Fokus Liputan : Ritual Kasada, Ritual Selaras Alam Suku Tengger (Bagian 2)

Tiga perempuan tua mengapit wadah sesajen dengan sarung. Isinya diantaranya daun bawang prei, kentang, dan kol. Mereka berjalan kaki dari rumah sampai tujuan, pura Poten Bromo dan kawah gunung Bromo, Jawa Timur, diketinggian sekitar 2300 mdpl itu.

Mereka melewati jalanan desa yang sedang ramai hilir mudik jeep, motor, dan kendaraan lain mengantar wisatawan. Terlihat tiga turis berkulit kuning menunggang kuda.

Perjalanan mengikuti Yadnya Kasada, ritual suku Tengger di bulan ke-12 penanggalan lokal ini dilalui sekitar satu jam bagi warga lokal yang sudah terbiasa melalui rute laut pasir menuju pura dan puncak Bromo. Suasana di laut pasir lebih ramai. Suara knalpot motor cross meraung-raung beraksi melenggak lenggok di jalur berpasir. Ada juga yang membuat arena atraksi dengan mengangkat motor atau berputar-putar.

Ketiga perempuan dan ratusan warga lainnya memilih melaksanakan persembahan pada gunung dengan legenda Joko Seger dan Roro Anteng ini di hari ke-2, pada 21 Juli 2016. Ada yang merujuk nama Tengger adalah kependekan dari AnTENG (tenang) dan SeGER (segar).

Warga yang mayoritas petani bisa mengatur jadwalnya karena ritual dilangsungkan selama 2 hari. Ritual yang ditandai dengan persembahan tulus ikhlas dari hasil kebun sendiri, anugerah yang diberikan ekosistem gunung berapi.

Tini dan Marliasi, dua petani perempuan lain memilih hari pertama. Siang hari mereka sudah berada di pura Poten Luhur Bromo. Sebelum masuk, mereka menghaturkan sesajen berisi nasi dan lauk berbungkus daun pisang di bawah patung singa penjaga gerbang dan tugu lainnya. Para pencari rejeki atau marit menunggu keduanya meletakkan uang, lalu dengan cepat bergerak mengambilnya.

Selanjutnya menuju barisan dukun, tokoh masyarakat dengan status sosial tinggi di warga Tengger karena dinilai punya kapasitas memberikan doa-doa dan mantra untuk sesajen atau hasil bumi yang akan dilarung ke kawah Bromo.

Rombongan umat Hindu Tengger dari luar Kabupaten Probolinggo terlihat berkelompok. Mereka melakukan serangkaian persembahyangan dahulu sebelum menuju gunung. Persembahyangan dan sarananya sebagian mirip Hindu di Bali. Dengan doa-doa dalam bahasa Jawa-Tengger dan Sanskerta. Namun adaptasi budaya terlihat dengan warga yang mengenakan aksesoris seperti jilbab atau songkok. Ada yang mengenakan kebaya dan kain tapi juga ada yang berpakaian keseharian.

Warga terlihat masih menyajikan sesajen dari sumber daya alam sekitar. Misalnya sayuran, tahu, buah apel, kentang, dan lainnya. Berbeda dengan di Bali, banyak menggunakan buah impor dalam sesajen. Bahkan kini ada yang menggunakan minuman kaleng dan makanan pabrikan lain berbungkus plastik.

Warga yang marit sangat banyak. Mereka memungut sesajen yang diperlukan. Selain dipersembahkan ke penguasa alam secara kasat mata juga dinikmati warga yang membutuhkan.

Usai dari pura, warga melanjutkan mendaki ke puncak gunung Bromo. Hujan deras tak menyurutkan langkah mereka menyelesaikan ritual Kasada.

Warga yang membawa ternak mendapat perhatian dari pelaku marit. Namun tak mendorong terjadinya tindakan pemaksaan atau menjarah. Pelaku marit yang beruntung dekat dengan orang yang akan melempar ternak kemungkinan mendapat kambing, lembu, atau ayam di kawah gunung.

Doa dan harapan terdengar di sana-sini sebelum sesajen dilarung. Mayoritas minta kesuburan dan keselamatan ternak.

Ongkek atau sesajen hasil bumi ditata menarik sebelum dilarung ke kawah Gunung Bromo, Jatim, dalam rangkaian ritual Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani
Ongkek atau sesajen hasil bumi ditata menarik sebelum dilarung ke kawah Gunung Bromo, Jatim, dalam rangkaian ritual Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani

Puncak Kasada diputuskan setelah tengah malam hingga dini hari. Jika pagi atau siang hari warga datang sendiri-sendiri, namun saat puncak ritual warga berkelompok membawa sesajen (ongkek) lebih banyak, dirangkai lebih menarik, dan suasana lebih meriah dengan obor. Juga ada upacara pelantikan dukun-dukun baru.

