Polda Riau, Juli 2016, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan yang mengalami kebakaran pada konsesi mereka. Ada yang menyebutkan, penghentian penyidikan sejak Januari dan diumumkan Maret lalu. Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) pun melaporkan masalah ini ke Kompolnas, Selasa (2/8/16).
Dedi Ali Ahmad, pengacara PBHI meminta Kompolnas mengevaluasi SP3 dan mendesak mengeluarkan surat perintah penyidikan baru.
Dia meminta, Kompolnas mengomunikasikan ini dan memberikan masukan terhadap Presiden. ”Terkait kinerja institusi kepolisian dan kemungkinan dugaan tindak tak profesional dan abuse of power dalam proses penyidikan,” katanya.
Awalnya, kedatangan PBHI dan JMGR akan diterima komisioner Kompolnas pukul 14.00. Komisioner berhalangan karena dipanggil Menteri Polhukam. Mereka memberikan laporan ke Biro Pengabdian Masyarakat.
Poengky Indarti, Komisioner Kompolnas bilang, akan mempelajari pengaduan ini. Nanti, aduan akan jadi bahan klarifikasi kepada Inspektorat Pengawasan Umum/Daerah.
”Kami akan menindaklanjuti sesuai tugas dan kewenangan,” katanya kepada Mongabay.
Harus transparan
PBHI menyebutkan, SP3 ini bentuk kemunduran penanganan kasus karhutla. Kalau begini, katanya, penegakan hukum lingkungan, hanya jadi basa basi Presiden.
”Kita sebagai masyarakat kecewa dan prihatin akan kinerja kepolisian. Tak profesional,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal JMGR. Dia menyayangkan, sikap aparat, kalau warga dengan mudah memghukum, berbeda perlakuan kepada perusahaan.
Dia juga mendesak, hasil penyidikan kepolisian dibuka ke publik. PBHI dan JMGR menilai masih ada kejanggalan. ”Terlalu terburu-buru dan alasan kurang tepat,” ucap Dedi.
Penegakan hukum lingkungan, katanya, harus memiliki tekad kuat karena pembuktian memang berbeda dari kasus lain. ”Harusnya melibatkan jaringan kelas bawah seperti masyarakat dan bekerja sama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki jaringan saksi ahli,” katanya.
Dia khawatir, tindakan Polda Riau ini jadi acuan dalam membuat putusan kasus karhutla. “Jelas sekali, ini bertolak belakang dengan komitmen pemerintah yang ingin menegakkan hukum lingkungan.”
Atas penerbitan SP3 ini, Polda Riau beralasan, pertama, lokasi terbakar bukan lagi perusahaan karena sudah dilepas, kedua, ada sengketa lahan terbakar, ketiga, di lokasi terbakar, perusahaan sudah berupaya memadamkan dengan sarana yang sudah diteliti.
Adapun 15 perusahaan dapat SP3 ini, yakni, PT Dexter Perkasa Industri (HTI), PT Siak Raya Timber (HTI), dan PT Sumatera Riang Lestari (HTI),PT Bina Duta Laksana (HTI), PT Ruas Utama Jaya (HTI), PT Hutani Sola Lestari, PT Perawang Sukses Perkasa Indonesia (HTI), dan PT Suntara Gajah Pati (HTI).
Kemudian, PT Parawira (Perkebunan), PT Alam Sari Lestari (Perkebunan), dan PT Riau Jaya Utama, KUD Bina Jaya Langgam (HTI), PT Bukit Raya Pelalawan (HTI), PT Rimba Lazuardi (HTI), serta PT PAN United (HTI).
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, memiliki bukti kuat untuk menghentikan penyidikan ini. Kewenangan ada di tangan penyidik yang menyebutkan unsur pidana 15 perusahaan tak terpenuhi.
”Tak ada unsur melawan hukum, jadi tak bisa dipaksakan untuk dilanjutkan.”
Tak hanya itu, polri melihat dalam pidana kebakaran hutan ini ada yang sengaja membakar, ada juga yang terkena dampak kebakaran hutan. ”Masa’ orang terkena kebakaran juga diproses, padahal juga terkena kebakaran.”
