Ritual Ucap Maaf Warga Pegunungan Kendeng kepada Alam

Udara berhembus cukup kencang. Sinar mentari menembus celah dedaunan jati. Pagi itu, Sabtu (9/7/16), Sukinah, warga Desa Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah, mulai sibuk menyiapkan beras. Janur kuning untuk ketupat pun sudah siap di halaman rumah.  “Ini akan dimulai proses Kupatan Kendeng. Mengambil air di sumber mata air Pegunungan Kendeng, untuk menucuci beras buat ketupat,” katanya.

Sukinah, memakai baju kebaya, dan rambut berikat model sanggul. Sesekali dia nembang lagu Jawa buat nanti prosesi pengambilan air dari sumber mata air atau “Temon Banyu.” Sesekali dia melihat sapi di kandang, tepat di belakang rumah.

Jam menunjukkan sekitar pukul 14.00, Sukinah mulai menyiapkan bakul bambu. Kain panjang batik disiapkan untuk menggendong bakul itu. “Kupatan yakni mengaku lepat, atau mengaku salah. Tak hanya pada manusia, juga alam,” ucap Sukinah.

Pukul 15.00, puluhan perempuan memakai kebaya berbaris. Membawa bakul berikat selendang panjang. Bakul-bakul terisi beras dan janur ketupat. Mereka berjalan sembari nembang lagu-lagu berbahasa Jawa berisi pesan alam. Akhirnya,  mereka tiba di Waru, sumur tertua di Desa Tegaldowo, dengan air mengalir dari Pegunungan Kendeng.

Temon Banyu Beras, kata Sukinah, merupakan ungkapan syukur karunia air dan panen yang diberikan Pegunungan Kendeng Utara kepada warga yang sebagian besar petani. Air dari sumur dipertemukan dengan beras panenan dari lereng pegunungan. Setelah didoakan, air dan beras diantar ke Tenda Perjuangan di Gunung Bokong untuk jadi ketupat.

Minggu (10/7/16), pukul 9.00, bergantian warga datang ke rumah Sukinah. Membawa ketupat yang dimasak. Di samping rumah, piramida berbahan bambu disusun untuk meletakkan ketupat menjadi gunungan. Hingga pukul 13.00, gunungan ketupat dibawa ke lapangan di Desa Tegaldowo, didoakan dan dibawa keliling desa.

“Ketupat dibagikan kepada warga, digotong bergantian, diikuti ratusan warga, barong, barongsai dan naga,” katanya.

Ritual Lamporan mengusir penyakit yakni perusahaan semen yang akan mengancam sumber air. Foto: Tommy Apriando
Ritual Lamporan mengusir penyakit yakni perusahaan semen yang akan mengancam sumber air. Foto: Tommy Apriando

Sebelum doa, serangkaian pertunjukan kesenian di panggung hiburan, di tengah ratusan warga. Beberapa seniman dan musisi dari berbagai daerah, seperti Sisir Tanah, KePAL, Nyonyor Numpang Tenar dari Yogyakarta dan Bara dari Solo. Tak ketinggalan penampil dari warga Kendeng, yakni sholawatan oleh Gus Gufron dari Desa Nggarang Rembang, Kesenian lesung juga tetembangan dan geguritan oleh Ibu-ibu Kendeng.

Joko Prianto dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang mengatakan, Kupatan Kendeng tahun ini kali kedua. Warga Desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri di Kecamatan Gunem dan Desa Bitingan serta Tengger di Kecamatan Sale, Rembang, ingin merawat tradisi yang lama hilang.

Sejak kehadiran pabrik semen, katanya, kerukunan warga terpecah. Jadi, harus permintaan maaf kepada manusia dan alam. Alam sudah memberi manusia hidup. Manusia tak lepas dari kesalahan dalam merusak alam. “Jika alam marah, mereka datang melalui bencana kekeringan, banjir atau longsor,” kata Joko Prianto.

Masyarakat Pantai Utara Jawa  terutama Rembang memiliki tradisi Lebaran Ketupat dirayakan sekitar seminggu hingga 10 hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Ketupat dari bahasa Jawa ‘ngaku lepat’ berarti mengakui kesalahan.

Sejak 16 Juni 2014, warga mendirikan tenda di tapak pabrik semen dan melakukan berbagai aksi lain hingga menyemen kaki di depan istana menolak industri semen. PT Semen Indonesia berencana mendirikan pabrik 57 hektar dan penambangan batu kapur seluas 525  hektar guna memenuhi produksi tiga juta ton per tahun. “Belum ada tambang besar saja banjir kala hujan deras. Apalagi jika ada tambang,” kata Joko.

Kupatan Kendeng di Lapangan Desa Tegaldowo menjaga alat dan menjaga budaya. Foto: Tommy Apriando
Kupatan Kendeng di Lapangan Desa Tegaldowo menjaga alat dan menjaga budaya. Foto: Tommy Apriando

Zainal Arifin Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengatakan, pendirian Semen Indonesia, melanggar Perda RTRW Kabupaten Rembang,  yang menyatakan hutan di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Rembang, bukan kawasan industri besar. Amdal Semen Indonesia yang menjadi dasar penerbitan izin juga mengandung kekeliruan, ketidakbenaran bahkan pemalsuan data dan informasi.

Data Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tidak sesuai kondisi rill lapangan. Contoh keberadaan gua, ponor, dan mata air yang tak sesuai. Dalam Amdal, goa disebutkan ada sembilan padahal 64. Mata air disebutkan ada 40, di lapangan tercatat 125. Dalam Amdal tak menyebutkan ponor, kenyataan ada 28 titik.

“Warga sudah survei sendiri. Bahkan mengajak perusahaan dan ahli untuk melihat kebohongan Amdal, mereka tidak datang,” katanya.

Kala Semen Indonesia beroperasi di Rembang mengancam mata air, gunung, ekosistem, serta polusi udara. Data PDAM Rembang menunjukkan, sekitar 153.402 jiwa di sangat bergantung langsung pada Cekungan Air Tanah Watuputih yang mengalirkan ratusan mata air. Mata air ini juga dimanfaatkan penduduk Blora. Adapun, penelitian terbaru UPN Yogyakarta menunjukkan di CAT Watuputih, tempat pabrik semen terdapat danau bawah tanah sangat besar yang terancam tambang dan pabrik semen.

***

Malam hari, ratusan warga berkumpul di Lapangan Desa Tegaldowo. Mereka menyalakan obor untuk ritual Lamporan. Ini tradisi tolak bala untuk mengusir wabah penyakit dan hama tanaman. Ratusan warga berjalan, dari lapangan menuju tambang Semen Indonesia, sembari membawa obor sebagai penerangan, berjarak sekitar satu kilometer di perbukitan.

Warga membentuk lingkaran sambil membacakan doa dan mantra demi punahnya bala yang kali ini datang dalam ujud industri semen yang mengancam kelestarian alam dan kehidupan di Kendeng Utara. “Pergi pabrik semen…” ucap Joko.

Warga mengeliling desa Tegaldowo membagikan ketupat yang sudah didoakan, sembari mengaja warga menjaga gunung sebagai sumber air. Foto: Tommy Apriando
Warga mengeliling desa Tegaldowo membagikan ketupat yang sudah didoakan, sembari mengaja warga menjaga gunung sebagai sumber air. Foto: Tommy Apriando
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,