Evaluasi Zonasi Taman Nasional Leuser Demi Proyek Panas Bumi?

Pada Jumat (17/6/16), di sebuah hotel di Jalan Sisingamangaraja Medan, Sumatera Utara, berkumpul sejumlah pakar lingkungan, pejabat Direktorat Konservasi Kawasan, Direktorat Pengelolaan dan Informasi Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta perwakilan Pemerintah Aceh dan Sumut, serta kalangan organisasi masyarakat sipil. Ada apa? Mereka membahas evaluasi zonasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Dalam evaluasi zonasi ini, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), meminta pendapat atau konsultasi publik, guna mengetahui kondisi terkini warisan dunia ini.

Banyak yang mempertanyakan mengapa begitu tiba-tiba konsultasi publik evaluasi zonasi TNGL.  Ternyata ada kabar sejumlah kalangan mendesak BBTNGL mempercepat pembahasan zonasi. Ada kepentingan orang-orang tertentu, agar zona inti TNGL khusus kawasan Kappi di Aceh Tenggara, bisa jadi zona pemanfaatan. Di Kappi, potensi geothermal atau panas bumi besar. Ada perusahaan asal Turki tertarik mengelola.

Konon, upaya melancarkan perubahan zona ini seorang mantan pejabat di KLHK, berulang kali mondar mandir ke Kantor BBTNGL di Jalan Selamat Medan.

Andi Basyrul, Kepala BBTNGL, mengatakan, kawasan TNGL menyandang berbagai status, mulai dari cagar biosfer, warisan dunia, warisan ASEAN, dan Kawasan Strategis Nasional.

Dia menyatakan, perkembangan yang terjadi baik kebijakan maupun kondisi kawasan, menjadi alasan percepatan pembahasan evaluasi zonasi ini.

“Kalau dulu, zona inti tak boleh diganggu gugat. Berbeda sekarang, kita juga dituntut mengelola kawasan untuk mendapatkan penerimaan negara bukan pajak.”

Sumber: TNGL
Sumber:  presentasi Balai TNGL

Sayangnya, setelah membuka evaluasi zonasi, Basyrul, langsung pergi. Dia tak menjelaskan soal rencana panas bumi di Kappi, yang masuk zona inti TNGL.

Kuswandono, Kepala Bidang Teknis BBTNGL, mengatakan, evaluasi zonasi ini untuk meng-update data terkini, dimana TNGL berada di dua provinsi yaitu Sumut dan Aceh.

Jika dilihat dari mekanisme penyusunan zonasi, BBTNGL hanya memberikan usulan, namun keputusan ada di direktorat jenderal terkait di Jakarta. Nanti, kebijakan ada di KLHK apakah menerima usul dari yang disepakati tim zonasi, atau malah ada kebijakan lain akan dibuat sendiri oleh pusat. “Bisa saja ada perubahan dan pengurangan lain. Jadi harus dikawal usulan peserta sampai ada keputusan final.”

Dia menjelaskan, berdasarkan temuan dari inspektorat, pada 20 Januari 2014, terjadi perubahan bentuk dan luas TNGL dari 1.094.692 hektar menjadi 838.872 hektar. Jadi, katanya, perlu penataan kembali zona TNGL berdasarkan kondisi terkini, agar pengelolaan lebih efektif dan efisien.

Zonasi 2009,  berdasarkan luas 838.872 hektar, ditemukan luas zona inti 694.973,69 hektar. Untuk zona rimba 50.510,24 hektar. Zona pemanfaatan 10.506,75 hektar. Zona tradisional 3.316 hektar. Untuk zona religi 72.73 hektar. Sedangkan zona khusus 1.176,66 hektar, zona rehabilitasi seluas 77.671,33 hektar, dan zona abu-abu 644.42 hektar.

Pada 2016, zona inti menjadi 631.542  hektar. Zona rimba 2009 seluas 66.665,50 hektar, 2016 menjadi 129.728,03 hektar. Hasil evaluasi zonasi 2016, zona pemanfaatan 14.304 hektar dari 2009 seluas 12.728,03 hektar.

Zona tradisional, dari 10.427,80 hektar,  menjadi 3.465 hektar,  zona religi 72.73 hektar jadi 87.00 hektar, zona rehabilitasi 143.702,87 hektar menjadi 58.479 hektar, zona khusus 2.738,29 hektar jadi 1.912 hektar dan zona abu-abu seluas 2.738,29 hektar jadi tak tercatat.

