Cegah Fish Laundry, KKP Wajibkan Sertifikat Tangkap untuk Impor

Kementerian Kelautan dan Perikanan mewajibkan seluruh produk perikanan yang diimpor ke Indonesia harus memiliki sertifikat tangkap (catch certificate) dari negara asalnya. Hal itu, dimaksudkan agar kebijakan impor ikan tidak disalahgunakan oleh para pengusaha atau pun pihak tertentu. Sehingga nilainya tetap kurang dari 20 persen terhadap ekspor.

Pernyataan tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum lama ini. Menurut dia, kebijakan impor ikan yang kembali dibuka tahun ini harus diawasi dengan ketat karena berpotensi menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.

“Dalam kondisi normal saja, kebijakan impor ikan tahun ini mendapat respon negatif. Makanya kita harus mengawasinya dengan ketat karena kita harus bisa membuktikan bahwa impor ikan ini memang dibutuhkan,” ujar dia.

Susi mengungkapkan, pemberlakuan syarat sertifikat tangkap untuk produk impor ikan, juga harus dilakukan karena itu bisa mencegah terjadinya aktivitas pencucian komoditas perikanan (fish laundry) yang dilakukan negara sendiri ataupun negara lain.

“Semua impor ikan di Indonesia harus memakai catch certificate untuk menghindari apa yang disebut sebagai aktivitas fish laundry,” tegas dia.

Dengan cara tersebut, Susi berharap kebijakan impor ikan bisa berjalan dengan baik. Karena, kebijakan tersebut pada dasarnya saat ini memang dibutuhkan oleh Indonesia. Hal itu, terutama karena untuk memasok kebutuhan industri seperti restoran dan juga industri pengolahan lainnya.

“Saya juga izinkan impor ikan dibuka lagi tahun ini, karena saya yakin mekanisme di pasar tidak akan merusak harga ikan lokal. Jadi, kita jamin itu tidak akan mengganggu aktivitas nelayan lokal,” tutur dia.

Adapun, Susi menyebutkan, ikan-ikan yang menjadi target impor, adalah ikan-ikan yang tidak ada di Indonesia atau kapasitas produkusinya masih terbatas. Salah satu contohnya, adalah ikan salmon yang tidak ada di perairan Indonesia dan ikan cakalang yang produksinya tidak sepanjang tahun.

Untuk diketahui, sesuai ketentuan, impor ikan diizinkan untuk bahan baku unit pengolahan ikan (UPI) yang akan diekspor kembali. Kemudian juga, untuk bahan baku pengalengan ikan, bahan baku pemindangan, konsumsi hotel, restoran, katering, dan pasar modern, bahan baku fortifikasi, serta untuk umpan.

Tetapi, Susi kemudian mengingatkan, meski kebijakan impor ikan sudah berjalan rutin tiap tahun, namun dari tahun ke tahun hingga saat ini trennya terus menurun. Jadi, sebenarnya Indonesia sedang berusaha melepaskan diri dari ketergantungan impor.

“Satu hal, angka impor kita sudah jauh menurun dan kita impor macam-macam tidak hanya cakalang, tetapi ikan seperti salmon yang tidak diproduksi di Indonesia,” ucapnya.

Susi kemudian memaparkan, dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor hasil perikanan tahun 2015 mencapai 290.072 ton atau 2,1 persen dari 13,7 juta ton produksi total ikan dan rumput laut kering di Indonesia. Dari sisi nilai, itu ekuivalen dengan USD370,2 juta atau sekitar 9,3 persen dari nilai ekspor perikanan tahun 2015 yang tercatat sebesar USD3,94 miliar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo mengungkapkan, pengetatan importasi ikan tersebut akan dilakukan melalui revisi atas Permen KP No.46/2014 tentang Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan yang Masuk ke Wilayah NKRI.

“Sejak lama kita itu itu biasa mengimpor ikan. Tahun lalu juga sama. Hanya, untuk tahun ini kita berusaha tidak lakukan karena kita masih tersedia di pasar. Namun, setelah industri menjerit baru kemudian izin kita terbitkan lagi,” jelas dia.

“Izin diterbitkan, menurut Nilanto, karena tangkapan nelayan sedang menurun menyusul kondisi cuaca yang tidak menentu sejak awal tahun ini,” tambah dia.

Sistem Logistik Ikan Nasional

Menyikapi kebijakan impor ikan yang dikeluarkan KKP, Anggota Komisi IV DPR RI Akmal Pasluddin berpendapat, seharusnya KKP bisa memanfaatkan Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) yang sudah diluncurkan sejak 2014 lalu.

“Dengan SLIN, itu sebenarnya Pemerintah bisa mengatasi impor ikan yang dilakukan karena keterbatasan bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan nasional,” ungkap dia beberapa waktu lalu.

Menurut Akmal, karena sudah ada SLIN, seharusnya itu bisa dimanfaatkan dengan baik. Tinggal berikutnya adalah bagaimana agar sistem tersebut bisa berjalan dengan baik dan kemudian memperbaiki kelemahan yang ada di dalamnya.

“Kalau ikan yang diimpor itu makarel sih sah saja ya. Nah ini kalau yang diimpor adalah ikan yang juga ada di perairan Indonesia seperti cakalang dan tongkol, maka itu tidak masuk akal,” tutur dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,