Buaya Masuk Permukiman Warga, Pertanda Apakah?

Seorang pemilik pelelangan ikan, Joni (34) terkejut mendapati seekor buaya berukuran sekitar 1,5 meter berada di sekitar kediamannya, 9 Juli 2016. Buaya tersebut agaknya tertarik dengan bau ikan di dermaga milik Joni. Warna tubuh buaya, sekilas tersamarkan dengan keruhnya air sungai dan lumpur. Penemuan anakan buaya tersebut, sempat membuat heboh masyarakat sekitar Jalan Komodor Yos Soedarso, Gang Salak IV, Pontianak, Kalimantan Barat.

Akhirnya, Joni memutuskan untuk memelihara sementara anakan buaya tersebut, seraya mencari informasi kepada pihak mana menyerahkan hewan tersebut. Hingga pada 13 Juli, informasi anakan buaya tersebut sampai ke Tim Gugus Tugas Evakuasi dan Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim kemudian mengevakuasi anakan buaya yang termasuk jenis buaya muara itu.

Buaya muara (Crocodylus porosus) tersebut belum dapat diidentifikasi jenis kelaminnya. “Sejak ditemukan, buaya ini tidak mau makan. Padahal sudah diberi ikan,” ujar Joni, kepada petugas. Saat dievakuasi pun, anakan buaya tersebut tampak masih memiliki sifat liar. Petugas merekatkan moncong buaya tersebut dengan plester, demikian pula kaki depan dan belakangnya. Sesaat sebelum dibawa ke Sinka Zoo, anakan buaya tersebut terus disiram air untuk menghindari stres yang berlebih akibat evakuasi.

“Walau masih memiliki sifat liar, kita tetap akan menitiprawatkan satwa tersebut di Lembaga Konservasi Sinka Zoo, Kota Singkawang. Dengan pemikiran, harapan hidupnya lebih tinggi di sana,” ungkap Sustyo Iriyono, Kepala Balai KSDA Kalimantan Barat. Sustyo mengatakan, pada 20 Juli lalu, pihaknya juga menerima seekor buaya jantan dewasa dari seorang warga di Jalan Swadaya Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat.

Buaya ini selanjutnya dititiprawatkan di Sinka Zoo. Video: Aseanty Pahlevy

Ukuran buaya peliharaan itu mencapai tiga meter. Pemiliknya, Budi Van Darol (37), mengatakan, awalnya buaya tersebut dipelihara Kades Sebubus, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas pada 1995. Buaya tersebut, juga dititiprawatkan di Lembaga Konservasi Sinka Zoo, Singkawang.

Selain dua buaya tersebut, BKSDA Kalbar juga telah mengevakuasi seekor buaya pada 4 Juli. Tadinya, si pemilik Noviansyah (30) warga Desa Kapuas Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubur Raya, mengiklankan buaya tersebut di media sosial untuk dijual.

“Informasi tersebut didapat oleh tim pemantau media dan ditindaklanjuti dengan melakukan evakuasi dari warga tersebut,” kata Sustyo. Berdasarkan pengakuan pemiliknya, buaya tersebut ditemukan di lokasi bongkaran pasir yang berada di Jalan Adi Sucipto, dua hari sebelum dievakuasi. Penangkapan buaya tersebut, kata Sustyo, karena khawatir dapat membahayakan warga sekitar. Sustyo mengakui, musim kering belakangan ini menyebabkan debit air Sungai Kapuas menurun dan pakan buaya menipis. Mereka akhirnya mencari sumber pakan, di luar teritori berburunya.

Buaya muara sepanjang empat meter yang ditangkap warga di Sungai Udang, Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, 2013 lalu. Foto: Andi Fachrizal

Habitat terganggu

Kemunculan buaya di Kota Pontianak belakangan ini menunjukkan indikasi habitatnya terganggu. Buaya muara di Kalimantan Barat, kebanyakan berada di Kabupaten Kubu Raya. Pada rentang waktu satu dekade terakhir, Kubu Raya juga sempat dihantui dengan kemunculan hewan tersebut.

Pada 2010, seekor buaya berukuran empat meter yang ditangkap warga berakhir dengan kematian. Satwa tersebut kemudian dipertontonkan, lantaran dianggap sebagai hewan yang menyebabkan tewasnya beberapa warga di daerah tersebut. “Saat itu para nelayan takut mencari ikan, karena sering melihat keberadaan satwa tersebut,” kata Joni Edward, salah seorang jurnalis yang meliput tertangkapnya buaya dengan berat lebih dari 600 kilogram itu. Joni bahkan mengabadikan dirinya bersama bangkai satwa tersebut, yang dipertontonkan oleh masyarakat Kecamatan Sungai Kakap.

Pejabat Bupati Kubu Raya, Kamaruzzaman, yang saat itu merupakan kabupaten baru hasil pemekaran, lantas membentuk Tim Penanggulangan Buaya. Tim ini terdiri dari beberapa instansi terkait. Kamaruzzaman juga mengeluarkan surat keputusan, untuk memberikan imbalan satu juta rupiah bagi siapa pun yang bisa menangkap seeokor buaya hidup-hidup. Tujuannya, mencegah konflik dengan manusia meruncing.

Buaya senyulong yang ditemukan warga di Danau Tampang Keladi, Kabupaten Landak, Kalbar, 2014 lalu. Pemprov Kalbar membentuk tim untuk mengetahui apa penyebab kematiannya. Foto: Aseanty Pahlevi

Tahun 2014, konflik serupa terjadi di Kabupaten Kubu Raya. Mat Sarif, pada bulan Mei, mengalami luka-luka lantaran kedua kakinya diterkam buaya muara. Warga Desa Sungai Nipah, Kecamatan Teluk Pakedai ini bahkan sempat ke tengah sungai. Mat Sarif memberikan perlawanan dengan memukuli kepala buaya tersebut dengan kepalan tangannya. Sehingga, buaya mengendorkan cengkramannya. Saat itulah Mat Sarif lolos.

Adi Rachman, aktivis lingkungan hidup di Kabupaten Ketapang menyatakan, buaya tersebut masuk ke permukiman lantaran habitatnya terusik, atau makanan alaminya punah. “Ada kaitannya dengan pembukaan lahan secara masif untuk pertambangan dan sawit.” Ikan dan udang yang merupakan santapan buaya, diperkirakan sudah jauh menurun jumlahnya.

Ditambah lagi, mereka harus bersaing dengan manusia, yang mencari ikan dan udang sebagai mata pencaharian. Tak hanya itu, lalu lintas sungai saat ini sudah semakin ramai. Termasuk alih fungsi bantaran sungai menjadi kawasan permukiman dan kegiatan budidaya seperti tambak. “Buaya betina pun menjadi lebih sulit mencari tempat untuk peneluran,” ujar Adi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,