Seekor Hiu Paus Terluka Parah Sampai Berdarah di Nusa Penida Bali

Awal pekan ini, sejumlah aktivis konservasi dan operator selam di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Bali dikejutkan dengan video dan foto yang diunggah di Facebook. Seekor anakan hiu paus (Rhincodon typus) terlihat terluka parah mengeluarkan banyak darah di permukaan laut di perairan Buyuk, Nusa Penida.

Hiu paus yang khas dengan warna hitam dengan totol putih ini berenang lambat dengan luka gores dan dalam di seputar sirip, bawah perut, dan lainnya. Sedikitnya 5 luka goresan dalam yang diduga dilihat dari lukanya,  terkena baling-baling perahu cepat.

Foto dan video ini disebutkan milik dua turis Marketa Olmerova dan Oldrich Olmer yang menyelam dengan pemandu. “Mereka lapor ke dive operatornya dan kontak Coral Triangle Centre (CTC). Ada kejadian begini, bagaimana penanganannya,” papar Marthen Welly, aktivis CTC yang bekerja di KKP Nusa Penida.

Foto ini diupload Rabu (29/06/2016) oleh Marthen kemudian terlihat respon dari sejumlah pihak seperti dive operator, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Klungkung, dan BPSPL Denpasar. Para pihak ini berkoordinasi di Lembongan keesokan harinya. Melalui informasi yang terhimpun, diketahui hiu paus ini sebelumnya terlihat sehat berenang di Manta Point, salah satu lokasi penyelaman.

Perairan Nusa Penida ini memang kawasan sibuk untuk lalu lintas orang, turis, dan logistik dari Pulau Bali ke Nusa Penida. Ada beberapa dermaga yang melayani penyeberangan speedboat sekitar 30-40 menit perjalanan sekali jalan. Tak sedikit perahu pengangkut turis parkir di tengah laut karena jadi pusat wisata bawah laut dengan keanekaragaman hayatinya, seperti lokasi “mandi”  ikan mola-mola (sunfish), pari manta (manta ray), dan lainnya.

Hiu paus dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus. Artinya penangkapan dan perdagangan hiu paus menjadi kegiatan yang dilarang dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat berimplikasi pada sanksi pidana.

Seekor anakan hiu paus (Rhincodon typus) terluka parah mengeluarkan banyak darah di permukaan laut di perairan Buyuk, Nusa Penida, Bali. Diduga hiu paus tersebut telruka karena terkena baling-baling kapal cepat. Foto : Marketa Olmerova dan Oldrich Olmer
Seekor anakan hiu paus (Rhincodon typus) terluka parah mengeluarkan banyak darah di permukaan laut di perairan Buyuk, Nusa Penida, Bali. Diduga hiu paus tersebut telruka karena terkena baling-baling kapal cepat. Foto : Marketa Olmerova dan Oldrich Olmer

Tindak lanjut kejadian ini, Lembongan Marine Asscociation (LMA) yang terdiri dari 9 dive operators akan memantau hiu paus dengan panjang sekitar 2 meter ini. Kalau masih hidup dipantau kondisinya, jika perlu evakuasi. “Takutnya tak bertahan karena masih bayi. Kalau tak bisa survive kemungkinan bisa terbawa arus ke luar wilayah Nusa Penida,” lanjut Marthen.

Kemudian disepakati akan melakukan sosialisasi dan edukasi tentang Pedoman Umum Monitoring Hiu Paus di Indonesia yang sudah dibuat Direktorat Konservasi Kawasan Dan Jenis Ikan Ditjen Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan Dan Perikanan pada 2015. Sebelumnya KKP Nusa Penida juga sudah memiliki code of conduct atau kode perilaku pemantauan mola-mola dan manta ray.

Code of conduct ini di antaranya mengatur bagaimana perilaku menyelam agar tak mengganggu aktivitas kedua spesies itu. Misalnya jarak terdekat untuk melihat adalah 3 meter, tidak boleh menyentuh atau memegang ikan, memberi makan, dan lainnya.

Bahan edukasi lain adalah mendorong pengemudi perahu, jet ski, ponton, dan kapal lainnya menurunkan kecepatan saat memasuki KKP Nusa Penida. Marthen menjelaskan, jika kecepatan dikurangi, maka rambatan gelombang laut akan memberi kesempatan hewan di bawahnya menghindar.

