Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

Menti Ngelambo, berkumpul bersama sekitar puluhan Orang Rimba di pengungsian. Raut wajah mereka menunjukkan kekhawatiran. Mata tak henti-henti melihat ke ujung jalan. Sambil berdiskusi dengan Tengenggung Menyurau, Menti Ngelambo bergumam,”Hopi jadi datang boy urang perusahaan  dari Jakarta itu. Dia pasti mendengarkan  urang di sini (Mana mau datang Bos dari Jakarta itu ke sini, dia pasti sudah mendapatkan laporan dari BKS),”katanya gelisah.

Menti Ngelambo, hampir putus asa. Setelah bentrok melibatkan Orang Rimba bulan lalu, mereka belum juga mendapatkan kejelasan nasib dari perusahaan. Beberapa tuntutan mereka, mulai ketidakikutsertaan dalam perdamaian yang ditandatangani hanya melalui Jenang– mengaku mewakili Orang Rimba hingga nominal kerugian tak sesuai bayaran perusahaan. Mereka juga harus terlunta-lunta dan mengungsi terpisah-pisah di beberapa titik pasca bentrok.

Tak lama, telihat mobil melaju dari ujung jalan. Ngelambo tersenyum. Dia bersemangat masuk, duduk melingkar bersama yang lain di tempat pengungsian. Pertemuan melibatkan empat temenggung dari Orang Rimba yaitu, Temenggung Menyurau, Ngirang dan Ngamal dengan dua orang dari perusahaan. Kepala Divisi Penanganan Konflik Smart, M. Nasir Efendi dan Kepala CSR dan Hubungan perusahaan Zukri Saad.

Pertemuan sekitar dua jam ini terlihat alot. Awalnya, hanya satu poin kesepakatan berhasil dibuahkan terkait biaya ganti rugi. Dalam poin kesepakatan perdamaian pertama tanpa pelibatan Orang Rimba, perusahaan baru mengeluarkan biaya pengobatan Rp10 juta, penggantian satu mobil pick-up dan lima sepeda motor serta kain 1.000 lembar. Juga peralatan rumah tangga yang terbakar 10 sudung. Dari tutuntutan ini Orang Rimba keberatan, menurut mereka masih banyak kerugian lain tak terinci.

Sudung ditinggalkan Orang Rimba di PT Wana Perintis karena mereka mendapat ancaman. Foto: Elviza Diana
Sudung ditinggalkan Orang Rimba di PT Wana Perintis karena mereka mendapat ancaman. Foto: Elviza Diana

Temenggung Meruyau mengatakan, ada sekitar 250 kain masih belum diganti, paling berharga kain Orang Rimba saat bebalai. “Ada 250 kain, kami Orang Rimba juga memiliki kain bebalai dalam ritual persembahan kepada dewa serta satu keris pusaka, uang hangus dan telepon genggam,” katanya.

Temenggung Menyurau menyebutkan total penggntian harus diberikan perusahaan Rp68.890.000. Setelah pertemuan ini ada beberapa poin kesepakatan diperoleh.

Zukri Saad, mengatakan, pasca penetapan poin kesepakatan ini Orang Rimba boleh kembali ke lokasi PT BKS dengan catatan hanya buat sudung dan berburu. Untuk mengambil brondol, meski dibicarakan kebijakan lanjutan dengan beberapa usuln seperti brondol harus dijual ke perusahaan dan ada pedoman memperkerjakan Orang Rimba sebagai buruh pengumpul dan pengambil tandan sawit.

“Sementara mereka bisa kembali membuat sudung dan berburu, ada beberapa usulan kita berikan seperti boleh ambil brondol tapi harus dijual ke perusahan atau jadi buruh harian lepas. Ini akan dibicrakan lagi dengan manajemen,” katanya.

Perusahaan berjanji membuat pemukiman khusus bagi Orang Rimba. Semacam pemukiman terpadu dengan sumber penghidupan. “Kita akan carikan lokasi Orang Rimba ini agar bisa dibangunkan pemukiman. Ada tempat mereka bercocok tanam. Membiasakan budaya mencuri brondol juga tak memanusiakan mereka.”

Manajer Program Pemberdayaan KKI Warsi Robert Aritonang menyebutkan, kalau sudah membuat percontohan pemukiman terpadu di Sepintun, Sarolangun.

Janji manis perusahaan, disetujui empat kelompok temenggung. Namun mereka berharap perusahaan memikirkan nasib mereka sebelum pemukiman terpadu terwujud.

Depati Balai, anggota Temenggung Menyurau setuju dengan tujuan jangka panjang perusahaan. “Sebelum, teralisasi kami nak makan sehari-hari macam mano? Kami menggantungkan hidup dari brondol sawit.”

 

Hasil panen ubi kayu merupakan makanan yang diandalkan saat ini ketika mereka mengungsi. Foto: Elviza Diana
Hasil panen ubi kayu merupakan makanan yang diandalkan saat ini ketika mereka mengungsi. Foto: Elviza Diana

 

Orang Rimba terancam terusir dari HTI

Pengusiran Orang Rimba dari BKS berbuntut ancaman bagi yang tinggal di konsesi HTI PT Wana Perintis, berdampingan dengan HGU BKS.

Temenggung Ngamal mengatakan, mendapatkan ancaman masyarakat desa agar segera pergi dari lokasi itu. “Kami diusir juga, ditakuti-takuti hingga kami mengungsi. Untuk perempuan dan anak-anak mengungsi ke hutan Desa Jelutih. Ada juga masuk Taman Nasional Bukit Duabelas.”

