Setiap pagi Ahmad Sopian, menuju sawah di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Beberapa peralatan dia bawa, seperti cangkul. Namun ada beberapa peralatan tak biasa dibawa ke sawah. Ada penggaris, buku catatan, pulpen dan bambu seperti lidi sepanjang satu jengkal orang dewasa.
Langkahnya tergesa menuju tabung alumunium berukuran diameter 12×22 cm, warga sekitar menyebut ini centong. Bambu dimasukkan ke centong. Sehari sebelumnya tak hujan hingga centong kering kerontang.
“Kemarin tak ada hujan. Berarti curah hujan nol. Saya tulis di buku ini dengan tanda setrip,” kata Ahmad seraya menggores pena dalam buku cacatan, Selasa (19/7/16).
Jika hujan turun dan tabung berisi air, dia akan mengukur bambu terbasahi penggaris. Ukuran dalam satuan millimeter. Ini kegiatan rutin.
Dalam satu hektar, setidaknya dua centong pengukur curah hujan. Ia tersebar di beberapa zona yang disepakati. Ada zona utara, timur, selatan. Posisi centong di tengah sawah atau kebun. Harus dipastikan tak ada penghalang apapun baik pohon atau bangunan lain. Tujuannya, agar air hujan masuk centong. Ia dipasang menempel pada kayu berukuran satu meter. Centong dibiarkan selama 24 jam guna menampung curah hujan. Kala pengukuran selesai, tiap hari air centong dikeluarkan, dan ke posisi semula.
Mengukur centong Ahmad beserta puluhan petani lain di desa itu ternyata buat prediksi cuaca. Mereka bisa tahu, tanaman apa cocok ditanam. Sebelum Kelompok Pengukur Curah Hujan (KPCH) terbentuk, para petani terbiasa menanam tanpa mempertimbangkan cuaca. Alhasil, berkali-kali mereka gagal panen.
KPCH dibentuk atas bantuan Pusat Kajian Antropologi (Puska) FISIP Universitas Indonesia dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Pendanaan ICCTF ini Rp1 miliar dengan durasi 24 bulan. Selain di Lombok Timur, juga di Kabupaten Indramayu, Sumedang dan Bekasi.
“Di sini semua petani menanam tembakau. Sebelumnya, hujan terus menerus, banyak petani tembakau gagal panen. Dengan perkiraan skenario cuaca melalui penghitungan curah hujan, kami mulai beralih menanam tanaman lain,” katanya.
Seperti yang Ahmad lakukan. Lahan 350 meter persegi, tak semua ditanami tembakau. Setengah lahan, menjadi sawah padi hingga potensi gagal panen bisa ditekan.
Dengan mempertimbangkan data hasil perhitungan curah hujan itu pula, di lahan tembakau kini dibuat beberapa saluran irigasi genangan air yang bisa membanjiri kebun.
“Sebelum bergabung KPCH, saya tak tahu ini. Sekarang, gak gagal panen lagi,” katanya.
Serupa dialami Zulkarnain (32). Setelah bergabung dengan KPCH 2015, dia merasa tak khawatir gagal panen. Kini, dia bersama petani lain bisa mengantisipasi hujan.
Sebelumnya, petani diberikan pelatihan oleh Puska UI hingga bisa membuat strategi bertani dengan skenario cuaca bulanan berdasarkan hasil pengamatan curah hujan harian. Biasanya, petani di Lombok Timur, menanam padi awal tahun untuk panen April. Pada Mei, mereka biasa lanjut menanam tembakau dan panen September, sebelum musim penghujan. Perubahan iklim makin terasa berdampak pada cuaca tak menentu. Musim hujan datang lebih awal. Bahkan BMKG memprediksi hujan turun pada Juli.
“Dari hasil perhitungan, kita bisa membuat stretegi tanam. Misal, bulan ini jangan 100% tanam tembakau. Jadi setengah tanam padi.”
Tanaman lain bisa melon, kembang kol, jagung dan lain-lain. Di Desa Pandan Wangi, anggota KPCH ada 23 orang. Mereka bertanggungjawab mengukur curah hujan harian. Meski begitu, bukan berarti informasi hanya milik anggota KPCH. Informasi didapat dari olah data, juga disebarkan kepada petani lain.
