Menyikapi Perubahan Iklim Lewat Kacamata Agama

Barangkali kita sering mendengar kabar tentang perubahan iklim yang nyata berdampak buruk terhadap lingkungan. Tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di berbagai negara secara global juga mengalami anomali cuaca yang tidak menentu dan sulit dipredikisi.

Diduga penyebab utamanya ialah terjadi peningkatan kadar karbondioksida di atmosfer bumi yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan. Akibatnya terjadi pemanasan global, meningkatnya suhu bumi, meningginya permukaan air laut  yang berujung bencana alam.

Tentu hal tersebut memprihatinkan bila berkaca pada kondisi sekarang ini, dengan kemajuan peradaban yang begitu pesat ternyata berimplikasi pada rusaknya keseimbangan ekosistem. Permasalahan iklim merupakan soal serius yang harus segera dicarikan solusinya. Menyikapi isu tersebut WWF-Indonesia menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan lewat diskusi dengan tema Walking Gently on Earth di Bumi Panda, Bandung, Sabtu (23/07/2016) lalu.

Dalam diskusi yang mengkolerasikan antara nilai agama terhadap upaya pelestarian lingkungan, dihadiri oleh kalangan muda dari beberapa universitas di Bandung. Koordinator GreenFaith USA (Komunitas lintas keagamaan yang peduli lingkungan yang berbasis di Amerika) Nana Firman yang juga hadir sebagai pemateri mengatakan, akibat perubahan iklim pengaruhnya terhadap kesediaan air, ketahanan pangan dan pertanian menjadi terganggu.

“Perubahan yang terjadi pada iklim kita saat ini mengalami kenaikan suhu sekitar 1 – 1,5 derajat. Dan itu harus diperjuangkan jangan sampai lebih, kalau naik sampai 2 derajat akan ada banyak perubahan yang terjadi, kita bisa kelabakan menghadapinya,” ujar wanita berkacamata tersebut.

Menurut Nana, semua agama mengajarkan untuk berbuat baik di muka bumi dan ada beberapa prinsip-prinsip didalamnya yang mengajarkan tentang memelihara keseimbangan lingkungan. Islam adalah salah satu agama yang mempunyai pesan tentang pelestarian alam. Hal itu tambahnya, bisa ditemukan dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran maupun Hadist.

Nana menjelaskan, dalam pandangan Islam manusia diberikan amanah. Seperti yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab, Tuhan memberikan amanah kepada semua makhluk untuk menjadi penanggung jawab di bumi. Akan tetapi mereka tidak sanggup kata dia,  hanya manusia yang setuju mengemban amanah itu. ”Maka kita selaku manusia harus bergerak berdasarkan keteraturan dan keseimbangan. Gak cuma sekedar hidup di bumi aja,” ucapnya.

Dia melanjutkan, permasalahan yang di hadapi saat ini adalah buruknya ekosistem dan rusaknya sisi ekologis bumi. Itu telihat lanjut dia, dengan kerusakan hutan, banjir, kekeringan dan emisi karbon yang mengurangi ketebalan lapisan ozon. “Kebanyakan negara-negara berkembang rentan terkena dampak perubahan iklim. Seperti di Afrika yang sering terjadi kekeringan. Maka Negara berkembang juga perlu mencari cara bagaimana menanggulangi bencana tersebut,” jelasnya.

Nana mengungkapan pemanasan global berakibat juga pada mencairnya lempengan es di kutub selatan maupun utara yang akan meningkatkan permukaan muka air laut. Dikatakan dia, diprediksikan negara pertama yang akan tenggelam terkena dampak perubahan ikilm adalah Maladewa.

“Peningkatan muka air setengah meter saja negara tersebut akan tergenang. Maka suatu ketika Presiden Maladewa pernah mengadakan rapat kabinet menggunakan baju scuba (baju menyelam) di pinggir pantai. Hal itu merupakan statmennya terhadap dunia bila tak ada yang peduli terhadap lingkugan, maka warga negaranya harus terbiasa menggunakan perlengkapan berenang,” imbuhnya.

Dia menyebutkan itu hanya bagian kecil saja terkait perubahan iklim. Dia melanjutkan dalam Alquran tertulis, telah nampak kerusakan di muka bumi yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia dan Tuhan bertanya; mau kemana pergi?  Nana memaparkan, pilihan ada ditangan manusia itu sendiri, menerima kehancuran atau bersama-sama membenahi dan memulihkan kembali ekositem yang rusak.

“Sampah dilaut 60% dihasilkan 5 negara temasuk Indonesia nomor dua penghasil sampah plastik di laut setelah Cina di urutan pertama. Apa yang harus kita lakukan melihat fenomena itu? salah satunya agama menyuruh kita melakukan kebaikan dan adil. Dengan kita harus menjaga alam ini penuh kebijaksanaan,” ucap Nana.

