Beginilah Nasib Pisang Bahan Uang Dolar dari Talaud

Pernah dengar nama pisang abaka? Seperti nama latinnya, tumbuhan ini bisa jadi bahan dasar pembuatan kertas maupun kain. Bahkan, menurut sejumlah referensi, serat pohon pisang abaka disebut-sebut sebagai bahan pembuat kertas dolar.

Pohon pisang abaka (Musa textilis) termasuk dalam famili Musaceae atau jenis pisang-pisangan. Filipina dan Ekuador disebut-sebut sebagai negara penghasil abaka terbesar di dunia. Filipina, misalnya, dengan ekspor 2.400 ton per tahun diperkirakan menghasilkan devisa mencapai USD 3.060.000. Serat dari batang pisang ini diyakini sebagai bahan baku kertas uang dengan kualitas terbaik, sehingga dipakai untuk mencetak dolar Amerika dan euro.

Untung Seyo Budi dkk, pernah melakukan riset berjudul “Eksplorasi Sumber Genetik Abaca di kepulauan Sanghie-Talaud”. Menurut mereka, kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan daerah pertama di Indonesia yang membudidayakan pisang abaka untuk keperluan sehari-hari. Kemudian, penduduk setempat sudah lama memanfaatkan serat abaka untuk pembuatan pakaian adat, tali tambang maupun jaring untuk menangkap ikan.

Dalam riset itu diperoleh 15 aksesi abaca, 8 aksesi di antaranya dari kecamatan Tabukan Utara dan Manganitu di kabupaten Kepulauan Sangihe dan 7 aksesi dari Kecamatan Beo, Rainis dan Esang di Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud.

Mereka menilai, kepulauan Talaud, terutama di pulau Karakelang, merupakan wilayah ideal pengembangan abaka. Sebab, tampilan pohon pisang di daerah ini didapati lebih tinggi dan besar dibanding dengan yang ditemukan di Sangihe.

Serat pisang abaka dari DDesa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut yang siap kirim. Foto : Themmy Doaly
Serat pisang abaka dari Desa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut yang siap kirim. Foto : Themmy Doaly

Sementara, menurut catatan Bank Indonesia, di Desa Esang, Kabupaten Kepulauan Talaud, terdapat setidaknya 150 hektar lahan abaka. Potensi ekonomi dari pemanfaatan pohon ini, membuat Bank Indonesia sejak Mei 2011, telah menjadikan abaka sebagai salah satu produk unggulan di Talaud selain kelapa, cengkih, kopra dan pala.

Bersama pemerintah Kabupaten Talaud, BI membuat Forum Pengembangan Ekonomi Daerah. Pada November 2012, nota kesepahaman ditandatangani Constantine Ganggali, Bupati Talaud saat itu, bersama dengan Suhaedi, kepala BI provinsi Sulawesi Utara. Tujuannya, memberdayakan ekonomi di wilayah perbatasan melalui abaka, sekaligus berusaha mewujudkan Talaud sebagai produsen abaka terbesar kedua di dunia.

Selain itu, diberikan seribu bibit abaka sebagai simbol kerja sama dan dimulainya implementasi program sosial Bank Indonesia di sektor ini. “Bantuan lain adalah alat pemroses serat, mesin pemangkas rumput dan pendampingan berupa pelatihan-pelatihan. Adapula bantuan modal kepada 4 kelompok untuk realisasi pengadaan bibit,” demikian dituliskan dalam Gerai Info, newslatter Bank Indonesia.

Masalah Harga, Bahan Baku dan Pasar

Dalam kenyataannya, upaya pemanfaatan pohon pisang abaka sebagai produk unggulan masih jauh panggang dari api. Sebab, sejumlah narasumber yang ditemui Mongabay Indonesia di Talaud, mengaku menghadapi persoalan teknis hingga ketersediaan bahan baku.

Menurut Jufri Amimang, petani pisang abaka dari desa Esang, masyarakat di desa itu belum begitu tertarik membuka kebun pisang abaka. Harga jual per batang yang dinilai rendah diyakini menjadi sebabnya.

