Dua anak harimau Sumatera (Panthera tigris Sumatrae), Thamrin dan Sarinah, mati di kebun binatang Bukittinggi pada 30 Juni dan 1 Juli disebabkan penyakit kronis. Demikian diungkapkan Tim Medis dari Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (TMSBK) atau Kebun Binatang Bukittinggi di Bukittinggi, Senin (18/07/16).
Dokter hewan Tri Nola Mayasari, Tim Medis TMSBK menjelaskan, diagnosa anak harimau betina, diketahui terjadi komplikasi jantung koroner dan enteritis akut atau peradangan saluran pencernaan menyebabkan Sarinah mati 30 Juni 2016 sekitar pukul 15.00.
Hasil nekropsi anak pasangan Bancah dan Sean ini, tampak paru-paru berbusa, pucat, mengalami hemorogi (pendarahan) dan bentuk tak sama. Jantung juga ada lemak antara myocardium dan cardium serta bilik kanan jantung. Juga luka di permukaan hati dan mengalami hemorogi.
Lambung pendarahan. Saat nekropsi, kondisi lambung kosong, tak ada makanan. Usus juga pendarahan. Tak hanya itu, pembesaran pembuluh darah juga tampak di permukaan ginjal. Selaput ginjalpun sulit dibuka. Warna limpa tak seragam dan mengalami hemoragi. Atas dasar itulah tim medis menyimpulkan harimau betina mati karena komplikasi jantung koroner dan enteritis akut.
Untuk harimau jantan, Thamrin, mati 1 Juli 2016, mengalami muntah dan diare, hingga dibawa ke Puskeswan Bukittinggi agar mendapat tindakan lanjut.
“Sempat kami infus dan terapi obat, sekitar pukul 15.00 tak tertolong lagi. Anak harimau ini dibawa ke Padang Panjang untuk nekropsi sekaligus diopset. Kesimpulan kami sementara, Thamrin mati karena enteritis akut. Penyakit harimau jantan ini tak jauh berbeda dengan betina, bedanya hanya di jantung,” kata Tri.
Sarinah semasa hidup. Foto: Vinolia
Matinya macan dahan
Dia juga menjelaskan penyebab kematian dua anak macan dahan akhir April dan awal Mei 2016. Saat dalam kandungan, anak macan dahan memang kurang sempurna. Awalnya induk betina melahirkan tiga anak 7 Januari 2016. Anak pertama lahir pukul 16.30 kelamin jantan, 10 jam kemudian anak kedua betina, disusul ketiga jantan.
Anak ketiga tak bernyawa di dalam rahim. Seiring waktu, perkembangan anak macan dahan betina sedikit kurang sempurna. Dokter menduga karena anak ini lama tertahan dalam rahim ditambah asupan susu ibu kurang,
Penurunan kesehatan mulai tampak pada 15 Maret 2016. Awalnya anak betina menggigil dan berjalan sempoyongan. Ia diberi pemanas, susu formula bayi usia 0-6 bulan lalu terapi vitamin. Saat itu, suhu badan normal, 37,8 derajat celcius dan masih mau makan, tak mencret ataupun muntah.
Pada 30 Maret, dilaporkan satwa tak mau makan hingga diputuskan mencekokkan bubur daging ke mulut dan terapi vitamin serta pemanasan. Terapi selama 20 hari. Hari ke-21, siang hari tiba-tiba satwa sesak nafas, aktivitas menurun. Kondisi makin buruk hingga pemberian infus dan multivitamin. Pukul 15.00, macam mati. Diagnosa saat itu satwa mengalami dispone akut.
Untuk anak macan jantan, katanya, 9 Mei 2016 dilaporkan tak mau makan. Lalu rontgen di Klinik Peternakan. Satwa diperiksa darah dan diterapi lalu diputuskan opname di Padang. Sekitar pukul 00.00 mulai membaik, dilaporkan menghabiskan makanan dan mulai menampakkan sifat liar. Pada 10 Mei 2016, kondisi tiba-tiba menurun dan mati pukul 09.00.
Evaluasi menyeluruh
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I, Balai Konservasi Sumberdaya alam (BKSDA) Sumbar, Muhammad Zaidi, Jumat (21/7/16) mengatakan, sudah menerima laporan dari kebun binatang soal penyebab kematian dua anak harimau dan anak macan dahan. BKSDA, tengah meninjau dan menyelidiki marathon kondisi TMSBK. “Tim BKSDA dari berbagai stakeholder sedang peninjauan TMSBK untuk evaluasi baik medis maupun teknis,” katanya.
Secara medis, diselidiki apakah pengelola kebun binatang bekerja sesuai prosedur atau tidak. Secara teknis, peninjuan apakah penempatan satwa sesuai peruntukan, misal, kandang, satwa butuh udara agak lembab bagaimana model kandang, dimana posisi-posisi penempatan satwa. Bagi satwa mudah stres, bagaimana penempatan. “Artinya teknis apakah kebun binatang sudah pas atau belum sesuai Permenhut RI Nomor P. 31 tahun 2012 tentang lembaga konservasi. Data-data mulai dikumpulkan BKSDA,” katanya.
Evaluasi tim, katanya, akan dilaporkan BKSDA ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Bagaimana hasil wewenang kementerian menjatuhkan sanksi jika ada kesalahan protap dalam penanganan satwa.”
Dalam aturan soal konservasi, sanksi bisa pembekuan izin, sampai penghentian pelayanan. Meskipun tim medis dari kebun binatang mengatakan penyebab kematian anak harimau karena penyakit genetik, tim BKSDA tetap mengkaji ulang.