Sekelompok anak terlihat saling bantu membersihkan duri pandan di badan masing-masing. Keempatnya siswa kelas 6 SD. Pembicaraan mereka seru sekali, tentang aksi mereka di Perang Pandan beberapa menit lalu.
Mereka saling adu menggesekkan daun-daun pandan selama beberapa menit di ritual tahunan pada 24 Juni lalu ini di sebuah desa kuno, Tenganan Pegringsingan, Karangasem, sekitar 67 km dari Denpasar, Bali ini.Duri-duri pandan masih menancap di punggung, pinggang, dan leher mereka. Ada titik-titik darah dan gurat kemerahan.Tapi tak sampai terlihat genangan darah seperti beberapa orang dewasa yang bersemangat adu pandan berduri.
Sepasang laki-laki membawa tameng dari anyaman ata (sejenis akar) dan satu ikat daun pandan berduri. Mereka bisa menentukan sendiri lawannya. Lalu dalam waktu 2-3 menit, mencoba berbagai cara menggesekkan pandan ke badan lawan. Jadilah “peperangan” jarak dekat. Misalnya dengan memeluk, adu cepat mencari celah tubuh lawan yang terbuka, dan lainnya.
Ada beberapa warga yang bertugas memisahkan atau menghentikan permainan jika dirasa sudah cukup atraksi dan perlawanannya. Lagipula, motifnya untuk persembahan. Sepasang pemain yang beradu di panggung akan berakhir dengan pelukan atau tawa.
Sedikitnya ada 50 pasang pemain yang ikut Perang Pandan ini.Termasuk warga dari luar desa dan orang asing yang ingin ngayah (membantu ritual) atau adu nyali.
Walau secara simbolis berupa perang namun tujuannya bukan saling mengalahkan. Luka akibat gesekan duri-duri pandan di antara pesertanya dicari sebagai wujud penghormatan pada Dewa Indra, simbol kebijaksanaan alam dan cuaca yang sangat dihormati. Sementara pandan adalah tanaman lokal yang banyak tumbuh di sekitar.
Ritual ini sudah jadi hiburan untuk pemainnya dan ribuan penonton yang selalu berdesakkan melihat tiap tahunnya.Tubuh penuh duri atau goresan mengeluarkan darah dibiarkan sampai ritual selesai sekitar 2 jam. Setelah itu mereka saling mengobati dengan ramuan tradisional kunyit dan megibung (makan bersama dalam satu wadah).
Selain ritual perang pandan, Desa Tenganan Pegringsingan adalah jejak komunalisme karena sampai kini setia pada sistem sosialis yang serba kolektif. Nilai ini menciptakan inisiatif perlindungan dan pelestarian lingkungan karena mencegah eksploitasi dari privatisasi.
Tanah dan aset dimiliki desa, dibagikan salah satunya untuk pasangan yang baru menikah.Namun ini desa ini memiliki aturan anjuran menikah dengan sesama warga desa. Endogami. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan endogami adalah prinsip perkawinan yang mengharuskan orang untuk mencari jodoh di dalam lingkungan sosialnya sendiri, misalnya di lingkungan kerabat, lingkungan kelas sosial, atau lingkungan pemukiman.
Warga yang tak mengikuti awig-awig atau aturan adat ini hanya punya hak bicara dalam acara desa yang terkait kedinasan. Mereka juga tak memiliki kewajiban sebagai warga atau krama adat. Misalnya I Nyoman Sadra, salah satu tokoh desa yang kerap jadi juru bicara yang menikah dengan perempuan dari luar desa. Walau statusnya “terhukum”, pria ini dihormati karena pengatahuan filosofi dan kearifan desanya.
“Semua tanah milik desa, tidak ada hak milik,” katanya. Hasil bumi dalam hutan desa juga milik bersama, walau ditanam satu orang. Itu pun baru bisa diambil jika buahnya jatuh. Karena itu ada kebiasaan berkemah saat panen durian, biasanya anak-anak dan remaja menginap di hutan desa untuk bisa memungut durian jatuh.
Selain kolektif, ada banyak kearifan terkait pelestarian lingkungan.Ada larangan menebang pohon kecuali diputuskan dalam rapat dan sebelum menebang pun ada persembahan. Dampaknya, bebukitan di tiga arah mata angin yang mengelilingi desa terlihat lebat dan subur.
Yayasan Wisnu, fasilitator yang berjejaring dengan Tenganan dalam Jaringan Ekowisata Desa ini mencatat wilayah Desa Adat Tenganan Pegringsingan seluas 26% (255,840 ha) dimanfaatkan untuk lahan persawahan, 66% (583,035 ha) untuk lahan kebun, sedangkan sisanya 8% (78,325 ha) untuk permukiman.Totalnya kurang dari 1000 hektar.