“Total indikasi hasil evaluasi zonasi TNGL 2016 untuk 2009 seluas 1.094,692 hektar, zonasi 2016 seluas 838.872 hektar.”

Andi Basyrul, Kepala BBTNGL (tengah), kala membuka konsultasi publik. Foto: Ayat S Karokaro
Andi Basyrul, Kepala BBTNGL (tengah), kala membuka konsultasi publik. Foto: Ayat S Karokaro

Zona inti terancam

Mimi Murdiyah, Direktorat Konservasi Kawasan KLHK, menyatakan, suatu kewajiban mempertahankan status TNGL. Dalam pengelolaan bisa meminta dukungan internasional.

“Apabila kita tak bisa mempertahankan status TNGL, konsekuensi di pergaulan internasional Indonesia dianggap tak bisa mengelola warisan dunia.”

Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society-Indonesia, mengatakan, jika dilihat dari persentase terlihat sekali kawasan yang terindentifikasi menyimpan potensi panas bumi memiliki konsentrasi keragaman hayati atau skor tinggi, termasuk di Kappi. WCS menganggap, Kappi tetap menjadi zona inti, bahkan perlu peningkatan perlindungan wilayah.

Jika ada keinginan lain mengubah zona inti menjadi pemanfaatan, katanya, itu usulan tak layak dan tak bertanggungjawab. TNGL, katanya, menjadi kawasan konservasi untuk menjamin kelestarian keragaman hayati, termasuk empat satwa kunci, yakni, harimau, gajah, orangutan dan badak.

“Daerah Kappi, Aceh Tenggara skor sangat tinggi. Harus tetap sebagai zona inti, tak boleh diubah menjadi pemanfaatan.”

Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), melihat sebagian besar TNGL adalah zona inti hingga harus benar-benar terjaga dan tak boleh ada kegiatan merusak lingkungan dan mengancam.

Saat mendengar ada rencana membuka proyek gepthermal di Kappi, katanya, walau hutan dijaga kiri kanan pada lokasi geothermal, akan tak baik bagi keberlangsungan hidup satwa kunci yang terpantau banyak disana.

Dia mengatakan, ada 1.000-1.500 an orangutan Sumatera di wilayah timur dan utara bakal terancam kala proyek ini berjalan. “Satu jalan akan memotong populasi satwa disana. Ini berbahaya jika benar-benar terjadi.”

Indonesia, katanya, negara paling banyak kegiatanvulkanologi dan potensi energi panas bumi. “Pertanyaannya, mengapa harus di dalam atau di tengah hutan TNGL? Mengapa harus membangun geothermal disana padahal masih banyak potensi daerah lain yang lebih masuk akal! Ini sangat tidak masuk akal.”

Dia melihat, hanya modus, mau membangun geothermal supaya bisa masuk dan melihat potensi untuk membuka hutan.

Widodo Ramono, sekretaris pada Sekretariat Bersama Badak Indonesia, mengatakan,  badak Sumatera di Indonesia tak lebih 100 dan masuk status sangat terancam punah.

Dari pemaparan, dia melihat ada zona-zona kantong badak Sumatera, khusus di Kappi. Jadi, katanya, tak terbayangkan jika zona inti itu ada kegiatan yang bisa merusak habitat. “Itu pasti mempercepat kepunahan badak Sumatera.”

Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) ini mengatakan, badak dan satwa kunci lain harus masuk di zona inti.“Jika proyek geothermal di Kappi, pasti akan ada kegiatan manusia di sana. Otomatis ada akses dan selalu ada perambahan, perlu pengaturan tepat agar tak ada penghancuran kawasan masif,” katanya.

Kappi, ekosistem sangat kaya keragaman hayati. Badak habis karena dataran terpakai manusia. Jadi, katanya, saat ini seharusnya memikirkan bagaimana menyelamatkan satwa terancam punah.

Keberadaan satwa ini penting, demi bumi dan manusia. Dia mencontohkan, kotoran badak jika ditempatkan dalam kantung tanaman akan muncul 12 benih pohon. Artinya, badak tak dibayar tetapi salah satu penyebar benih yang baik.

“Saya ingatkan, peningkatan ekonomi sangat perlu, tetapi bukan malah menghancurkan hutan apalagi sampai merusak habitat satwa.”

Sumber: Balai TNGL
Sumber: Balai TNGL
Sumber: Balai TNGL
Sumber: Balai TNGL
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,