Lestarikan Mangrove Sama Dengan Menunda Perubahan Iklim. Kok Bisa?

Keberadaan mangrove di lautan Indonesia hingga saat ini masih belum terdata dengan baik. Kehadirannya, bagi sejumlah masyarakat tertentu masih dianggap sebagai penghias perairan di laut saja. Padahal, mangrove berfungsi penting secara ekologis dan bagi bumi, seperti membantu menunda perubahan iklim sebagai penyerap dan penjaga karbondioksida bagian dari Gas Rumah Kaca (GRK).

Di Indonesia sendiri, keberadaan mangrove menyebar dari ujung barat di Sabang, Provinsi Aceh, hingga ujung timur di Merauke, Provinsi Papua. Khusus di pulau Papua, mangrove diketahui menyimpan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi karbon biru (blue carbon) yang berfungsi menyerap karbondioksida (CO2) di udara.

Marine Program Director Conservation International (CI) Indonesia Victor Nikijuluw di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan bahwa selama ini masyarakat sedikit sekali yang tahu tentang manfaat besar dari mangrove yang tumbuh subur di pesisir lautan.

“Biasanya, ada yang paham bahwa mangrove itu bisa dihilangkan karena itu tidak terlalu berarti. Kemudian, lahan bekas mangrove dialihfungsikan menjadi kawasan permukiman baru. Padahal, mangrove memiliki manfaat sebagai tempat bergantung ikan untuk memijah,” ucap dia.

Kata Victor, ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung perikanan sebagai sumber mata pencaharian penting bagi sejumlah masyarakat di Indonesia, utamanya sebagai pendukung sumber daya perikanan yang ada dalam kawasan mangrove (seperti kepiting bakau).

“Selain itu juga, mangrove berperan penting sebagai tempat pemijahan sejumlah spesies ikan (nursery ground). Namun sayangnya, ekosistem pesisir ini relatif kurang diperhatikan dan tingkat kerusakannya relatif cukup tinggi,” paparnya.

Jadi, menurut Victor, di luar potensi yang besar untuk jadi blue carbon, mangrove juga sudah memiliki kegunaan yang positif sebagai tempat spooning and nursery ground bagi ikan-ikan di lautan. Jika mangrove pertumbuhannya tidak baik, maka bisa dipastikan ikan juga akan berkurang.

“Belakangan muncul (pemanfaatan untuk) bluecarbon. Mangrove akan bernilai berkali-kali lipat jika dilihat dari kandungan karbon,” ungkap dia.

Menurut Victor, dengan potensi yang sangat besar tersebut, jika mangrove ditebang atau diganti keberadaannya untuk fungsi kehidupan lain, maka karbon yang sudah diserap oleh mangrove dan sudah disimpan di bawah lautan, secara otomatis akan dilepas kembali ke udara.

“Tapi sebaliknya, kalau tidak ditebang, maka mangrove akan (mampu) menyerap karbon sangat banyak. Saat ini kita punya tiga juta hektar hutan mangrove di seluruh Indonesia. Kalau tidak mempertahankankeberadannya, maka jumlahnya sudah pasti akan makin berkurang,” sebut dia.

Serap CO2 2.631 ton Per Hektare

Victor Nikijuluw mengungkapkan, potensi besar yang ada di perairan Papua tersebut pernah dilakukan kajian oleh tim CI. Dengan luas lautan yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat, luasan mangrove di kedua provinsi tersebut mencakup sepertiga dari total luasan mangrove di Indonesia.

Dari 700 hektare hutan mangrove yang ada di Papua, menurut Victor, itu memiliki kemampuan untuk menyerap karbondioksida yang ada di udara rerata sekitar 2.500 ton per hari.

Resminya, menurut Victor, dari kajian stok karbon yang dilakukan oleh CI Indonesia di Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana, Papua Barat pada 2016 ini, mencatat rerata simpanan karbon sebesar 717 mg CO2 atau ekuivalen 717 ton per hektar per hektar.

