Soal Pembangunan Bandara Kulon Progo, Begini Pandangan Ahli Kebencanaan

Pembangunan Bandara Internasional baru di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, tak hanya mengancam lingkungan dan mengorbankan lahan tani produktif.  Lokasi bandara juga berada di zona bencana.

Eko Teguh Paripurna, ahli geologi dan kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta mengatakan, lokasi bandara termasuk zona merah bencana risiko tinggi terdampak bahaya bencana alam. Seluruh bagian dalam rencana pembangunan bandara dan Airport City memiliki risiko bencana besar.

Dia mengatakan, langkah Pemda Yogyakarta sangat berbeda pada kasus zona merah bencana di Lereng Merapi, masyarakat relokasi, area itu hanya lahan pertanian. Sedangkan,  di Kulon Progo, lahan produktif warga harus bertukar demi proyek berisiko bencana.

Eko, mengatakan, peta rencana bandara 27% di daerah risiko tinggi bencana, 65% sedang dan 7% rendah. Untuk kota bandara 27% tinggi, 55% sedang, 17% rendah. Jadi, perlu penataan ruang berbasis mitigasi bencana, dengan menetapkan suatu kawasan lindung geologi dalam meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan.

Kawasan Temon,  sebagai bandara baru merupakan daerah rawasan gempa dan tsunami. Blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar. Tahun 2006, bukan dari Blok Jogja, tetapi patahan Opak.

“Berdasarkan peta bahaya tsunami Kulon Progo 2012, tapak bandara rawan bencana tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang 40,02 hektar, bahaya rendah 44,3 hektar,” katanya.

Ancam sumber air

Halik Sandra Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, pembangunan bandara Kulon Progo berada di cekungan air tanah Wates, akan mengancam ketersediaan air tanah. Kalau terus berjalan, katanya, bakal mangulangi seperti Sleman dan Jogja, pembangunan hotel menguras air tanah. Dia khawatir juga persediaan air tanah tak akan mencukupi dengan proyek sebesar itu.

Selain itu, katanya, Pesisir Kulon Progo merupakan jalur migrasi internasional burung. “Kalau bandara jalan, jelas akan mengganggu penerbangan dan membahayakan penumpang. Ini tak boleh diabaikan.”

Advokat LBH Yogyakarta Rizky Fatahillah menambahkan, pembangunan bandara penuh kecacatan subtansi perencanaan seperti tak sesuai RTRW nasional di Jawa-Bali dan RTRW Yogyakarta– tak pernah menyebutkan pembangunan bandara di Kulon Progo. Dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) juga tak ada.

Dia menilai, pembangunan bandata sebagai infrastruktur menggenjot pertumbuhan ekonomi dan perubahan kawasan (gentrifikasi). Hal ini terlihat dari info mulai banyak perencanaan investasi properti dan jasa pariwisata seperti hotel-hotel di selatan, baik Kulon Progo dan Bantul. Bahkan, ada wacana pembangunan mal disuarakan Bupati Bantul. Situasi ini bukan kebetulan, katanya,  tetapi konsekuensi logis industri pariwisata.

Bandara, katanya, infrastruktur menentukan dalam menggenjot mata rantai industri ini. Kini, di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Sleman, terjadi konflik penolakan hotel dan apartemen, karena menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,