat mempengaruhi hutan alam. Kanal masuk hutan alam sebagai sambungan kanal bangunan perusahaan. “Jika tak ada perlakuan khusus pada kawasan hutan alam tersisa sangat mungkin dilanda kebakaran pada kemarau. Jambi akan kembali penghasil asap,” katanya.

Sekat kanal, katanya, harus dilakukan dalam penyelamatan gambut. Biaya sekat kanal, mungkin jadi masalah karena satu unit Rp15 juta. Namun, kata Rudi, pemerintah tak perlu pusing anggran sekat kanal karena tanggungjawab perusahaan. “Gambut di Jambi mayoritas dikuasai perusahaan, jadi perlu ketegasan pemerintah maupun Badan Restorasi Gambut agar mereka membangun sekat kanal.”

Pinang, salah satu komoditi utama masayarakat di lahan gambut. Foto: Elviza Diana
Pinang, salah satu komoditi utama masayarakat di lahan gambut. Foto: Elviza Diana

Kearifan lokal dan teknologi pertanian hijau

Masyarakat selama ini hidup berdampingan dan bersimbiosis dengan alam membuktikan mampu menjaga lingkungan jauh sebelum ada perusahaan. Salah satu di Desa Sungai Bungur,  Kecamatan Kumpeh, Muarojambi. Kala membuka lahan, mereka memiliki aturan ketat.

Budiman, Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Gambut Jambi menyebutkan, masyarakat desa biasa harus mendapatkan surat berita acara pengesahan kepemilikan kepala desa untuk buka lahan. “Lahan-lahan aset atau masuk wilayah administrasi desa masih hutan. Pembukaan lahan dengan cara penebangan disiapkan untuk ditanami tanaman baru berupa karet, jagung dan tanaman penghidupan lain.

Mereka membuka lahan baru dengan membakar atau dikenal dengan merun. Berbeda dengan membakar pembukaan skala besar, merun memiliki berbagai teknik dan tahapan, tak sembarangan.

Ada beberapa aturan harus diterapkan jika ingin pakai merun harus menebang pohon, katanya, tetapi tak boleh pohon sialang. Pohon tebangan harus dicincang dan ditumpukkan di lahan hingga kering. “Ini perlu dua sampai tiga bulan. Setelah itu pemilahan cincangan. Yang sudah kering boleh dibakar, yang masih basah dikeringkan lagi.”

Merun harus kesepakatan dan izin pemilik lahan tetangga yang berbatasan langsung dengan kebun yang akan dibakar. “Lahan akan dibakar harus dibersihkan dulu agar api tak menjalar lalu ditunggu sampai api padam,” ucap Budiman.

Dalam menentukan musim tanam, warga Desa Bungur pakai pengelolaan lahan tanaman menggunakan kalender musim. Semua persiapan tanam sampai pemanenan diukur dari musim kemarau, hujan dan pancaroba. Penghitungan kalender musim ini, katanya, untuk mengantisipasi tanam hingga panen tak bersamaan dengan musim  banjir dan kekeringan.

Strategi ini, biasa oleh petani sawah dan jagung yang membuka ladang di pinggiran  sungai maupun pertengahan desa. “Karena ada perubahan iklim, terjadi perubahan kalender musim. Petani sulit menentukan kapan musim tanam. Rata-rata terjadi perubahan hingga tiga bulan dari kalender musim.”

Sedangkan di kebun sawit, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi, Bambang Irawan menyebutkan perlu pengayaan tanaman guna pemulihan kawasan monokultur. Tujuannya, untuk pemulihan ekosistem dan mengembalikan kesuburan tanah, seperti demplot di salah satu perusahaan sawit dengan memadukan tanaman-tanaman lokal bernilai ekonomis tinggi di antara sawit.

“Sulit menemukan perusahaan sawit mau menerima pengayaan tanaman. Kami kesulitan menemukan demplot, hingga ada satu perusahaan sawit lokal mau menerapkan teknologi ini,” katanya.

Orientasi bisnis dan keuntungan cepat, membuat hampir semua perusahaan sawit enggan pakai pengayaan tanaman. “Karena dalam penerapan teknologi ini harus menebang beberapa tanaman sawit.”

Dia meyakini, pengayaan tanaman kebun sawit, mampu meningkatkan cadangan karbon dan penyimpanan air tanah. “Kita belum menghitung cadangan karbon demplot ini dan meningkat menjadi berapa karena baru dua tahun terakhir,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,