Melihat Sampah yang Artistik dan Trendi di TrashStock

Sejumlah inisiatif mengurangi cemaran sampah plastik dengan cara yang asyik dan trendi ada di TrashStock. Tahun ini bertajuk Musik, Plastik, Artistik, akhir pekan lalu di Denpasar.

Menangkap topik event tahunan ini, ada belasan proyek dan produk dari Bali dan luar Bali menarik perhatian warga karena disajikan artistik. Misalnya Merajut Indonesia, Plasticology, Green Books, Youth Rebel Nation 4Liberation dan Semut Ireng.

Menjadi trendi dengan mengurangi sampah plastik juga adalah tantangan. Bagaimana berkampanye tanpa menambah atau membeli sampah anorganik baru sebagai bahan baku.

Deky Rahman Setiawan dengan kerajinan bermerk Youth Rebel Nation 4Liberation (YRN4L) membuat dan menjual aksesoris seperti cincin, gelang, kalung yang bahan bakunya dikumpulkan dari pemulung. Secara estetis dan desain, sama sekali tak nampak seperti limbah. Pria dengan gaya dandan rock metal ini melakukan upcycle atau nilai tambah pada sampah.

Misalnya ia mengubah bekas pipa paralon pipa air menjadi kalung yang terkesan mahal. Seperti olahan gading. Pipa bekas berdiameter besar ini dibakar lalu dicukil. Aksen kayu muncul dari bekas pembakaran. Lalu penyelesaian akhir yang rapi untuk menyatukan sudutnya di leher.

Ada juga kalung dengan liontin bekas kunci dengan desain klasik, leontin, gearbox mobil-mobilan Tamiya, bulu babi, gear gitar, dan lainnya. Produk-produk yang bisa diakses lewat akun Instagram @dq_rahmonez ini dikerjakan detail. Jika tak bertanya asal bahan bakunya, kita tak bisa menebak.

Dalam akunnya ia juga memamerkan sejumlah karya dan sampah yang dinaikkan kelasnya jadi aksesoris. Misalnya ada cincin dari pisau makan bekas salah satu perusahaan penerbangan. Dengan alat bantu, ia membengkokkan pisau makan melingkar dan menyisakan sedikit ujungnya. Elegan.

“Sumber utama bahan di dagang rongsokan dan teman yang mau buang barangnya,” ujar Deky. Ia hanya berharap sampah bisa dipikirkan untuk berfungsi kembali dengan bentuk lain untuk mengurangi pencemaran. Namun, apa yang dioleh Deky tak bisa ditiru semua orang. Perlu naluri seni dan keterampilan mengolah.

Sedangkan Merajut Indonesia mengajak pengunjung menganyam plastik. Seperti kresek yang tiap saat jadi kantong belanja. Sejumlah anak sekolah dan orang dewasa diajak Sri Wahyuni atau Ncie merajut kresek menjadi tas, dompet, dan lainnya.

Idenya memang rajutan, sesuatu yang ditekuni Ncie sejak remaja. Saat itu merajut dari benang, misalnya crochet yang masih populer dibuat oleh penghobi rajutan. Namun ia lalu menemukan bahan baku baru yaitu plastik.

Sri Wahyuni dari Merajut Indonesia mengajari pengunjung merajut kresek dalam acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani
Sri Wahyuni dari Merajut Indonesia mengajari pengunjung merajut kresek dalam acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani

Sejak 2015 perempuan mantan staf Dinas Pendidikan Tangerang Selatan pada 2011-2013 ini menjelajah beberapa tempat di Jawa, Madura, lalu Lombok untuk menularkan virus rajut kresek. “Awalnya mereka nggak hobi merajut. Tapi pas udah nyoba, sekarang sudah ada pesanan,” katanya mencontohkan antusias perempuan Lombok.

Tenunan atau rajutan, kerajinan dari kresek dirajut ini juga memiliki motif-motif seperti rantai, kipas, berlian, pagar, dan lainnya. Hasil rajutan terlihat kuat dengan desain cukup menarik. Warna-warna plastik yang dipakai dominan cerah seperti merah muda, hijau, dan merah. “Nanti saya coba merajut dari akar seperti noken Papua. Tapi ini bisa mengurangi tanamannya ya,” ujar Ncie yang sebelumnya bekerja sebagai guru dan kepala sekolah TK.

Ia mengakui dampak makin ditekuninya rajutan kresek ini adalah menambah sampah baru dengan cara membeli bahan baku plastiknya karena di desa kurang ada sampah plastik.
“Kurang bahan baku dengan warna yang sama,” tambah Ncie.

