Bukan hanya Orangutan, Habitatnya juga Penting Kita Pertahankan

“Orangutan menyukai daerah datar, tidak berkanopi, dan dekat sungai,” ujar Paulinus Kristanto, mengawali perbincangan kami di Pusat Perlindungan Orangutan Labanan, di penghujung Juli itu.

Pusat Perlindungan Orangutan COP Borneo ini tepatnya berada di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kawasan seluas 7.900 hektare tersebut dikelola Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Hadirnya fasilitas perlindungan orangutan, merupakan hasil kerja sama antara COP dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Luasan area untuk Pusat Perlindungan Orangutan ini sekitar 5 hektare.

“Disini telah dibangun fasilitas perlindungan dan rehabilitasi seperti kandang sosialisasi, kandang karantina dan klinik, serta base camp multi fungsi yang dapat digunakan untuk aktivitas perkantoran, stasiun riset, asrama perawat, serta penjaga dan peneliti Orangutan,” terang Paulinus yang merupakan Manajer COP (Centre for Orangutan Protection) Borneo ini.

Orangutan di Labanan ini diajarkan kembali di Sekolah Hutan agar bisa hidup di hutan bila dilepasliarkan nanti. Foto: COP
Orangutan di Labanan ini diajarkan kembali di Sekolah Hutan agar bisa hidup di hutan bila dilepasliarkan nanti. Foto: COP
Pusat Perlindungan Orangutan COP Borneo ini dilengkapi dengan fasilitas perlindungan dan rehabilitasi orangutan. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Pusat Perlindungan Orangutan COP Borneo ini dilengkapi dengan fasilitas perlindungan dan rehabilitasi orangutan. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Paulinus menjelaskan, saat ini ada empat individu orangutan yang menjalani sekolah hutan. Tiga individu berada di kandang, tidak bisa dilepasliarkan lagi karena terlalu besar. Sakit hepatitis. Sementara, satu individunya berjenis kelamin betina.

“Yang betina tidak bisa dilepaskan di lokasi pre-release di Pulau Bawan, karena di sana sudah ada delapan individu jantan.”

Sekolah hutan memang bertujuan mengembalikan sifat liar orangutan, sehingga mereka mempunyai kemampuan bertahan hidup di alam liar. Sebut saja, mencari makan, membuat sarang, dan mengatasi beragam tantangan saat dilepas nanti.

Imam Arifin, dokter hewan yang bekerja di COP Borneo menerangkan, orangutan yang dipelihara, akan meniru sifat manusia, perlu dilatih di sekolah hutan. Ada orangutan yang menganggap dirinya seperti keeper (penjaganya), sehingga ketika diberi daun, dia akan mencari daun yang sama dan kemudian memberikannya pada keeper. “Ujian sesungguhnya dari keberhasilan rehabilitasi orangutan adalah kemampuan mereka hidup di habitat alamnya.”

Baik Paulinus maupun Imam menyatakan, tantangan terbesar dari pelestarian orangutan adalah pengrusakan habitat akibat konversi lahan untuk perkebunan sawit dan perladangan masyarakat.

“Habitat orangutan menjadi terfragmentasi, terdesak ke atas bukit yang bukan merupakan daerah jelajah dan rumah nyaman mereka. Akibatnya, orangutan kelaparan dan masuk ke area perkebunan untuk memakan tunas kelapa sawit. Atau juga ke perkampunga. Konflik terjadi yang berujung pada kekerasan,” ujar Paulinus.

Jika semua oranghutan yang terjebak dalam area terfragmentasi di-rescue, pusat-pusat perlindungan atau rehabilitasi akan penuh. Sementara habitat alamiahnya yang semakin berkurang, membuat lokasi pelepasliaran sulit dilakukan. “Jika banyak orangutan bertahan di pusat rehabilitasi, pertanda kita gagal melakukan konservasi orangutan,” tegasnya.

06 Pulau Bawan Foto COP

Orangutan yang berada di pulau Bawan. Foto atas dan bawah: COP
Orangutan yang berada di pulau Bawan. Foto atas dan bawah: COP

Pulau Bawan

Setelah berbincang, melihat fasilitas dan aktivitas sekolah hutan di Labanan, Paulinus mengajak saya mengunjungi pulau yang menjadi lokasi pra-rilis orangutan. Lokasinya di Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Kampung Merasa adalah kampung yang mayoritas dihuni Suku Dayak Kenyah, Uma Bahau.

“Om Orangutan,” begitu teriak anak-anak begitu melihat mobil COP berhenti di depan rumah salah satu penduduk. Sepanjang perjalanan di kampung tersebut, Paulinus tak hentinya menyapa warga.

Pulau Bawan merupakan pulau di tengah Sungai Kelay yang dipilih karena air sungainya tidak pernah surut. “Orangutan tidak bisa berenang, sehingga mereka akan tetap di pulau,” ujar Paulinus.

Di Pulau Bawan ini ada delapan individu orangutan jantan. Pulau nyaman ini dapat dikelola melalui pengumpulan dana dari konser musik Sound for Orangutan di Yogyakarta dan Samarinda. Tujuannya, sebagai perhentian terakhir orangutan sebelum dilepasliarkan.

Sarang orangutan yang tampak di Pulau Bawan. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Sarang orangutan yang tampak di Pulau Bawan. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Dari pondok pemantauan yang ada di seberang sungai, sambil mempersilahkan saya melihat orangutan dengan binokular, Paulinus mengatakan bila di Pulau Bawan ini orangutan sudah tidak berinteraksi langsung dengan manusia.

Nampak dari kejauhan, di atas pepohonan terdapat sarang orangutan yang mereka bangun sendiri. Kelompok orangutan juga terlihat di tepian sungai berbatu, bermain hingga ke pinggiran.

“Kawasan ini merupakan wilayah tertutup, namun terkadang sulit untuk mencegah warga beraktivitas di dekatnya. Penjaga di sini memang harus kerja keras, baik untuk mengawasi aktivitas orangutan di pulau, maupun kemungkinan adanya warga yang singgah.”

Tugas utama kita bukanlah menyelamatkan orangutan dengan membuat mereka tinggal di kandang yang aman. “Melainkan, mengantar mereka kembali ke rumah sesungguhnya. Hutan, habitat aslinya,” paparnya.

Meski berat, optimisme terpancar di wajah Paulinus dan teman-teman COP lainnya.

Pulau Bawan yang merupakan tempat pre-release orangutan. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Pulau Bawan yang merupakan tempat pra-rilis orangutan. Foto: Yustinus S. Hardjanto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,