“Desa adat dan dinas di Lembongan sudah mengeluarkan surat imbauan agar supir boat menurunkan kecepatan, tak lebih dari 5 knot di KKP,” ujarnya. Nusa Lembongan adalah pulau tersibuk dan teramai dengan aktivitas wisata dibanding Nusa Ceningan dan Nusa Penida.

Kepadatan lalu lintas boat di KKP Nusa Penida disebut menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang menjadi potensi utama wisata bawah laut. Menurut Marthen aturan wisata bahari ini harus lebih ditegakkan karena terlalu banyak kapal di daerah kecil juga rentan konflik seperti perebutan wilayah dan keamanan.

Dari berbagai survei yang dilakukan oleh The Nature Conservacy dan CTC di perairan Nusa Penida, dijumpai 296 jenis karang dan 576 jenis ikan dimana 5 diantaranya jenis ikan baru yang tidak dijumpai di tempat lain. KKP Nusa Penida sendiri memiliki luas total 20.000 hektar dan dicadangkan berdasarkan Peraturan Bupati Klungkung No.12/2010.

Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Agus Dermawan dalam buku Pedoman Pemantauan Hiu Paus ini mengatakan walaupun hiu paus telah ditetapkan sebagai jenis yang dilindungi penuh namun peluang pemanfaatan potensi ekonominya masih terbuka, khususnya untuk kepentingan pariwisata bahari.

Salah satu permasalahan mendasar dalam pengelolaan hiu paus adalah keterbatasan data dan informasi tentang status populasi dan pola migrasinya, sehingga diperlukan dukungan banyak pihak dalam pelaksanaannya. Pedoman monitoring hiu paus ini merupakan acuan dan panduan dalam pelaksanaan pengumpulan data dan survey populasi hiu paus di Indonesia.

Panduan melihat hiu paus. Sumber : KKP
Panduan melihat hiu paus. Sumber : KKP

Disebutkan ada sejumlah model pengamatan, misal pengamatan langsung yang dilakukan secara visual oleh nelayan bagan, Tenaga Pemantau Hiu Paus (TPHP), wisatawan, pengelola kawasan, dan pihak lainnya yang memahami pengambilan data untuk monitoring hiu paus. Pengamatan tidak langsung dengan menggunakan alat bantu seperti kamera bawah air (underwater camera), penanda (radio frequency identification-RFID) dan PopUp Satellite Archival Tag-PSAT atau penanda satelit.

Pedoman ini menyebutkan kemunculan (agregasi) hiu paus di beberapa lokasi telah menjadi destinasi pariwisata di beberapa negara seperti Australia, Filipina, Seychelles, Maladewa, Belize, dan Meksiko. Kemunculan hiu paus di beberapa lokasi di Indonesia seperti di Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dan Pantai Bentar-Probolinggo, telah mendorong berkembangnya kegiatan pariwisata berbasis hiu paus.

Hiu paus memiliki karakteristik biologi yaitu pertumbuhan dan proses kematangan kelamin/seksual yang lambat, jumlah anakan yang dihasilkan (reproduksi) relatif sedikit dan berumur panjang. Karakteristik tersebut yang menjadikan hiu paus rentan mengalami kelangkaan bahkan kepunahan apabila eksploitasi tanpa terkendali. Hiu paus dikategorikan sebagai hewan yang bermigrasi atau memiliki jangkauan wilayah yang luas.

Pada tahun 2000, hiu paus masuk dalam Daftar Merah untuk Species Terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) berstatus rentan (vulnerable) yang artinya populasinya diperkirakan sudah mengalami penurunan sebanyak 20-50% dalam kurun waktu 10 tahun atau tiga generasi.

Kemudian pada 2002, hiu paus akhirnya dimasukkan dalam Apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Artinya perdagangan internasional untuk komoditas ini harus melalui aturan yang menjamin pemanfaatannya tidak akan mengancam kelestariannya di alam.

Tujuan dari kegiatan monitoring hiu paus di Indonesia di antaranya mengetahui lokasi-lokasi kemunculan hiu paus dan mengidentifikasi daerah ruaya dan/atau tempat mencari makannya di wilayah perairan Indonesia. Mengetahui data dan informasi populasi hiu paus, memetakan sebaran dan pola migrasi hiu paus di perairan Indonesia, perilaku hiu paus (makan, berenang, respon terhadap kehadiran manusia, dll).

