, ,

Mungkinkah, Tahun Ini Gambut di OKI Tidak Terbakar?

Apakah tahun 2016 ini, kebakaran tidak akan terjadi di wilayah gambut Sumatera Selatan? Tampaknya, keinginan ini akan mendapatkan tantangan jika musim kemarau mulai melanda. Kenapa?

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia selama tiga hari, 24-27 Juni 2016 lalu, di Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, sejumlah faktor pemicu kebakaran lahan gambut sepenuhnya belum teratasi.

Kesadaran masyarakat untuk menjaga kualitas lahan gambut masih kurang. Misalnya, kawasan gambut dalam di Dusun Talang Petai, Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, yang juga turut terbakar pada 2015 lalu, kini dilakukan pengeringan oleh masyarakat. Pengeringan dilakukan dengan cara membuat kanal.

“Tujuan membuat kanal ini untuk mengeringkan gambut di sana, sebab jalan yang baru kami buat selalu tergenang air selama penghujan,” kata Supriyana, kepala Dusun Talang Petai.

Selain dibuat kanal, sejumlah pohon perpat yang berada di lahan gambut tersebut juga sudah ditebang. “Rencananya lahan tersebut akan dibuat persawahan,” lanjutnya.

Dijelaskan Supriyana, masyarakat di Dusun Talang Petai sangat membutuhkan persawahan. Sebab, sejak 2009, masyarakat tidak lagi bersawah sonor, karena lahan yang sebelumnya digunakan sudah menjadi konsesi PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) yang 2015 terbakar. “Kami juga takut jika bersawah di lahan dekat konsesi perusahaan tersebut. Jika kembali terbakar, sawah kami juga turut terbakar, sebab kebakaran kemarin menyebabkan sebagian kebun kami terbakar,” ujarnya.

Selain itu, lahan gambut yang terbakar 2015 lalu, hingga kini belum dibersihkan, terutama di lahan gambut milik negara. Bongkahan kayu yang terbakar dapat menjadi bahan bakar yang sulit diatasi jika kemarau datang dan gambut terbakar.

Dijelaskan Supriyana, kebakaran yang melanda lahan gambut di dusunnya, termasuk konsesi di PT. BMH, apinya berasal dari arah timur, “Arahnya dari kawasan pantai. Saat angin (Tenggara) berhembus, api itu juga turut membakar lahan gambut di dusun kami, termasuk membakar konsesi perusahaan,” katanya.

Lahan gambut di Dusun Talang Petai sebelum dibuat kanal. Foto: Taufik Wijaya
Lahan gambut di Dusun Talang Petai sebelum dibuat kanal. Foto: Taufik Wijaya

Supriyana tidak mampu menjamin tidak ada kebakaran gambut tahun ini. “Saya sulit menjamin tidak ada kebakaran saat kemarau. Kami jelas berusaha mencegahnya. Kemungkinan besar, api disebabkan aktivitas warga di wilayah dekat pantai untuk mencari ikan atau membuka pertambakan. Memang sejak adanya konsesi lahan gambut di sini jauh lebih cepat kering saat musim kemarau,” ujarnya.

Minim tenaga MPA

Di Dusun Talang Petai terdapat 15 warga yang dilibatkan perusahaan menjadi anggota MPA (Masyarakat Peduli Api). MPA dibentuk oleh PT. BMH (Bumi Mekar Hijau). Setiap anggota MPA diberi honor sebesar Rp1,5 juta per bulan, di luar biaya makan dan minum. Peralatan kebakaran disediakan perusahaan. “Saat ini tugas warga yang menjadi anggota MPA secara bergilir menjaga konsesi perusahaan dan lahan dusunnya. Melakukan pemantaun dan segera memadamkan api jika ada kebakaran,” kata Supriyana.

Sawah sonor di Desa Ulak Kedondong. Foto: Taufik Wijaya
Sawah sonor di Desa Ulak Kedondong. Foto: Taufik Wijaya

Jumlah anggota MPA di Dusun Talang Petai yang paling banyak di Desa Ulak Kedondong. Anggota MPA dari dusun lainnya sebanyak 10 orang.

“Idealnya anggota MPA itu 150 orang. Kalau 25 orang saya rasa sangat kurang. Sulit menjamin 25 orang itu mampu mencegah dan mengatasi kebakaran lahan gambut tersebut. Lahan gambut di sini kan cukup luas, terutama yang dijadikan konsesi perusahaan,” kata Saryadi, Kepala Desa Ulak Kedondong, kepada Mongabay Indonesia.

Ditanya apakah ada warga di dusunnya sengaja melakukan pembakaran lahan gambut, khususnya di konsesi perusahaan pada 2015 lalu? “Tidaklah mungkin. Apa mau dipenjara? Kalau sudah terbakar, kami yang kali pertama menjadi susah,” kata Saryadi.

Dijelaskannya, memang ada persoalan antara masyarakat di Desa Ulak Kedondong, termasuk warga Dusun Talang Petai, dengan PT. BMH. Persoalan tersebut karena janji perusahaan untuk melibatkan warga dalam skema lahan kehidupan yang belum terwujud hingga saat ini.