Jro Mangku Gede Arya Bayuangga, salah satu pengelola Pura Darma Bakti di Kota Probolinggo yang mengikuti Kasada mengatakan ritual ini adalah penyucian semesta. Umat Hindu meyakini ada bhuana alit (diri sendiri dan lingkungan sekitar) dan bhuana agung (semesta alam) yang dihormati dengan ritual.

“Semoga sekala nisakala (nyata dan maya) aman, stabil, kepada Hyang Brahma yang melinggih (tinggal) di Gunung Bromo,” katanya menjelaskan doa yang ia panjatkan. Bisa jadi ada sejumlah versi dan doa karena yang melaksanakan ritual Kasada adalah mayoritas warga suku Tengger walau dari berbagai agama.

Sejarah Tengger

“Kami keturunan Majapahit seperti Hindu di Bali, tapi leluhur kami memilih tinggal di kawasan ini,” kata Wanasis, pria 72 tahun suku Tengger yang sedang rehat depan rumahnya, Desa Ngadisari, area terdekat dengan Bromo.

Asal usul warga Tengger dari legenda Joko Seger dan Roro Anteng ini ada di sejumlah website dengan sedikit variasi. Salah satu yang merangkumnya adalah Alpha Savitri yang membuat e-book Sejarah, Agama, dan Tradisi Tengger Bromo.

Savitri menjelaskan ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis, Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering (tanda) budi luhur. Artinya tanda bahwa warganya memiliki budi luhur. Makna lainnya adalah daerah pegunungan. Tengger memang berada pada lereng pegunungan Tengger dan Semeru.

Ada pula pengaitan tengger dengan mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Sejarah Tengger dari sisi ilmiah erat kaitannya dengan Prasasti Tengger bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat Prasasti Penanjakan bertahun 1324 Saka (1402 Masehi).

Disebutkan sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Karena itulah kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit. Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan tradisional. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali.

Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai upacara kematian sebagaimana di Bali. Nancy J. Smith, seorang peneliti menyatakan, mantra-mantra yang dipakai dalam upacara mirip juga dengan mantra Budha sehingga masyarakat luas juga menyatakan bahwa suku Tengger beragama Budha. Namun menurut Nancy, Budha di sini bukan dalam pengertian agama, melainkan istilah yang lazim dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut agama sebelum Islam. Memang, pada zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke- 14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum menganut Islam.

Sebelum dilarung ke kawah Gunung Bromo, Jatim, sesajen ritual Kasada berupa hasil kebun dan ternak diberikan mantra oleh dukun-dukun di pura Ponten Luhur Bromo. Foto : Luh De Suriyani
Sebelum dilarung ke kawah Gunung Bromo, Jatim, sesajen ritual Kasada berupa hasil kebun dan ternak diberikan mantra oleh dukun-dukun di pura Ponten Luhur Bromo. Foto : Luh De Suriyani

Legenda Tengger dan Gunung Bromo yang direproduksi melalui cerita rakyat dan sendratari adalah kisah Rara Anteng dan Joko Seger. Alkisah, pada zaman dahulu, ada seorang putri Raja Brawijaya dengan Permaisuri Kerajaan Majapahit. Namanya Rara Anteng. Karena situasi kerajaan memburuk, Rara Anteng mencari tempat hidup yang lebih aman. Ia dan para punggawanya pergi ke Pegunungan Tengger.

Di Desa Krajan, ia singgah satu windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng kemudian diangkat anak oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo. Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo.

Di desa ini, Joko Seger mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan. Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya ke kediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuat serong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu. Lamaran diterima.

Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka. Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka bertapa 6 tahun dan setiap tahun berganti arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan Joko Seger. Ada pawisik mereka akan dikaruniai anak, namun anak terakhir harus dikorbankan di kawah Gunung Bromo. Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma.

Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun semburan api itu sampai juga di Ngadas.

R Kusuma lantas pergi ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudara-saudaranya hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga tempat-tempat lain.

Maka setiap hari ke-14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada.

Dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger-Rara Anteng. Berikut ini nama-nama 25 anak Joko Seger – Rara Anteng. Mereka dihubungkan dengan tempat-tempat yang dianggap keramat di Bromo dan sekitarnya. Yakni Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit), Sinta Wiji (Gunung Kidangan), Ki Baru Klinting (Lemah Kuning), Ki Rawit (Gunung Sumber Semani), Jinting Jinah (Gunung Jinahan), dan Ical (Gunung Pranten).

Selanjutnya Prabu Siwah (Gunung Lingga), Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera), Tunggul Wulung (Cemoro Lawang), Tumenggung Klinter (Gunung Penanjakan), Raden Bagus Waris (Watu Balang), Ki Dukun (Watu Wungkuk), Ki Pranoto (Poten), Ni Perniti (Gunung Bajangan), Petung Supit (Tunggukan), Raden Mas Sigit (Gunung Batok), Puspa Ki Gentong (Widodaren), dan Kaki Teku Niti Teku (Guyangan).

Kemudian ada Ki Dadung Awuk (Banyu Pakis), Ki Demeling (Pusung Lingker), Ki Sindu Jaya (Wonongkoro), Raden Sapujagad (Pundak Lemdu), Ki Jenggot (Rujag), Demang Diningrat (Gunung Semeru), dan Raden Kusuma (Gunung Bromo).

Para pengelola Pura Poten Luhur Bromo di kawasan Gunung Bromo, Jatim, melakukan penyucian dengan memercikkan air suci ke beberapa sudut pura pada rangkaian ritual Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani
Para pengelola Pura Poten Luhur Bromo di kawasan Gunung Bromo, Jatim, melakukan penyucian dengan memercikkan air suci ke beberapa sudut pura pada rangkaian ritual Yadnya Kasada. Foto : Luh De Suriyani

Peneliti Balai Litbang Agama Semarang Setyo Boedi Oetomo dalam Jurnal Smart (2015) menyebut sejak munculnya UU Nomor 1/PNPS/1965, menghadapi tantangan yang membawa perubahan. Tengger sebagai sebuah komunitas memiliki sistem religi lokal yang khas yang disebut Budho Tengger (Sutarto, 2011: 43 – 45). Masyarakat Tengger dengan sistem kepercayaanya itu juga mengalami perubahan karena adanya kebijakan pemerintah.

Senada dengan pendapat Hefner (1999), Sutarto (2011) juga menyatakan bahwa proses formalisasi agama di Tengger pada era 60-70an telah mengkonstruksi pikiran masyarakat Tengger di mana negara telah memaksa mereka untuk memilih agama yang ditentukan pemerintah, baik agama Budha maupun Hindu. Padahal mereka merasa sudah memiliki sistem religi yang dianut sejak dari nenek moyang mereka.

Masa-masa sulit bagi komunitas Tengger menurut Sutarto (2011) terjadi antara tahun 1965-1980, mereka kebingungan dalam menentukan masa depan kehidupan keagamaannya. Masyarakat Tengger mengalami masa-masa ambigu antara menjalankan sistem kepercayaan Tengger dengan menjalankan agama barunya.

Saat itu masyarakat Tengger mengajukan sistem religi Budho Tengger sebagai agamanya. Namun, usulan tersebut ditolak oleh pemegang otoritas keagamaan karena Budho Tengger tidak termasuk dari enam agama besar yang dianut masyarakat Indonesia. Pada tahun 1973 masyarakat Tengger berafiliasi pada agama Budha. Setelah dijalani ternyata ada ketidakcocokan antara sistem keagamaan Budha dengan sistem religi mereka. Hingga akhirnya tahun 1978 mereka menyatakan sebagai penganut agama Hindu.

Masyarakat Tengger, sebagaimana diuraikan dalam tulisan Sutarto (2011), merupakan sebuah komunitas yang telah mengalami perubahan sistem kelembagaan, di mana para Dukun Tengger telah masuk dalam struktur PHDI setempat. Hal ini tentu sangat menarik untuk diketahui bagaimana peran dan kewenangan mereka dalam masyarakat sehingga sampai saat ini identitas masyarakat Tengger sebagai komunitas sub etnis Jawa masih bertahan dengan sistem keyakinan religinya.

Badan pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menyebut mengakomodir kehidupan tradisional masyarakat Tengger dengan pengelolaan zona tradisional dan zona religi.Ada zoning transportation system untuk perlindungan kawasan suci Laut Pasir.

****

Tulisan ini merupakan bagian kedua. Tulisan pertama yaitu Ketika Warga “Menantang” Erupsi Bromo Saat Kasada bisa dilihat disini 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,