Jumlah karbon yang disimpan di dalam kawasan ini, kata Victor, setara dengan penggunaan 1.120.671 liter bensin, 34,8 truk tangki bensin, dan 1.281.849 kg pembakaran batu bara. Temuan ini menegaskan bahwa pentingnya upaya pelestarian kawasan pesisir termasuk mangrove.

“Kalau dikonversi, stok karbon per hektar di Teluk Arguni memiliki kemampuan untuk menyerap emisi karbon dioksida yang dihasilkan 20 mobil, dalam kurun waktu 25 tahun,” tambah dia.

Hutan mangrove di Teluk Arguni Kaimana Papua Barat. Menurut Conservation Internasional (CI) Indonesia, mangrove berperan penting sebagai stok karbon GRK untuk mengatasi perubahan iklim dan berperan ekologis yang menguntungkan secara ekonomis. Foto : M Ambari
Hutan mangrove di Teluk Arguni Kaimana Papua Barat. Menurut Conservation Internasional (CI) Indonesia, mangrove berperan penting sebagai stok karbon GRK untuk mengatasi perubahan iklim dan berperan ekologis yang menguntungkan secara ekonomis. Foto : M Ambari

Blue Carbon Coordinator CI Indonesia Bara Kalla dalam kesempatan sama menyebutkan, besarnya potensi mangrove di Papua memang sudah terlihat nyata. Selain itu, mangrove di Papua juga memiliki kekhasan dibandingkan dengan yang tumbuh di wilayah lain di Indonesia.

“Selain tingginya seperti pohon besar, mangrove di Papua juga tumbuh di atas kawasan peatland (gambut). Itu sangat khas dan hanya ada di Papua,” ujar dia.

Bara mengungkapkan, dari hasil kajian yang sudah dilakukan tim CI Indonesia, potensi karbon yang ada dalam mangrove di Papua, ternyata lebih besar dari potensi yang sama dalam hutan hujan tropis di daratan.

Di Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana, Papua Barat, yang menjadi lokasi pertama penelitian karbon biru di Papua, mencatat bahwa stok karbon di daerah yang harus ditempuh sekitar delapan jam dengan perahu cepat dari Kota Kaimana itu, mencapai 717 ton per hektare.

“Jika dibandingkan dengan di hutan tropis, mangrove jauh lebih unggul. Di darat, stok karbon yang ada di hutan hujan tropis rerata 595 ton per hektare. Itu menunjukkan, stok karbon di sedimen mangrove lebih besar dibandingkan di sedimen biasa,” jelas dia.

Potensi Ekonomi

Victor Nikijuluw kemudian menjelaskan, jika semua sudah paham tentang potensi besar dari mangrove, maka berikutnya akan ada potensi ekonomi yang besar. Hal itu, karena pelestarian mangrove bisa memberikan keuntungan melalui proses jual beli yang diprediksi akan ramai di masa mendatang.

“Dalam skema perdagangan karbon, yaitu menjual stok karbon yang ada di dalam mangrove, kemudian ada pihak lain yang membayar jasa untuk pihak yang sudah menjaga stok karbon untuk keperluan stabilisasi perubahan iklim,” jelas dia.

Victor optimis, meski saat ini pasar karbon dunia belum tersedia, tapi Indonesia akan mengupayakan untuk bisa hadir di tingkat nasional dulu. Jika sudah ada, nanti perusahaan bisa membeli karbon sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial perusahan (corporate social responsibility/CSR).

Sementara itu, Kasubdit Penataan Kawasan Konservasi Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andi Rusandi mengaku takjub dengan potensi karbon biru yang ada dalam mangrove. Dia mengaku tertantang untuk bisa mengeksplorasi mangrove untuk keperluan seperti mengatasi perubahan iklim.

“Menteri pernah menantang apakah kami bisa buktikan berapa besar kontribusi kawasan konservasi untuk perikanan dan kelautan nasional. Dan ternyata, mangrove jadi bagian rantai makanan sampai untuk persediaan makanan d WPP (wilayah pengelolaan perikanan) 718,” ungkap dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,