Boy mengatakan, belum perlu menjelaskan detil hasil penyidikan itu. Dia yakin, sejauh ini penyidik mampu mempertanggungjawabkan karena bekerja berdasarkan UU.
”Kalau ada yang mau menggugat, tak masalah. Itu lebih elegan dan netral. Terbuka saja, kan ada praperadilan,” katanya via telepon.
PBHI menyatakan, jika desakan sprindik baru tak jalan, mereka akan mengajukan praperadilan.
PBHI juga menilai, proses sanksi administrasi tak transparan. Publikasi minim hingga memungkinkan menjadi arena negosiasi baru bagi perusahaan.
Lembaga ini meminta, Presiden tegas dan serius menegakkan hukum lingkungan dengan membentik Satgas Penegakan Hukum Lingkungan.
Terus proses
Sementara, KLHK akan menuntaskan kasus karhutla. Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyebutkan, SP3 bukan akhir segalanya, kemungkinan dibuka kembali masih ada. ”Asal ada bukti baru.”
KLHK tetap mendorong dan bekerjasama memperkuat upaya penegakan hukum dengan kepolisian. Penanganan kasus karhutla, katanya, perlu skenario matang, berdasarkan analisis, data dan ahli kuat.
KLHK, katanya, belum dapat memutuskan akan mengambil alih kasus-kasus itu atau tidak. ”Kami akan fokus perdata dan administrasi.”
Muhammad Yunus, Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK menyebutkan, penegakan hukum kasus karhutla di Indonesia melalui multi-instrument baik sanksi administrasi, pidana dan perdata mesti berjalan beriringan.
Dia memahami kekecewaan publik atas penghentian penyidikan itu. Meskipun tak lanjut pidana, tak akan mempengaruhi pengusutan perkara di KLHK.
”Ini (SP3, red) bisa menjadi vitamin buat penyidik kita.”
Menurut dia, penanganan kasus lingkungan hidup perlu lebih serius dan memiliki cakupan luas. Perlu ada kecermatan, bagi penyidik KLHK dalam menemukan indikasi di lapangan.
KLHK, katanya, juga menyidik perusahaan di Riau. Jika disandingkan dengan perusahaan terkena SP3, hanya HSL yang turut ditangani KLHK. ”Selebihnya kami masih mau dilihat.” Izin HSL sudah dicabut KLHK.
Perusahaan lain, TFDI baru saja di praperadilan, JJP sedang mengajukan banding, dan NSP menunggu putusan PN Jakpus ditunda hingga 11 Agustus.
”Ada AUS, SGP, ASL sedang kami persiapkan maju di persidangan tahun ini.”
Bedasarkan data Kepolisian 2015, ada 218 kasus karhutla, antara lain empat kasus di Bareskrim, 34 di Polda Sumsel, 68 kasus Polda Riau, 18 di Jambi, 57 di Kalteng, 25 kasus di Kalbar, delapan Kalsel dan empat kasus di Kaltim. Untuk kasus perorangan (warga) penanganan sudah selesai.
Jadi perhatian DPR
Kala dimintai tanggapan, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani menyebutkan, akan mengangkat isu ini dalam sidang mendatang, setelah masa reses berakhir 18 Agustus. Bahkan, isu ini mungkin masuk Panja Penegakan Hukum di Komisi III.
DPR, katanya, akan mengumpulkan bukti dan analisis hukum SP3 15 perusahaan di Riau ini. Dia berharap, upaya ini mendapat respon baik masyarakat, lembaga ataupun LSM hingga bisa penyelidikan lanjutan dalam kunjungan kerja.
”Syukur-syukur akan ditunjukkan kepada Kepala Kapolri dan menjadi bahan tandingan.”
Arsul pun masih mempertanyakan alasan SP3 yang tak terbuka. Seharusnya, kalau memang alat bukti bukti, bisa menjelaskan kepada publik. Diapun mendorong sanksi administrasi dan perdata terus lanjut.