Sistem Produksi Pangan pada Ekologi dan Budaya Bali Berubah. Apa Pengaruhnya?

Seorang pria setengah baya mengaku mengelola lahan milik puri, keluarga raja di sebuah lahan pertanian di Jalan Raya Pengosekan, Ubud, Gianyar. Ia bertani padi, merawat, dan memanen tak hanya untuk dikonsumsi tapi suguhan pada turis yang menginap di bungalow sekitar sawah ini.

Lahan yang digarapnya bersisian dengan lahan-lahan sawah lain yang bekerja sama dengan pengusaha akomodasi di sekitarnya. Kompleks akomodasi bergaya bungalow ini memang berada di tengah persawahan di Ubud.

Pertanian sudah menjadi komoditas industri pariwisata. Belum tentu juga beras yang dihasilkan menjadi olahan utama usaha wisata sekitarnya.

Dr Graeme McRae, antrolopog dari Massey University, New Zealand dan Profesor Thomas Reuter dari University of Melbourne, Australia memaparkan hasil penelitiannya tentang kerentanan pangan akibat pergeseran budaya pertanian dan perubahan ekologi di Bali ini pada seminar di Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya Universitas Udayana, pada minggu kemarin.

Dalam risetnya berjudul Emerging Vulnerabilities in Indonesia Food System. The Case of Higland Bali, Thomas daerah pegunungan Kintamani di Kabupaten Bangli. Daerah yang sudah ditelitinya selama lebih 20 tahun untuk konteks budaya, pertanian, dan ekologinya.

Di masa depan, ia menyimpulkan masalah pokok adalah pangan karena meningkatnya jumlah penduduk sementara makin banyak kehilangan tanah subur karena bencana dan perubahan iklim. “Sangat mengerikan dalam 10 tahun bisa mengalami kehancuran,” katanya.

Pada abad 20 tersedia cukup pangan tapi masih ada masalah kelaparan. Inilah yang disebut bukan karena produksi tapi distribusi. “Hanya yang punya duit bisa beli,” lanjutnya.

Neoliberalisme yang diagungkan pasar namun tak berhasil mengatasi kelaparan di dunia. Ia mengatakan ini penelitian baru, sementara teori sudah ada karena Adam Smith yang diagungkan neolib ternyata ada bagian bukunya yang membahas tentang moral ekonomi. Bahwa jika hanya menggunakan mekanisme pasar tak menguntungkan.

“Pembangunan pertanian hanya menambah produksi belum dilihat apakah orang akan mampu membeli,” ujar Thomas. Demikian juga berdampak pada masa depan lingkungan. Penelitiannya di Kintamani sejak awal 90-an untuk melihat perubahan 25 tahun. Dulu, warga masih punya hutan dan kebun. Tumbuhan yang ditanam mencapai 100 jenis tanaman pangan sehingga zaman dulu tiap orang punya makanan lengkap tak tergantung orang lain. Ini disebutnya kedaulatan pangan.

Ada kearifan lokal untuk mengontrol. Misalnya setelah bulan tilem tak boleh berdagang. Perdagangan tak lepas pada pasar dan waktu tanam. Juga ritual produksi dan lingkungan.

Ancaman ekologis dimulai ketika warga mulai beralih ke cash crops, istilah bagi pangan yang diproduksi hanya untuk dijual. Memudarkan kedaulatan pangan.

Pertanian jeruk di Kintamani yang lebih menghasilkan ini pun kurang adil karena jalur distribusi sampai konsumsi sangat panjang. Petani melalui 9 langkah dalam perdagangan jeruk sehingga tak begitu menguntungkan petani. Misalnya ada pengepul, pedagang besar, kecil, dan lainnya.

Krisis ekonomi 1998 tak mendera petani Kintamani karena jeruk masih menguntungkan. Misalnya muncul petani besar dengan kepemilikan lahan luas dan mengembangkan usahanya. Thomas menyontohkan Nang Leteh, yang menggarap jeruk dan ternak. Petani sukses ini lalu beli tanah di Sumbawa untuk perkebunan jagung sebagai pakan ternaknya di Kintamani.

Untuk bersihkan lahan guna menanam jeruk, banyak pohon ditebang. Terjadilah erosi kalau hujan.Tanah terbawa ke sungai dan sumber air menajdi keruh.

Demikian juga saat petani banyak mengubah lahannya menjadi kebun sayur. Pepohonan ditebang, dan penetrasi pabrik pupuk kimia membuat penggunaan pupuk kimia yang tak terkontrol.

Lomba mendorong pemanfaatan buah lokal di sesajen atau gebogan Bali ini karena makin banyaknya penggunaan buah impor dan snack atau minuman ringan. Foto : Luh De Suriyani
Lomba mendorong pemanfaatan buah lokal di sesajen atau gebogan Bali ini karena makin banyaknya penggunaan buah impor dan snack atau minuman ringan. Foto : Luh De Suriyani

Sementara para petani sayur di Kintamani mayoritas berada di sekeliling danau Batur. Danau yang disucikan ini menajdi sumber irigasi utama, sementara residu pupuk kimia juga berdampak pada kualitas air danau Batur. Kerap ada kasus kematian massal ikan yang dibudidayakan di danau ini.