Saat ini, dengan sistem ‘duduk manis’, pisang abaka per batangnya dihargai Rp2000. Dengan sistem ini, masyarakat cukup menyerahkan pohon pisang yang sudah siap dipanen tanpa harus melakukan penebangan pohon, pengangkutan serta penyeratan.

Namun, jika masyarakat mengolah sendiri pisang abaka hingga menjadi serat kering, harga per batangnya menjadi Rp10.000. Persoalannya, ungkap Jufri, masyarakat tidak memiliki alat produksi untuk melakukan pengolahan.

mesin penyerat abaka di Desa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut. Foto : Themmy Doaly
mesin penyerat abaka di Desa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut. Foto : Themmy Doaly

“Selama ini bantuan untuk petani pisang abaka tidak sesuai harapan. Mesin, contohnya, tidak bisa dioperasikan secara maksimal,” ujar Jufri ketika ditemui di Desa Esang, pada pertengahan Juni.

Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan harga, dia berharap pemerintah kabupaten mau memfasilitasi perluasan areal kebun abaka.  “Produksi bisa bertambah jika pemerintah daerah mau memperluas lahan perkebunan pisang abaka,” demikian dikatakan Jufri.

Sementara itu, Komang Sarda, kepala produksi PT Dharma Bumi Berdikari (DBB), mengungkapkan, hingga saat ini, pihaknya masih mengandalkan hasil panen dari petani. Sedangkan belum banyak petani di Desa Esang yang menanam abaka. Konsekuensi dari kurangnya ketersediaan bahan baku, serat pisang abaka hanya diproduksi 50kg per harinya.

DBB adalah perusahaan yang memproduksi serat pisang abaka, yang beroperasi di desa Esang. Hasil produksi serat abaka itu selanjutnya diekspor ke Jepang. Selain itu, DBB juga membuat tirai dan karpet dari serat pisang abaka.

Menurut Komang, desa Esang sebenarnya sudah ditetapkan sebagai pusat pengembangan abaka. Ditambah lagi, produksi serat pisang abaka dijadikan komoditi unggulan di Kabupaten Kepulauan Talaud.

Berdasarkan informasi yang diketahuinya, pemkab sempat berencana mengembangkan perkebunan pisang abaka hingga 5000 hektar di seluruh Talaud. Namun, persoalannya, pengembangan kawasan di wilayah Esang, yang menjadi pusat produksi, dirasa belum sesuai harapan.

“Pemerintah kabupaten memang melakukan penanaman pisang abaka, namun tidak terpusat di satu lokasi. Sedangkan, yang berproduksi baru di desa Esang dan Rainis. Jadi, petani di daerah lain yang menanam abaka, tidak ada yang ambil. Harusnya pengambangan bisa difokuskan di desa Esang terlebih dahulu,” harap Komang.

Hasil kerajinan tangan dari pisang abaka dari Desa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut. Foto : Themmy Doaly
Hasil kerajinan tangan dari pisang abaka dari Desa Esang Kabupaten Kepulauan Talaud Sulut. Foto : Themmy Doaly

Adranius Ontoge, pengrajin pisang abaka dari desa Makatara, menjelaskan, bersama rekan-rekan kelompoknya, ia bisa membuat topi, sandal, serta tas dari serat pisang abaka. Dengan 100 meter serat abaka, mereka bisa membuat tas dalam waktu 2 hari saja.

Namun, selama ini, dia mengaku menghadapi kendala belum terbukanya pasar. Sehingga, mereka hanya memproduksi kerajinan tangan dari serat pisang abaka jika ada pesanan.  Dia percaya jika kedepannya, pemerintah kabupaten memfasilitasi pengrajin pisang abaka dengan membukakan pasar, maka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar semakin bertambah.

“Saya punya mimpi, Desa Makatara bisa jadi pusat kerajinan serat abaka,” tambah Adranius

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,