Botol Plastik Bakal Kena Cukai, Apa Tanggapan Mereka?

Guna mengurangi sampah plastik, pemerintah melakukan beragam langkah. Setelah kebijakan kantong plastik berbayar, kini menggodok aturan soal cukai botol plastik.

Nasrudin Joko Suryono, Kepala Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menkonfirmasi aturan ini sedang dibahas.

”Ini khusus botol kemasan minuman plastik dulu,” katanya belum lama ini kepada Mongabay. Pasalnya, jika pada botol plastik ataupun kantong plastik keseluruhan memiliki dampak inflasi cukup besar.

Meski demikian, besaran tarif cukaipun masih dalam kajian dengan perkiraan Rp200 perbotol. Adapun skema pengenaan cukai sesuai bukan kadar plastik, lebih pada ukuran botol.

Dia mengatakan, kemasan plastik botol minuman memenuhi kriteria sebagai barang kena Cukai sesuai UU Nomor 11 Tahun 1995, diubah dalam UU Nomor 39 Tahun 2007. Dalam UU itu disebutkan, konsumsi perlu dikendalikan, pemakaian menimbulkan dampak negatif untuk masyarakat dan lingkunagan hidup, dan pemakaian perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Aturan ini dibuat dalam Peraturan Pemeritah. ”Kalau DPR setuju, Presiden setuju, akan mulus.”

Joko memerlukan dukungan KLHK terkait kebijakan ini. ”Jangan sampai masyarakat mengira bukan-bukan, perlu sosialisasi penuh,” katanya.

Mengenai dana pungutan cukai kemasan plastik berbentuk botol minuman untuk pengelolaan sampah, katanya, disesuaikan dengan UU Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah soal Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

KLHK?

R Sudirman, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  mengatakan, KLHK melihat dari sisi lingkungan. Kebijakan cukai plastik, katanya, kewenangan Kemenkeu. “Nanti diatur badan fiskal, KLHK teknis dukung terkait. Apakah cukai ditetapkan di hulu? Saya belum paham, nampaknya seperti itu,” katanya.

KLHK, katanya, mendukung kebijakan cukai plastik. Selama ini, penghasil kemasan plastik seringkali enggan menerima kembali kemasan mereka untuk daur ulang. Dengan cukai plastik, bisa mendorong industri menerapkan tanggjung jawab pengelolaan sampah (extended producer responsibility).

“Dana hasil cukai plastik jelas untuk APBN. Nanti ada sepersekian persen kembali ke industri pengelola sampah di masing-masing daerah. Itu masih hitungan berapa besaran,” katanya.

Kepala Subdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik menambahkan, soal cukai plastik, salah satu poin krusial mengenai soal kemasan mana yang pas kena cukai.

“Kemarin ketika usulkan botol air mineral kena cukai, kita harus hati-hati. Selama ini botol plastik itu banyak didaur ulang, ga terlalu pengaruhi lingkungan, karena nilai tinggi,” ujar dia.

Dia menyarankan, kena cukai plastik kemasan seperti mie instan dan sachet yang pasti jadi sampah. Bakal ada klausul juga bagi produsen yang melaksanakan tanggung jawab menarik sampah.

“Saya sudah bilang ke Bea Cukai, gimana kalau industri sudah menarik ulang produk mereka, kena cukai ga? Bea Cukai bilang bisa diatur. Nanti ada klausul, produsen metarik ulang produk, bisa ga kena cukai. Itu menurut saya menarik yang disampaikan Bea Cukai.”

Mulai 21 Februari 2016, pemerintah uji coba kantong plastik berbayar. Setelah itu, ada rencana cukai botol plastik. Foto: Sapariah Saturi

Tanggapan asosiasi pengusaha

Triyono Prijosoesilo, perwakilan Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPP) di Jakarta, Juni lalu mengatakan, proposal pemerintah kurang tepat. Dia menyatakan, dampak botol plastik terhadap lingkungan masih diperdebatkan.

“Kami jadi bertanya-tanya, di proposal RAPBN-Perubahan sudah ada satu tambahan cukai baru walaupun tak spesifik itu disebut Rp1 triliun. Hebohnya sedemikian besar. Industri dunia usaha dibebankan dengan kesulitan ini semata-mata mengejar Rp1 triliun,” katanya.

Sebenarnya, meminimalisir dampak buruk botol plastik bagi lingkungan, katanya, banyak cara, misal mengedukasi konsumen hingga bisa mengelola sampah botol plastik dengan baik. “Harusnya menjadi tanggungjawab bersama, bukan hanya perusahaaan. Pemerintah juga harus siapakan infrastruktur.”

Rachmat Hidayat, juga perwakilan FLAIPP mengatakan, pengenaan cukai plastik kemasan justru kontra produktif dan tak menyelesaikan masalah. “Kenaikan harga akibat pengenaan cukai selalu lebih besar dari tarif cukai, akan berpengaruh pada tiap mata rantai ekonomi, mulai produsen, distributor, grosir, atau retailer. Makin hilir pungutan cukai, makin tinggi beban kenaikan harga harus ditanggung konsumen,” katanya.

Gabriel Andari Kristanto, akademisi teknik lingkungan Universitas Indonesia juga sepakat. Dia menilai, kebijakan cukai botol plastik tak tepat. Dari studinya 2010, di TPA Bantargebang, menemukan, komposisi sampah terbesar organik 67%, plastik 17%, kebanyakan kantong kresek.