Skema lahan kehidupan itu memberikan lahan konsesi seluas dua hektare per keluarga pada warga di sekitar konsesi. Lahan kehidupan ini berada di konsesi yang berbatasan dengan lahan warga atau tanah negara. Lahan akan diolah masyarakat, seperti pertanian dan perkayuan. Tujuannya selain memakmurkan masyarakat sekitar konsesi juga turut menjaga dari kebakaran dan perambahan.

Saryadi membenarkan janji lahan kehidupan oleh perusahaan PT. BMH kepada masyarakat. “Tapi sampai sekarang janji tersebut belum dipenuhi,” katanya.

Pintu masuk Dusun Ulak Kedondong, Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, OKI. Foto: Yudi Semai.
Pintu masuk Dusun Ulak Kedondong, Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, OKI. Foto: Yudi Semai

Status lahan

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat Dusun Talang Petai dan dusun lainnya di Desa Ulak Kedondong adalah mengenai status lahan dusun. “Lahan di dusun kami ini statusnya masih masuk dalam kawasan hutan produksi (HP). Sekitar 300 hektare yang dinyatakan pemerintah sebagai HP. Padahal, lahan ini sudah kami kelola sejak awal 1960-an, jauh sebelum pemerintah menetapkan lahan yang kami kelola sebagai HP,” kata Suryana.

“Status lahan ini juga yang menurut saya menyebabkan masyarakat tidak begitu peduli dengan lingkungan hidup, khususnya gambut. Jika status ini dicabut, dan diberikan kepada masyarakat, kemungkinan besar mereka akan lebih peduli menjaga lahan gambut. Kami ini menunggu kebijakan pemerintahan Jokowi yang berjanji memberikan tanah kepada para petani, termasuk kami ini,” kata Suryana.

Warga menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan desa yang sebagian besar rusak atau belum diaspal. Foto: Taufik Wijaya
Warga menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan desa yang sebagian besar rusak atau belum diaspal. Foto: Taufik Wijaya

Saryadi menjelaskan dari 43 ribu luasan Desa Ulak Kedondong, sekitar 10 ribu hektare masuk kawasan HP. Jumlah warganya sekitar 3.100 jiwa atau 1.124 kepala keluarga. Sebagian besar penghasilan diperoleh dari getah karet, baik sebagai pemilik kebun atau buruh. Desa Ulak Kedondong sangat sulit diakses. Perjalanan darat dari Palembang ke lokasi, yang jaraknya sekitar 200 kilometer, membutuhkan waktu sekitar 10 jam. Lamanya perjalanan ini karena kondisi jalan yang rusak, dimulai dari Sepucuk, Kayuagung.

Bongkahan kayu di lahan gambut yang terbakar belum dibersihkan. Bongkahan kayu ini dapat menjadi bahan bakar saat musim kemarau. Foto: Yudi Semai.
Bongkahan kayu di lahan gambut yang terbakar belum dibersihkan. Bongkahan kayu ini dapat menjadi bahan bakar saat musim kemarau. Foto: Yudi Semai

Perjalanan air, menggunakan speedboad membutuhkan waktu 7 jam dari Palembang, hanya sampai di Dusun Ulak Kedondong, Desa Ulak Kedondong. Selanjutnya menggunakan perahu untuk pergi ke dusun lainnya. Perahu ini melaju di antara kanal-kanal milik perusahaan PT. BMH.  Perjalanan darat menggunakan sepeda motor sekitar satu jam antar-dusunnya.

Sekitar 8.000 hektare kawasan HP ini sempat diprotes masyarakat karena dijadikan konsesi PT. BMH. “Kawasan yang diklaim masyarakat tersebut selama puluhan tahun telah dimanfaatkan masyarakat sebagai persawahan dan tempat mencari ikan,” ujarnya.

“Jika pemerintah memang peduli masyarakat, khususnya di Desa Ulak Kedondong, cukup 3.000 hektare diberikan kepada kami,” katanya.

Kades Ulak Kedondong Saryadi (kanan) berharap anggota MPA (Masyarakat Peduli Api) ditingkatkan dari 25 menjadi 150 orang. Foto: Taufik Wijaya
Kades Ulak Kedondong Saryadi (kanan) berharap anggota MPA (Masyarakat Peduli Api) ditingkatkan dari 25 menjadi 150 orang. Foto: Taufik Wijaya

Handoyo, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI, Badan Litbang dan Inovasi KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), yang melakukan penelitian pada masyarakat di sekitar lahan gambut di Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, menilai kebakaran lahan gambut tidak lepas dari konflik kawasan hutan antara masyarakat dengan negara.

“Diskursus pergeseran paradigma pengelolaan hutan masih bekerja di ranah retoris. Siapa pun itu, institusi pengelola hutan masih terjebak dalam institutional cultural inertion (kelembaman budaya institusi) yang khas yaitu colonial modes of development. Community-based forest management harus diterjemahkan secara nyata dan luwes di lapangan untuk penyelesaian konflik yang melibatkan entitas budaya yang unik dan khas.”

Apa solusinya? “Sudah saatnya digunakan pendekatan dan perspektif humanis dalam mengelola hutan, ketika pendekatan teknokratis kandas dalam perjalanannya,” kata Handoyo.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,