Juga ada desainer Adi Siput yang menyulap kertas-kertas bekas foto copy skripsi menjadi helai gaun. Untuk membuatnya lebih artistik, para model perempuan yang mengenakan baju daur ulang ini dilukis atau body painting. Jadilah sebuah pertunjukkan kolaborasi. Adi berkolaborasi dengan Lanang Mantra dan Alexa Bauer dalam koleksi fashion daur ulang.

Fashion dari kertas skripsi (kanan baju putih) dari desainer Adi Siput dalam acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani
Fashion dari kertas skripsi (kanan baju putih) dari desainer Adi Siput dalam acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani

Julien Goalabré, cofounder TrashStock dari Perancis menilai sebuah artwork, musik, dan isu plastik mendorong pikiran positif. Sebuah transformasi ulang. Salah satu caranya, barter tiket dengan satu kilogram plastik bersih. Inilah yang juga menjadi bahan baku aneka workshop dan event yang dikerjakan para seniman seperti Made Bayak dengan aneka karya seni kolaborasi seni rupa dan instlasi dalam Plasticology.

Bayak banyak berkolaborasi dengan aktivis lingkungan melalui Plasticology. Misalnya dengan CTC membuat paus biru dari sampah label air mineral yang dibuang pemulung saat menjual wadahnya. Isunya adalah terjepitnya paus biru di lautan yang makin banyak plastik. Ia juga berusaha menghindari produksi sampah baru misal mengurangi pemotongan bahan baku dan tak menggunakan bahan yang laku dijual pemulung.

Selain menghelat event, memengaruhi kebijakan politis menurutnya penting. “Akan cukup berat langkah ke depan, politisi selalu berdalih ketika ada persoalan. Kecuali pemerintah punya kemauan kuat. Tapi agar tak patah arang jalur ini yang dijaga intensitasnya. Lalu kesadaran bersama kita kuat misal jika ada pemilihan tak memilih yang tak berpihak pada lingkungan,” seru Bayak.

Karya Made Bayak memanfaatkan limbah dalam plasticology pada acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani
Karya Made Bayak memanfaatkan limbah dalam plasticology pada acara TrashStock di Denpasar, Bali, pada pertengahan Juli 2016. Foto : Luh De Suriyani

Vifick Bolang, fotografer lepas memamerkan potret sampah yang ditemukan di got, sungai, atau laut dalam Trash Artifacts. Kemudian tari Nglawang Barong yang terbuat dari sampah dari Wayan Suja. Juga Slukat, Sanggar Anak Tangguh, Eco Bali, Wayan Jengki, dan lainnya.

Putu Hendra Arimbawa, Ketua Panitia TrashStock meyakinkan event ini bisa menggugah pengunjung. “Sesuatu yang dianggap rendah, jadi cool,” katanya.

Jika tidak barter sampah plastik dengan tiket, pengunjung dikenakan donasi Rp25.000 untuk satu tiket. Hasilnya akan diserahkan ke Yayasan IDEP Selaras Alam untuk kampanye lingkungan, terutama konservasi air. Lembaga ini membuat Bali Water Protection Programme yang menawarkan solusi mencegah makin buruknya krisis air di Bali dengan sumur resapan air hujan.

Selain gempuran sampah dan eksploitasi investasi pariwisata, krisis air juga akan menambah masalah lingkungan di Bali. Makin banyak juga disebarluaskan cemaran sampah plastik di sumber air seperti sungai dan laut Bali.

Saat ini sudah banyak terjadi intrusi air laut, ketika volume air dalam bawah tanah berkurang dan air laut masuk. Air ini tak bisa dikonsumsi dan juga merusak bahan pangan.

Bali juga masih belum memastikan sistem penanganan sampah terintegrasi, karena di TPA terbesar, Suwung, investor dinilai gagal mengolah sampah jadi listrik seperti perjanjian pasca konferensi perubahan iklim 2007 lalu di Bali.

Sejumlah musisi menyuarakan ini di TrashStock 2016, seperti The Mangrooves, Nosstress, Robi Navicula, Zat Kimia, Deep Sea Explorers, Rizal & Rasendrya, Lily of The Valley, dan lainnya.“Hutan bakau terancam sampah plastik dan proyek yang tak mendukung alam,” seru Krisna, vokalis band groove reggae The Mangrooves.

Artikel yang diterbitkan oleh
,