Hidupkan Gaya Ekologis

Dalam acara tersebut juga dihadiri Nissa Wargadipura pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut. Pesantren tersebut selain memberikan materi tentang keagaaman, juga memberikan pengetahuan tentang pelestarian lingkungan khususnya di bidang pertanian.

“Kenapa berbasis ekologi, ini adalah refleksi dan evaluasi dari perkembangan pertanian. Dimana ini tentang suatu kondisi di para petani yang sedang mengalami keresahan atau kekhawatiran tentang kondisi alam di Indonesia,” ucapnya dalam acara yang sama.

Dia menemukan berbagai macam permasalahan dari para petani. Masalah tersebut berputar pada penggunaan zat kimia pada proses produksi pertanian. Dia mengatakan selain berdampak buruk terhadap kulitas tanah juga berpengaruh terhadap kesehatan apabila zat kimia yang terkandung didalamnya dikonsumsi.

“Halal saja tidak cukup untuk makan harus juga sehat. Mari coba kita kritis menelusuri dari mana makanannya, petaninya siapa, cara menanamnya bagaimana?  Supaya tahu kandungannya,” tegas Nissa.

Nissa Wargadipura pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut menjelaskan aktivitas pesantrennya dalam diskusi keterkaitan agama dengan perubahan iklim di Bumi Panda, Bandung, Sabtu (23/07/2016). Foto : Dony Iqbal
Nissa Wargadipura pendiri Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut menjelaskan aktivitas pesantrennya dalam diskusi keterkaitan agama dengan perubahan iklim di Bumi Panda, Bandung, Sabtu (23/07/2016). Foto : Dony Iqbal

Pada proses distribusi yang paling mengerikan kata Nissa, adalah para petani dibuat tak berdaya oleh sistem tengkulak. Dia melanjutkan pemodal – pemodal besar memberikan pinjaman modal kepada petani untuk meningkatkan produktivasnya tapi malah merugikan.

“Sistem seperti ini sudah berlangsung lama. Pemodal itu  membeli hasil dari petani dengan harga murah. Dan pada akhirnya petani yang dirugikan, pertama kesejahteraan petani dan kedua ketergantungan petani terhadap bahan kimia yang sebenarnya tidak signifikan meningkatkan produktivitas tetapi malah menyingkirkan ekosistem yang ada di tanah. Oleh biaya pupuk kimia pestisida yang juga  telah memicu perubahan iklim dan pemanasan global terjadi,” kata dia.

Oleh karena itulah pesantren ekologi hadir, merefleksikan fenomena yang ada. Isu yang digencarkan oleh Pesantren Ekologi, kata Nissa, seputar agro ekologi, yakni pertanian berbasis perbaikan ekosistem. Konsep itu dilakukan bersama santri-santri. Pekerjaan mereka bercocok tanam dan melakukan penelitian terhadap kandungan gizi pada tumbuhan yang berbagai jenis.

Pesantren ini didirikan untuk mengubah pandangan serta wawasan untuk menyelamatkan lingkungan lewat kearifan lokal yang sejak dulu diajarkan oleh para pendahulu dan terbukti selarah dengan alam.

“Kami ingin mencetak generasi yang mampu membawa perubahan. Mampu membentuk karakter bangsa yang kuat dan berprinsip pada kearifan lokal. Dan kedepan harapan kami adalah tentu terciptanya kemandirian pangan yang dikelola mandiri mulai dari hulu sampai ke hilir dan tidak tergantung pada bangsa lain,” jelas wanita yang akrab disebut teh Nissa.

Nissa memberikan contoh saat ini Indonesia menghadapi iklim kemarau basar, atau lanina. Akibat dari itu, para petani panik, khawatir karena takut hasil produksi pertanian berkurang. Kemudian hasil pertanian itu mereka genjot habis supaya berbuah banyak, berdaun besar, sayuran melimpah dengan menggunakan pupuk kimia.

“Penggunaan pupuk kimia pun sudah tidak lagi pada takaran yang wajar. Mereka para petani menggunakan zat kimia untuk membunuh rumput-rumput yang ada di tanah, tapi sebetulnya zat itu adalah pembunuh unsur-unsur yang ada di dalam tanah itu sendiri,” tambahnya.

Terakhir Nissa mengajak untuk kembali mengaplikasikan pola tanam yang tradisional yang tidak menggunakan bahan kimia berbahaya. Dia menambahkan agar lingkungan tetap lestari, tanah tetap subur dan kesehatan masyarakat terjaga. Dengan cara bagaimana? Mulai dari menggunakan produk ramah lingkungan dan menanam tanaman yang bermanfaat.

Artikel yang diterbitkan oleh
,