Indonesia Serukan Pengelolaan Data Perikanan dan Kelautan Lebih Akurat

Indonesia meminta negara-negara anggota lembaga pangan dunia PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) untuk segera meningkatkan kualitas pengelolaan data sektor perikanan dan kelautan. Dengan demikian, Indonesia fokus dalam meningkatkan ketahanan pangan secara nasional dari sektor tersebut.

Pernyataan tersebut diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat berbicara dalam pertemuan Sesi  ke-32 Committee on Fisheries (COFI) yang dilangsungkan di Roma, Italia, 11 Juli.

Menurut Susi, dengan meningkatkan pengelolaan kualitas data di masing-masing negara, maka selanjutnya FAO akan mendapatkan data yang lebih akurat dan lebih baik lagi. Jika demikian, maka program peningkatan ketahanan pangan di seluruh dunia, khususnya Indonesia bisa berjalan dengan lebih bagus lagi.

“Indonesia sangat mendorong negara-negara anggota FAO untuk meningkatkan kualitas data yang disampaikan ke FAO dengan lebih akurat, terbaru, dan bertanggung jawab,” ucap dia.

Susi menjelaskan, karena data global yang akurat menjadi rujukan utama dalam mengelola sektor perikanan dan kelautan, maka sudah seharusnya setiap negara bisa mengelola sumber daya perikanan dan kelautannya dengan lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.

“Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan data perikanan yang lebih baik kepada Food and Agriculture Organization (FAO) untuk penyusunan The State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA),” tutur dia.

Perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat, itu menilai, mustahil bagi Indonesia dan negara-negara lain di dunia untuk bisa membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan, sementara data perikanan dan kelautan secara global tidak ada yang akurat dan kredibel.

“Saat ini, Indonesia sedang mencanangkan program Satu Data. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan proses pengumpulan data perikanan dengan tiga pendekatan, yaitu sumber daya manusia, proses, dan teknologi,” jelasnya.

Implementasi FAO Code of Conduct

Dalam kesempatan yang sama, Susi mengungkapkan bahwa implementasi FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries dan International Plans of Action on IUU Fishing harus bisa dilaksanakan oleh semua negara. Karena, itu bisa mendorong terciptanya pasar dunia yang lebih baik lagi dan bisa dipertanggungjawabkan.

“FAO telah melakukan perbaikan dalam penerapan kuesioner untuk mengawasi implementasi FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries dan Internasional Plans of Action on IUU Fishing. Kemudian, ada juga laporan dan dokumen SOFIA. Ini harus diapresiasi,” ungkap dia.

Susi menambahkan, perikanan menjadi salah satu faktor pendorong yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi dunia, inklusivitas sosial, dan pelestarian lingkungan. Bagi dia, semua elemen ituada dalam perikanan dan kelautan di Indonesia.

“Ini membuktikan bahwa Indonesia sangat serius menjadikan laut sebagai masa depan bangsa dengan mendasarkan tiga pilar, kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan,” tambahnya.

Untuk diketahui, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pusjiastuti hadir dalam forum ini sebagai undangan FAO yang menghargai Indonesia sebagai negara dengan sumber daya kelautan terbesar di dunia. Indonesia dinilai bisa menjadi contoh bagi dunia karena berhasil menerapkan langkah-langkah penting dan tegas dalam memberantas perikanan ilegal.

Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar
Nelayan melakukan bongkar muat ikan hasil tangkapan, termasuk ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada akhir November 2015. Foto : Jay Fajar

FAO Committee on Fisheries (COFI) merupakan lembaga dibawah FAO yang merupakan forum internasional untuk membahas berbagai permasalahan perikanan global. Sidang ke-32 COFI ini dihadiri oleh perwakilan dari 194 negara anggota FAO dan akan berlangsung hingga tanggal 15 Juli 2016.

Untuk diketahui, dari laporan SOFIA, pada 2014 lalu stok ikan dunia yang dieksploitasi mencapai total 90,1 persen. Itu jumlah yang sangat banyak. Pada 2015, Bank Dunia juga sudah merilis data bahwa pengelolaan stok ikan sepanjang tahun tersebut tidak efektif. Salah satunya, karena faktor adanya penangkapan ikan ilegal melalui IUU Fishing.

Tahun lalu, kata Bank Dunia, potensi uang yang hilang karena IUU Fishing dari total produksi perikanan dunia mencapai USD75 miliar sampai USD125 miliar atau ekuivalen Rp980,625 miliar sampai Rp1,634 triliun.

Untuk Indonesia sendiri, Susi pernah menjelaskan, akibat perikanan tangkap yang ilegal, negara kehilangan pendapatan sebesar USD20 miliar atau ekuivalen Rp261,500 miliar.

Artikel yang diterbitkan oleh
,