Hiu paus yang didata di perairan Taliyasan, Berau, Kalimantan timur. Foto: Tim survei hiu paus Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak
Hiu paus yang didata di perairan Taliyasan, Berau, Kalimantan timur. Foto: Tim survei hiu paus Satker Balikpapan, BPSPL Pontianak

Juga mendokumentasikan kejadian atau hal-hal menarik lainnya tentang kemunculan hiu paus (terjerat jaring bagan, pancing, menabrak perahu/kapal, terdampar, dll) dalam hubungannya dengan operasi kegiatan perikanan dan wisata. Selain itu membangun database populasi hiu paus di Indonesia serta memberikan rekomendasi untuk pengelolaan kawasan konservasi, ekowisata, dan konservasi hiu paus.

Hiu paus di Indonesia juga dapat ditemui antara lain di perairan Sabang, Situbondo, Bali, Nusa Tenggara, Alor, Flores, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua Sepanjang tahun 2011-2013, hiu paus di wilayah TNTC ditemukan beberapa kali terperangkap di jaring bagan.

Walaupun bukan merupakan target tangkapan, hiu paus biasa dibiarkan tinggal dalam jaring dari pagi sampai sore hari sampai jaring bagan siap diturunkan untuk memulai ativitas penangkapan. Tim WWF bersama beberapa mitra telah beberapa kali membebaskan hiu paus yang terperangkap dalam bagan dan menurut pengamatan lapangan, hiu paus yang terperangkap tampak lemas. Interaksi hiu paus dengan bagan (menabrak bagan, terkait mata kail, tergesek nelon, diusir dengan benda tajam oleh nelayan bagan) dan perahu/ kapal (ditabrak) terkadang menimbulkan luka, baik yang permanen atau tidak. (Tania et al., 2013; Tania, 2014).

Dalam buku ini juga diulas kearifan lokal hiu paus yang mendorong konservasinya. Misalnya “Gurano Bintang” dianggap sebagai hantu laut oleh masyarakat di TNTC. Ketika hiu paus muncul, maka masyarakat akan mematikan mesin dan tinggal diam di dalam perahu sampai hiu paus lewat. Kemunculan hiu paus juga dipercaya sebagai pertanda bahwa akan ada kedukaan (orang meninggal). Namun sejak hiu paus menjadi atraksi wisata, masyarakat mulai menganggap hiu paus sebagai ikan yang bersahabat.

Foto pengunjung yang naik ke punggung hiu paus di Facebook yang dikecam netizen. Sumber foto: Istimewa diambil dari akun Facebook
Foto pengunjung yang naik ke punggung hiu paus di Facebook yang dikecam netizen. Sumber foto: Istimewa diambil dari akun Facebook

Kemunculan hiu paus oleh nelayan bagan yang biasanya berasal dari suku Bugis, Buton, dan Makassar juga dianggap sebagai pertanda baik karena kemunculannya biasa diikuti oleh ikan-ikan pelagis kecil yang menjadi target bagan (komunikasi personal). Di Probolinggo, masyarakat mengeramatkan hiu paus yang dipercaya sebagai penunggu pantai Utara. Hiu paus yang biasa dipanggil “Kikaki” dipercaya menjadi kendaraan nenek moyang masyarakat Probolinggo bila pergi ke tanah leluhur di Pulau Madura.

Masyarakat pun tidak berani menangkap hiu paus karena dianggap akan mendatangkan petaka. Pada tahun 2010, dua ekor hiu paus yang terdampar dan mati dikuburkan dengan ritual. Sampai sekarang makanya masih dapat ditemukan di Desa Randu Putih.

Sementara itu, masyarakat Bajo di Lamalera percaya bahwa hiu paus atau “kareo dede” adalah ikan yang dijaga oleh dewa dan dapat melindungi atau membantu nelayan pada saat dibutuhkan. Oleh karena itu, masyarakat Bajo tidak memburu hiu paus dan jika tidak sengaja tertangkap pun, harus segera dibebaskan (Stacey et al., 2008).

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,