Sampah botol plastik sedikit karena banyak dipungut sektor informal lalu dijual kepada pengepul dan didaur ulang. Keadaan ini, membuktikan sampah botol plastik memiliki nilai ekonomis tinggi.

“Kebijakan kantong plastik berbayar bagus, harusnya diperluas. Itu hanya di ritel modern. Belum menyasar pasar tradisional. Padahal kantong kresek paling banyak di sana,” seraya menekankan, penting mengubah perilaku masyarakat.

Potensi kerugian negara

Eugenia Mardanugraha, akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengatakan, potensi pendapatan negara dari cukai botol plastik Rp1.91 triliun per tahun dari pendapatan cukai baru. Sisi lain, justru kehilangan penerimaan hingga Rp2.44 triliun karena penerimaan PPN dan PPh badan. “Justru merugi Rp528 miliar.”

Angka ini dari simulasi cukai plastik pada minuman kemasan seperti air minum, teh, soda dan jus. Data jumlah botol dan gelas,serta harga per liter dari ASPADIN dan ASRIM.

Dia mengkaji, dampak kebijakan cukai botol pastik terhadap industri minuman kemasan botol. Kebijakan ini akan menurunkan permintaan minuman kemasan botol. “Kita tahu pemerintah sejak lama ingin ekstensifikasi cukai. Cukai bagaimanapun bentuk lain pajak. Pungutan pemerintah akan mengurangi daya beli masyarakat dan berdampak pada penjualan. Saya menghitung penurunan belanja dan penurunan pendapatan negara. Pendapatan negara hanya dihitung dari setoran PPN dan PPh badan,” katanya.

Ketika pemerintah menetapkan cukai suatu produk, katanya, akan mendapatkan penerimaan. Kala PPN dan PPh berkurang, akan rugi.  Ketika kebijakan cukai dipungut kepada produsen, konsumen akan menanggung 23,5% harga lebih tinggi dari tarif cukai karena harga asli produsen ke konsumen berlipat. “Akan membuat harga naik, harga makin mahal, permintaan berkurang. Otomatis setoran PPN dan PPh badan turun. Pemerintah belum merilis tarif cukai berapa. Masih wacana. Di media saya baca tak akan lebih Rp200. Saya asumsikan botol cukai Rp200, gelas 240 ml Rp50,” katanya.

Dia menghitung, menggunakan data bulanan periode Januari 2013- Januari 2016 memakai metode regresi linear. Dia memperkirakan penurunan permintaan terhadap kenaikan harga dengn menghitung nilai elastisitas dari masing-masing produk, total penurunan penjualan industri minuman Rp10.2 triliun per tahun.

“Penurunan penjualan akan menurunkan penerimaan pemerintah dari PPN dan PPh badan. PPN 10% dari nilai penjualan, PPH badan menggunakan data setoran pajak.”

Asumsinya, penurunan PPN 10% sebesar Rp1,01 triliun, dan PPh badan Rp1.403 triliun serta PPN Rp1,4 triliun. Jadi, meskipun pemerintah mendapatkan cukai dari botol plastik Rp1,9 triliun, merugi Rp528 miliar per tahun.

“Dalam rancangan PP dikatakan industri minuman rumahan tak kena cukai. Di Indoensia banyak sekali industri minuman skala rumahan. Pasti pakai kemasan palstik juga. Saya tak punya data berapa banyak? Ini tak jelas juga. Saya asumsukan 20% tak kena cukai.”

Bebas cukai industri UMKM akan mendorong disinsentif dan tak mau berkembang karena takut kena cukai. Juga akan mendorong cukai palsu.

“Kalau menetapkan mekanisme cukai rumit, mahal dan menimbulkan kebingungan masyarakat, akan menimbulkan cukai palsu.”

Terlebih, infrastruktur cukai di Indonesia kurang baik. Mekanisme penerapan cukai botol plasti juga masih belum jelas. “Apakah sama dengan cukai rokok dan minuman alkohol berpita atau tidak, ini belum jelas.” Dia meminta pemerintah, mengkaji ulang kebijakan cukai botol plastik.

“Ketika harus menyiapkan infrastruktur memungut cukai, harus ada biaya mencetak pita. Untuk rokok, Rp600 miliar habis per tahun mencetak pita cukai rokok. Ini harus disiapkan.”

Meski begitu, kata Eugenia, penelitiannya, belum menghitung biaya kerugian negara akibat kerusakan lingkungan. Dia hanya berdasar pada hitung-hitungan ekonomi. “Kalau pemerintah ingin mengeliminasi kerugian lingkungan, cukai botol pastik kurang tepat.”

Menanggapi itu, juru bicara Walhi Nasional Khalisah Khalid mengatakan, dalam setiap cerita rantai produksi, biaya lingkungan hidup dan kesehatan dianggap sebagai biaya eksternal. Bukan kewajiban mereka.

“Pertanyaan kritisnya, biaya lingkungan siapa yang menanggung? Negara mesti jeli menghitung dan tak hanya melihat aspek ekonomi semata. Belum lagi biaya kesehatan. Terlebih jika ditarik ke hulu, plastik dari minyak bumi, dampak terakumulasi dalam perubahan iklim,” katanya. Dia mendorong kebijakan di hulu. Cukai salah satu, sebagai kontrol atau pengendali plastik tak masif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,