Kilau Krakatau yang Tak Bosan untuk Dipandang

Krakatau merupakan gugusan pulau sarat pengetahuan yang berada di Selat Sunda. Ada Rakata, Panjang, Sertung, dan Anak Krakatau. Awalnya, Krakatau merupakan gunung api purba yang tingginya tiga ribu meter dengan diameter 11 kilometer. Akibat letusan dahsyat di masa prasejarah itu, Krakatau Purba musnah. Erupsi yang tidak tercatat dalam sejarah itu memunculkan tiga kepundan aktif yaitu Danan, Perbuatan, dan Rakata yang kemudian menyatu, membentuk satu pulau memanjang.

Tahun 1883, tepatnya 26-27 Agustus, letusan mahadahsyat kembali terjadi yang kali ini melenyapkan puncak Danan dan  Perbuatan serta dua per tiga Rakata. Letusan luar biasa yang dibarengi awan panas dan gelombang tsunami itu merenggut 36 ribu penduduk yang berada di sepanjang pesisir Selat Sunda.

Pada 1930, terbentuk lah daratan yang diberi nama Anak Krakatau. Daratan baru ini terus bertambah luas dan tinggi seiring aktivitas vulkanis. Diperkirakan, ketinggiannya saat ini yang mencapai 450 meter dengan garis tengah sekitar 3 kilometer akan terus bertambah. Anak Krakatau inilah yang sekarang sering kita sebut Gunung Krakatau.

IMG_5997

Tukirin Partomiradjo yang telah meneliti Krakatau sejak 1981. Foto: Rahmadi Rahmad
Tukirin Partomiradjo yang telah meneliti Krakatau sejak 1981. Foto: Rahmadi Rahmad

Tukirin Partomihardjo, peneliti senior yang merupakan ahli Krakatau dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan, di balik erupsi Krakatau tersebut, sesungguhnya tersimpan pengetahuan perkembangan alam tiada batas. “Selama 35 tahun meneliti, sudah lima kali saya merasakan langsung letusannya. Tiada bosan dan malah memancing rasa penasaran saya untuk meneliti geliat Krakatau.”

Tukirin menuturkan, berbagai pengetahuan ia peroleh seiring perjalanan penelitian itu. Misal, perkembangan hutan yang sangat rinci, lalu bagaimana tumbuh-tumbuhan pertama kali datang dan perkembangannya dari waktu ke waktu. “Alam selalu dinamis, banyak hal yang saya dapatkan.”

IMG_6117

Anak Krakatau yang menyimpan ilmu pengetahuan untuk disibak misterinya. Foto atas dan bawah: Rahmadi Rahmad
Anak Krakatau yang menyimpan ilmu pengetahuan untuk disibak misterinya. Foto atas dan bawah: Rahmadi Rahmad

Secara fisik, pemandangan yang terlihat setiap kali mendatangi Krakatau adalah perkembangan Anak Krakatau yang terus meninggi. Namun, sebagaimana bidangnya meneliti suksesi atau perkembangan vegetasi, Tukirin lebih memfokuskan perkembangan tumbuhan yang menutup suatu pulau yaitu berapa lama tumbuhan ini menutupi pulau dan juga jenis apa saja yang bertambah.

Tahun 1981, saat pertama kali Tukirin meneliti Krakatau, pohon cemara laut (Casuarina) terbagi dua, ada yang kecil dan besar. Kini semua berubah, cemara yang besar sudah tumbang dan digantikan dengan jenis ficus (bangsa ara).

Peta Krakatau dan biawak yang ada di wilayah tersebut. Foto: Rahmadi Rahmad

Biawak dan papan peringatan untuk tidak mengambil keragaman hayati yang ada di Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Biawak dan papan peringatan untuk tidak mengambil keragaman hayati yang ada di Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad

Bagaimana tumbuhan sampai ke Krakatau? Di Anak Krakatau misalnya, ficus dibawa oleh binatang. Ketapang, yang ada di pantai dibawa oleh air laut sedangkan yang berada di wilayah lebih dalam lagi dibawa oleh kelelawar. “Dengan begitu dapat dikatakan, jenis tumbuhan dan binatang yang ada di wilayah ini memang pilihan.”

Tren hutan ke depan, menurut Tukirin, apabila tidak terjadi letusan maka hutan yang ada di Anak Krakatau akan tumbuh sebagaimana hutan di pulau lainnya. Saat ini, di Anak Krakatau terutama di tepi pantai hanya ada jenis ketapang (Terminalia catappa), katang-katang (Ipomoea pes-caprae) juga ficus yang berumur pendek. Nantinya, akan datang tumbuhan berumur panjang dan bila tumbuhan ini mati akan digantikan lagi dengan tumbuhan yang berumur lebih panjang lagi.

IMG_6332

IMG_6228

IMG_6260

Para wisatawan lokal dan asing yang setiap akhir pekan mengunjungi Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Para wisatawan lokal dan asing yang setiap pagi di akhir pekan mengunjungi Anak Krakatau. Foto Selfie merupakan bagian utama dari kunjungan tersebut. Foto: Rahmadi Rahmad

M. Ikbal, Koordinator Krakatau Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu, Seksi Konservasi Wilayah III Lampung, menuturkan selain penting sebagai pusat penelitian, Krakatau juga merupakan magnet utama para wisatwan baik dalam maupun luar untuk datang. “Pengamanan tetap dilakukan agar segala hal yang ada di Krakatau tetap terjaga. Fungsi utama Krakatau sebagai kawasan cagar alam adalah untuk ilmu pengetahuan sehingga harus kita pertahankan.”

Ikbal menjelaskan, terkait kondisi Anak Krakatau yang sewaktu-waktu bisa meletus, pihaknya sudah kerja sama dengan BMKG setempat untuk menginformasikan bila ada tanda-tanda erupsi. Meski begitu, Ikbal beserta tim yang memang berada di lokasi 24 jam penuh, bisa melihat dari tanda-tanda alam yang ada. Misal, seringnya terjadi gempa atau asap yang keluar dari kawah berwarna hitam.

Cagar Alam Krakatau
Cagar Alam Krakatau. Foto: Rahmadi Rahmad
Posisi Krakatau dalam peta. Sumber: Vansandick.com

“Bila ada pengunjung datang, kami halau untuk tidak naik ke puncak. Sesegera mungkin kami arahkan untuk kembali ke tempat asalnya, Lampung maupun Banten, karena kita tidak tahu kapan Krakatau meletus. Ini untuk keselamatan bersama,” papar Ikbal yang menyambut hangat kedatangan kami untuk kedua kalinya belum lama ini.

Berdasarkan catatan BKSDA Lampung sebelum “dimerger” dengan BKSDA Bengkulu, luas Krakatau keseluruhan yang meliputi Rakata, Panjang, Sertung, dan Anak Krakatau sekitar 16.605 hektar. Untuk flora ada sekitar 257 tumbuhan berbiji, 206 jamur, 61 paku-pakuan, dan 13 lumut kerak. Sedangkan fauna ada tikus, kalong, reptil (biawak, ular), dan burung yang mencapai 40 jenis seperti alap-alap macan, bubut alang-alang, serta burung-madu sriganti.

IMG_6021

Anak Krakatau, dari sudut manapun kita memandang kilaunya tak akan bosan untuk dipandang. Foto atas dan bawah: Rahmadi Rahmad
Anak Krakatau, dari sudut manapun kita melihat kilaunya tak akan bosan untuk dipandang. Foto atas dan bawah: Rahmadi Rahmad
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,