Pembahasan revisi UU UU 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU Konservasi), tengah berjalan di parlemen. Dalam proses, berbagai kalangan seperti pakar dan pegiat lingkungan melihat ada beberapa hal penting terlewat, salah satu wilayah kelola masyarakat di kawasan konservasi belum terakomodir dalam revisi UU ini. Bahkan, ada kekhawatiran, revisi ini mengakomodir ketelanjuran ‘investasi.’
Hariadi Kartodihardjo, Pakar dari Institut Pertanian Bogor mengatakan, penyelesaian sengketa di kawasan konservasi seharusnya menjadi bab tersendiri dalam revisi ini. Merujuk data, katanya, ada 1,3 juta hektar tambang di kawasan konservasi. Belum lagi banyak desa dan pemukiman.
“Keterlanjuran ini bagaimana? Sementara penegakan hukum sangat besar unsur politis. Itu baru penyelesaikan sengketa, belum lagi konflik satwa dan manusia,” katanya di Bogor, baru-baru ini.
Dia mengatakan, banyak terjadi keterlanjuran pada kawasan konservasi. Banyak kawasan konservasi mengalami alihfungsi lahan. Belum lagi banyak masyarakat tinggal di dalam ataupun sekitar.
Perubahan UU ini, harus memperhatikan gambaran di lapangan secara khusus dan empiris hingga berangkat dari situasi dan fakta.
“Setelah melihat kondisi faktual lapangan, baru cantolkan norma dimana? Apakah perlu masuk resolusi konflik? Itu justru justifikasinya poin-poin di lapangan.”
Dia menyarankan, paling tidak ada dua harus diperhatikan. Pertama, masyarakat yang sudah melakukan konservasi, di dalam maupun luar kawasan. Kedua, masyarakat yang menduduki kawasan konservasi dan pendukung penyelesaian konflik.
Menurut dia, ketika membahas UU, seringkali pemerintah fokus membahas norma, lupa kondisi lapangan. Jadi, katanya, seringkali keluaran normatif dan instrumen pencegahan masalah kecil sekali.
Di mencontohkan, situasi Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Masyarakat sekitar banyak menjadi petani sawit. Secara hukum, itu kawasan konservasi.
“Penting diperhatikan bagaimana kalau sebagian kawasan jadi sawit. Mau diapakan dalam revisi ini?”
Dia mengusulkan, ada klausul yang membahas soal ini hingga tak terjadi pembiaran. “UU sekarang tak cukup fleksibel menangani ini,” katanya.
Hariadi menekankan, aspek kualitas keragaman hayati yang masih ada perdebatan. Kalau membaca Indonesia Biodivesity Strategy and Action Plan (IBSAP) lebih menekankan sumber daya hayati. Aspek keragaman masih kurang.
“Kalau di Jawa semua ditanami kencur. Apa itu yang disebut keanekaragaman? Kata saktinya bukan hayati sebenarnya, tetapi keanekaragaman. Belum cukup mengatur soal jaringan ekosistem di luar hutan negara. Keanekaragaman pertanian gak masuk konteks kelembagaan kehati. Tumbuhan dan satwa liar tak dilindungi juga penting,” katanya.
Selain itu, kalau melihat konsep ekoregion di UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) mengamanatkan ada lansekap, tetapi hubungan pusat dan daerah belum muncul. Jadi, ekoregion penting diangkat.
Revisi UU ini, katanya, setidaknya, mempertimbangkan fleksibilitas pengelolaan kawasan konservasi dengan memperhatikan posisi dan persepsi masyarakat.
Rikardo Simarmata, akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada mengatakan, mengacu fakta lapangan, banyak masyarakat adat di kawasan konservasi mengalami pelarangan dan pengusiran. Orang masuk ke Taman Nasional dilarang.
“Ada pembakaran dan pembongkaran. Saya mesti mengingat kasus Taman Nasional Rawa Aopa beberapa waktu lalu. Itu dulu terjadi pembakaran dan pembongkaran pondok-pondok warga. Memang sebagian kawasan di zona inti. Itu menimbulkan korban jiwa, sampai penindakan hukum,” katanya.
Sisi lain, ada kelompok polhut, jagawana atau petugas lapangan mengakomodir masyarakat sekitar, seperti di Taman Nasional Gede Pangrango.
Sebenarnya, kalau konsep kawasan konservasi masyarakat diterima, ia bisa mengurangi kesenjangan.
Dalam draf revisi UU, katanya, penting mengadakan beberapa pertemuan serius mengundang multistakeholder dan ditanyai serius, seperti, polhut, jagawana, BKSDA dan orang lapangan lain.