Sebagian besar hanya sebagai tuan tanah yang menyewakan tanahnya kepada para penggarap. Hanya sebagian kecil yang masih pergi ke hutan dan mengambil hasilnya. Dulu lumbung bisa digunakan sebagai tabungan karena difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi. Tetapi setelah revolusi hijau, budaya menyimpan padi sebagai tabungan sudah mulai menurun, bahkan hilang.
Tanaman padi lokal mulai hilang sejak adanya revolusi hijau. Lumbung yang ada masih dimanfaatkan untuk menyimpang padi lokal hanya untuk bahan upacara terkait perayaan kesuburan atau ”tanggung-tanggungan” pada bulan kesepuluh.
Legenda Asal Mula Desa
Desa Tenganan Pegringsingan diyakini hadiah Dewa Indra, dewa perang dalam mitologi Hindu. Alkisah, Dewa Indra memerangi kediktatoran Raja Maya Denawa yang melarang masyarakat melakukan persembahyangan.
I Nyoman Suwirta alias Domplong bisa mengisahkan legenda yang diyakini warga desa ini pada pengunjung. Guide lokal ini hampir tiap hari bertugas berjaga di loket donasi. Setelah Dewa Indra dapat mengalahkan Raja Maya Denawa, dilakukan upacara menyucikan kembali tempat peperangan. Upacara ini menggunakan Oncesrawa, kuda putih milik Dewa Indra sebagai korban persembahan. Ketika mengetahui dirinya akan dijadikan korban, kuda Oncesrawa melarikan diri dan menghilang.
Dewa Indra kemudian mengutus wong peneges, prajurit Bedahuluuntuk mencari kuda tersebut. Mereka membagi diri menjadi dua, satu kelompok ke arah Singaraja (Bali Utara) dan kelompok yang lain ke arah Karangasem (Bali Timur).
Singkat cerita, kelompok Bali Timur yang menemukan kuda ini dalam keadaan mati.Website Balai Pelestarian Budaya mengutip juga mitologi ini dalam lamannya tentang sejarah Tenganan Pegringsingan. Disebutkan Bhatara Indra mengetahui keadaan ini dan bersabda “ Hai.. orang Peneges janganlah bersedih, walaupun kuda Onceswara kalian temukan dalam keadaan mati aku akan membalas jasa-jasamu. Untuk itu aku menganugrahkan daerah ini untuk kalian. Mengenai luas wilayah sampai batas terciumnya bangkai kuda Onceswara”.
Mendengar sabda itu warga Peneges lalu memotong-motong bangkai kuda tersebut serta membuang potongan-potongan kuda ke segala arah yang berjauhan, sehingga dengan demikian bisa lebih luas menguasai daerah itu.
Masing-masing potongan bangkai kuda diberi nama, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu yang diyakini menyerupai potongan bangkai tersebut. Potongan-potongan tubuh bangkai kuda tersebut menyebar di seluruh wilayah dan menjadi batas wilayah yang dikenal dengan Desa Tenganan Pegringsingan.
Tenganan seperti republik tersendiri dengan kebijakan lokalnya. Mereka masih bisa menjaga arsitektur tradisional dan tradisinya.Sesuatu yang wah di tengah modernisasi.Tinggal di Tenganan seperti memperlambat ketergesaan.
Bisa jadi karena didukung puluhan ribu turis tiap tahunnya yang mengunjungi desa ini. Dari menjual pengetahuan, kebudayaan, dan kerajinan.
Sebagian masyarakat Tenganan bekerja sebagai pengerajin ata, penenun kain gringsing, serta penjual kerajinan lontar.Ketiganya menjadi daya dukung atraksi hidup wisata yang digerakkan warganya ini. Sebagian lagi menekuni profesi seperti guru, fotografer, dan arsitek.
Domplong menyebut nyaris tiap hari adalah ritual di Tenganan. Rangkaian upacara terlama dan terbesar adalah Usaba Sambah yang diselenggarakan selama satu bulan mulai tanggal 5 bulan kelima sampai tanggal 5 bulan keenam menurut perhitungan kalender Tenganan.Saat inilah dilakukan upacara ”mekare-kare” atau juga dikenal dengan istilah perang pandan.
Walau dianggap ritual sakral, desakan turisme membuatnya makin menjadi profan atau seni pertunjukan. Bahkan puluhan lapak kaki lima khas pasar malam muncul di tengah desa selama beberapa hari. Celah bisnis memanfaatkan peluang dikunjungi ribuan orang.