Ngamal juga menyakini utusan masyarakat desa itu perwakilan dari perusahaan. “Iya, dari perusahaanlah. Kami tak akan keluar dari sini. Ini perlindungan kami terakhir. Kami sudah terjepit dimana-mana,“

Kini, 160 kelompok Terab dan Serenggm mengungsi. Namun mereka kekeuh tak akan keluar dari wilayah HTI itu. “Ini wilayah kami, tanah nenek moyang. Kami tak akan keluar. Meski beberapa perempuan dan anak-anak tak lagi di sudung dan menyungsi. Kami tetap di sini,” kata Ngamal.

Wana Perintis mendapatkan SK Departemen Kehutanan pada 18 Desmber 1996 melalui Surat Nomor. 781/Kpts-II/1996 Total konsesi 6.900 hektar di dua kabupaten yaitu, Sarolangun dan Batanghari. Di dalam kawasan ini sewaktu izin terbit masih kawasan hutan dengan tutupan baik, Ada lima kelompok Temenggung Orang Rimba hidup di sana. Yaitu Temenggung Menyurau, Nyenong, Ngamal dan Ngirang, biasa disebut kelompok Orang Rimba Terab dan Serenggam.

Dalam hasil studi kebijakan pemanfaatan ruang dan sumberdaya oleh Warsi, Universitas Jambi dan Bappeda Batanghari pada 2003, terlihat blok hutan tersisa yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup Orang Rimba. Juga masyarakat desa sekitar. Di bagian utara, daerah hidup Orang Rimba, bagian lain wilayah kelola masyarakat sejak lama, jauh sebelum ada Wana Perintis.  Studi ini merekomendasikan pencabutan izin Wana Perintis.

Hasil panen ubi kayu merupakan makanan yang diandalkan saat ini ketika mereka mengungsi. Foto; Elviza Diana
Hasil panen ubi kayu merupakan makanan yang diandalkan saat ini ketika mereka mengungsi. Foto; Elviza Diana

Sayangnya, rekomendasi tak ditindaklanjuti pihak-pihak terkait, terutama Departemen Kehutanan kala itu, selaku pemberi izin. Wana Perintis sendiri, seolah mati suri, tak melakukan kegiatan apapun.

Untuk sementara Orang Rimba tetap bisa nyaman hidup di sini. Sampailah 2010, bencana datang. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan lahan terlantar. PP ini menegaskan kawasan berizin jika tak dikelola sesuai rencana kerja dianggap tanah terlantar, akan kembali kepada negara.

Kondisi ini seakan membangunkan Wana Perintis dari tidur panjang. Perusahaan ini segera berbenah menggandeng Incasy Raya. Perusahaan tancap  gas mengelola kawasan.

Alat-alat berat sampai ke lokasi, pepohonan nan rimbun segera bertumbangan, hewan-hewan ikut menghilang.

Orang Rimba tak  tinggal diam, menuntut perusahaan menghentikan kegiatan di kawasan jelajah mereka. Ada banyak hal menjadi penanda kawasan hutan yang menjadi konsesi Wana Perintis adalah wilayah adat Orang Rimba. Misal, tanah pasaron yaitu tanah bagi Orang Rimba menempatkan keluarga mereka yang meninggal.

Lalu, agak ke timur ada tanah peranoon.  Ini tanah mengubur ari-ari bayi, ditandai pohon sentubung– perlambang kehidupan Orang Rimba.

Perusahaan bersikukuh, mereka memiliki legalitas lahan kelola. Orang Rimba juga kukuh tak mau beranjak, mereka bertahan.

Perusahaan menyisakan sedikit hutan  klaiman Orang Rimba dalam bentuk spot-spot kecil di dua lokasi. Luas masing-masing tak sampai seperempat hektar untuk pasaron dan peranoon. Sejatinya menurut perhitungan Orang Rimba,  hutan mereka mencapai 300 hektar. Ia menghubungkan tanah peranoan dan pasaron.

Konflik ini berhasil diatasi dengan pola kemitraan. Ia diatur Peraturan Menteri kehutanan No 39 tahun 2013 tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Permenhut ini, menyebutkan kewajiban perusahaan mengakomodir masyarakat, dengan pola kemitraan lima persen dari luas konsesi perusahaan.

Orang Rimba mengajukan untuk mendapatkan lahan dua hektar per rumah tangga. Orang Rimba meminta lahan kemitraan–merupakan kebun karet berumur tiga tahun–termasuk tanah pasaron dan pasaron Orang Rimba. Kawasan ini mempunyai nilai histori bagi Orang Rimba. Mereka negoisasi luasan klaim dari 300 hektar, disepakati 114 hektar.

Lahan menempel dengan kawasan konservasi perusahaan ada 10% memanjang dari utara ke selatan.

Perusahaan, bersedia mengalokasikan 114 hektar (5%) dari lahan dibuka dan ditanami sekitar 2.300 hektar. Perusahaan berjanji menyerahkan lahan sekaligus membantu Orang Rimba perawatan dan mengelola kebun. Syaratnya, kalau karet panen Orang Rimba menjual ke perusahaan.

Meskipun begini, kini ancaman pengusiran Orang Rimba di depan mata…

Pembahasan beberapa kesepakatan baru. Foto: Elviza Diana
Pembahasan beberapa kesepakatan baru. Foto: Elviza Diana
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,