“Jangan-jangan, selama ini yang diundang hanya pejabat kabupaten, provinsi atau akademisi. Coba kumpulkan petugas lapangan.”
Tak hanya itu. Revisi UU, penting mengakomodir putusan MK-35. Selama ini, ada anggapan putusan MK-35 tak perlu terakomodir dalam RUU karena dianggap lex specialist, bukan turunan UU Kehutanan.
Rikardo tak setuju dengan anggapan ini. Menurut dia, jika putusan MK-35 tak diakomodir dalam revisi, maka berpotensi melipatgandakan diskriminasi pada masyarakat adat.
“Putusan MK-35 juga berlaku pada kawasan konservasi. Ini didasarkan pada teori hukum, norma hukum dan administrasi implementasi hukum.”
Menurut pemikiran yang memandang hukum sebagai suatu sistem, katanya, antarelemen dalam sistem hukum harus padu. Ia mencakup norma dan kelembagaan hukum. Norma hokum, meliputi legislasi dan putusan pengadilan. “Sinkron mensyaratkan antarelemen tak saling berkontradiksi, sementara padu mensyaratkan suatu elemen tak boleh meniadakan daya berlaku elemen lain,” katanya.
UU Kehutanan dan Konservasi Hayati, katanya, merupakan elemen legislasi bidang kehutanan. Jadi, keduanya harus padu menurut pemikiran yang melihat hukum sebagai suatu sistem.
Banjar Y Laban, mantan Kepala Balai TN Lore Lindu periode 1999-2002 mengatakan, tak masalah penyatuan pola kawasan konservasi rakyat dan pemerintah. Rakyat, sebenarnya punya pola sendiri dalam menjaga hutan.
“Mereka punya sejarah, ada wilayah adat yang juga harus diakui.”
Jika masyarakat tak mengenal konservasi, tak akan bisa bertahan hidup, misal, ada budaya masyarakat adat menjaga hutan agar tetap lestari, kekayaan alam dijaga agar berkesinambungan.
Untuk itulah, dalam revisi dia usul, memasukkan konservasi sebagai perilaku masyarakat. “Juga jangan cepat membuat larangan. Harus ada pasal pembinaan.”
Dalam mengelola kawasan konservasi, katanya, ada beberapa hal bisa dimanfaatkan bersama dengan masyarakat tanpa mengubah bentang alam, ataupun merusak, seperti memanfaatkan pohon yang tak perlu ditebang, atau budidaya madu.
“Imbas kerjasama dengan masyarakat ini, meski kami kesulitan kekurangan personil polhut, tapi patrol tetap rutin berkat kerjasama dengan masyarakat sekitar.”
Dari pengalaman dia di TN Lore Lindu, banyak batu megalith. Keadaan itu, katanya, menunjukkan sejak lama ada masyarakat tinggal di situ. Jadi, diapun memutuskan dalam mengelola TNLR, dengan mengajak masyarakat sekitar. Pengelolaan dengan masyarakat ini, katanya, sebagai wujud pengakuan sejarah dan budaya masyarakat sekitar.
“Disana ada karakteristik masyarakat. Kita apresiasi. Kalau terlalu banyak intervensi, budaya mereka bisa punah. Kalau mereka diberi peluang seperti ecotourism, ini cukup bagus,” katanya.
Yafet Leonard Franky, Direktur Yayasan Pusaka mengatakan, kelahiran UU Kehati berhubungan dengan situasi Orde Baru. Penetapan kawasan konservasi sentralistik.
“Penetapan dengan mengingkari pengetahuan ataupun inisiatif masyarakat melakukan konservasi yang sudah berlangsung lama.”
Untuk itu, katanya, dalam revisi ini, penting mengingatkan, dalam masyarakat ada banyak pengetahuan soal konservasi. Konservasi ala negara, katanya, harus dikoreksi dengan memberikan pemahaman dan praktek masyarakat.
Seharusnya, reivisi bukan hanya berkaitan fungsi konservasi, juga penyamaan persepsi berbeda dalam norma yang diatur dalam UU lama.
Dia khawatir, revisi malah mengakomodir ‘investasi’ keterlanjuran baik pertambangan maupun usaha lain dan mengenyampingkan konservasi oleh masyarakat.
“Bukan sekadar menerima, seharusnya RUU ini bisa membahas problem terlihat. Pemerintah harus tegas mengevaluasi, audit lingkungan dan memberikan sanksi jika tak sesuai aturan.”
Tandiono Bawor, aktivis Perkumpulan HuMa mengatakan, konteks keterlanjuran perlu diatur. Penegakan hukum harus dikedepankan meskipun tantangan berat.