Upaya penggunaan pupuk kandang juga memberi masalah baru yakni gas metan. Ada inisiatif mengumpulkan gas ini dengan produksi dengan biogas tapi ada kendala dibiaya teknis instalasi yang cukup besar.

Thomas juga beri perhatian pada makin banyaknya snack dalam bungkus plastic yang menjadi bagian sesajen atau banten. “Makanan yang merugikan kesehatan dan lingkungan,” katanya.

Ia mengingatkan rentannya ketahanan pangan di masa depan dengan contoh Sungai Mekong di Vietnam yang mengering. Negara-negara pengimpor beras seperti Indonesia akan terdampak.

Konsep moral ekonomi diajukan Graeme dari Massey University, New Zealand. Ia meneliti sistem pangan di Bali.

Moral ekonomi dinilai lebih netral sebagai nilai alat pikiran untuk mengkaji baik atau tidak. Dalam sistem makanan dunia ada tantangan kapitalis dikuasai penguasa yang kerjasama dengan pemerintah. Food security vs food souverignity.

Graeme mengingatkan revolusi hijau memang memberikan dampak massif hingga kini. Dalam pertanian tradisional Bali, moral ekonomi ini membungkus pertanian secara fisik (sekala) dan tak terlihat (niskala). Menjadi kebudayaan pertanian yang mendukung kedaulatan pangan.

Secara sekala, petani Bali menghasilkan produk-produk pertanian termasuk padi. Secara niskala melalui berbagai ritual dan upacara. Misalnya ia menyontohkan ada 10 upacara atau ritual yang dilakukan petani sejak persiapan sampai panen.

Saat panen, ini adalah proses kolektif yang dilakukan di banjar (unit terkecil masyarakat Bali) atau subak (kelompok tani tradisional). Ia melihat ada saling bantu dengan prinsip semua dapat agar adil dan semua warga punya beras. Hasil panen pertama untuk kebutuhan konsumsi, upacara, lalu disimpan kelompok. “Kalau ada kelebihan diberikan yang miskin,” paparnya.Konsep moral ekonomi saat itu yang dipraktikkan adalah beras jangan jadi komuditas jual beli karena tak begitu baik (etis) mending diberikan orang miskin.

Sistem ini menurutnya diganggu green revolution yang merusak sistem komunal, sisten tanam dan juga berdampak pada ekologi. Revolusi hijau memang mendorong penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan hilangnya bibit lokal karena penggunaan bibit hibrida yang dipasok pemerintah.

Kegagalan revolusi hijau ini menurutya sangat immoral dan merusak. Jika awalnya bekerja kolektif, dengan transfer teknologi untuk memaksimalkan hasil panen, lalu dibantu teknologi yang mendorong petani kerja sendiri-sendiri. Kebersamaan hilang dan motif bertani juga berubah. Pangan menjadi komoditas dan cadangan pangan bukan prioritas. Lambat laun terjadi kerentanan pangan.

Sebuah seni instalasi dari seniman Gede Sayur untuk kampanye sawah bukan untuk dijual di objek wisata terasering Ceking, Tegalalang, Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani.
Sebuah seni instalasi dari seniman Gede Sayur untuk kampanye sawah bukan untuk dijual di objek wisata terasering Ceking, Tegalalang, Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani.

Diskusi ini dihadiri banyak akademisi Bali. Topik globalisasi, pariwisata, dan dampaknya pada pertanian memang makin banyak diperbincangkan. Walau tak memengaruhi kebijakan karena visi pembangunan masih mendorong alih fungsi lahan yang masif.

Wayan Windia, peneliti hukum adat mengajukan pertanyaan yang mungkin banyak diajukan. Apakah ekonomi bermoral ini masih relevan? Windia mengaku sedang meneliti ragam makanan tradisional, dari matah (mentah), diolah, dan limbah.

Wayan Arnati juga merasa ada perubahan besar dalam memaknai pangan saat ini. “Dulu banten penuh makna. Sekaramg sarat perubahan makna, saya malu,” keluh perempuan ini. Misalnya gebogan (sesajen makanan yang disusun vertikal, bisa sampai 1-2 meter) sekarang isinya minuman kaleng.

Sementara peneliti lain Puja Astawa juga membagi pandangannya tentang hubungan relasi patronase di Ubud dan kaitannya dengan pertanian. Di Ubud, hubungan yang terlihat adalah antara warga kebanyakan yang menjadi rakyat (parekan) dengan keturunan raja (puri).

Hubungan ini salah satunya berbasis tanah dan dianggap pola menyejahterakan sehingga dianggap obat atau ubad (salah satu muasal kata Ubud). Transformasi terjadi dengan sistem republik yang salah satu kebijakannya land reform. Tanah-tanah yang dikuasai puri sebagian harus dibagikan ke masyaarakat, yang menyebabkan memudarnya loyalitas klien pada patron.

Namun patronase bangkit lagi dengan munculnya hegemoni puri memainkan peran bidang turisme. Puja menyebutpurimemodifikasi kebudayaan dan diikuti masyarakat karena merasakan dapat dampak pariwisata. “Alih fungsi lahan besar-besaran.Ada subak yang sekarang hanya tersisa di kanvas, sebuah memori kultural,” kritiknya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,