Dari lahan satu hektar milik Zulkarnain, dia bisa mendapatkan keuntungan Rp25-Rp30 juta per musim. Dia merasa tak lagi gagal panen karena memperhatikan skenario bulanan.
Baik Mariana, petani lain mengatakan, dengan tergabung KPCH dia bisa mengubah pola pikir orangtuanya. Dulu orangtua bersikeras hanya menanam tembakau. Sekarang, mau menanam jagung setelah diberitahu prediksi cuaca.
“Data curah hujan semua dikumpulkan. Saya yang buat laporan per zona. Ada zona utara, timur, selatan. Semua dikumpulkan kemudian kita kirim ke Bu Yunita dari Puska UI. Nanti dari sana ada skenario musiman.” Informasi lalu mereka teruskan ke semua koordinator. Ada pertemuan rutin menjelaskan perkiraan cuaca. Di KPCH, katanya, ada pertemuan bulanan setelah mengamati curah hujan. “Tiap bulan kita evaluasi, Bu Yunita juga sering datang,” ujar dia.
Mariana juga bekerja di Unit Penyuluhan Pertanian. Dia , juga membuat penghitungan curah hujan. Data kombinasi antara BMKG dan KPCH.
Guru Besar Antropologi FISIP UI Yunita T. Winarto sebagai penggagas KPCH mengatakan, KPCH di Lombok Timur, sudah berjalan baik. Respons petani menggembirakan. Dia terkesan dengan banyak generasi muda mau menjadi petani dan siap siaga menghadapi perubahan iklim. Dia berharap, lewat KPCH bisa mengurangi dampak perubahan iklim yang kian hari makin dirasakan petani.
“Dalam dua tahun sejak 2014 pertama dibentuk, sudah ada sembilan KPCH di tiga kecamatan di Lombok Timur. Tiga di Kecamatan Keruak, tiga di Sakra dan dua di Jerowaru,” katanya.
Kerjasama antar stakeholder yang melibatkan petani, ilmuan, penyuluh pertanian dan pemerintah daerah seperti ini, katanya, sangat baik. Menurut dua, di Lombok Timur, lebih mudah mengorganisasi petani dibandingkan daerah lain.
Yunita mengatakan, KPCH merupakan implementasi program Warung Ilmiah Lapangan (WIP) yang digagas Puska UI. Ia pembelajaran agrometeorologi langsung di lapangan. Semua pihak terlibat aktif.
Petani jadi pembelajar aktif memantau curah hujan harian dan agroekosistem. Lewat bantuan ICCTF, ini implementasi di Lombok Timur dan daerah lain.
Selama ini, katanya, petani kesulitan memahami ramalan cuaca dari BMKG. Keterbatasan pengetahuan menjadi penyebab mereka sukar mencerna istilah ramalan cuaca BMKG. Lewat KPCH, semua dibuat sederhana dan mudah dipahami. Ke depan, petani diarahkan bisa memahami kondisi lahan, dan asupan pupuk untuk memaksimalkan hasil tani.
Anggota Wali Amanat ICCTF Jatna Supriatna mengatakan, KPCH sangat membantu petani terutama menghitung kapan waktu tepat mulai bertani dan menentukan jenis tanaman cocok dengan kondisi cuaca.
“Bagaimana petani bisa menghitung dan mempredisksi kira-kira enam bulan ini bisa nyawah atau nggak? Kita harus betul-betul paham. Tahu kapan harus nyawah, kapan nandur dan manen.”
Syamsidar Thamrin, Kasubdit Iklim dan Cuaca Kementerian PPN/Bappenas mengatakan, dari 380 proposal kegiatan penanggulangan perubahan iklim, hanya 19 disetujui ICCTF. Salah satu, KPCH.
“Karena pendekatan cukup unik, dari manusia sendiri. Bapak-bapaknya sangat responsif dan ingin belajar. Kita sangat mengapresiasi program ini.”
Idham, Camat Keruak mengapresiasi pembentukan KPCH dan sangat membantu petani mengantisipasi dampak perubahan iklim. “Dengan KPCH petani bisa banyak belajar.”
Baru-baru ini, katanya, banyak petani Keruak kekurangan air hingga gagal panen. Meski bantuan mesin penyedot air ada, namun, 20% lahan pertanian Keruak gagal panen. “Kami berharap program ini terus berjalan.”