Di Hutan Pendidikan Seluas Ribuan Hektar Ini, Mahasiswa Dapat Belajar Keragaman Hayati Kalimantan

Pagi itu (23/07) rombongan kami menapaki jembatan sejauh dua ratus meter yang menjulur ke arah sungai Rakumpit. Meski secara administratif masih termasuk wilayah kota Palangkaraya, tetapi tanda-tanda khas kehidupan kota tak tampak. Akses listrik tiada, demikian pula jaringan seluler. Tak tampak pula pusat keramaian, kecuali beberapa warga yang sedang membersihkan perahu dan jala ikan hasil tangkapan.

Setiba di ujung jembatan kayu, terdapat beberapa kayu yang dipasang berdempetan berbentuk persegi. Semua rombongan naik ke atasnya. Armadiyanto, warga Mungku Baru dibantu beberapa mahasiswa segera menarik tali tambang yang terpasang di atasnya untuk dapat menyeberangi sungai Rakumpit.

Di seberang, sebuah mobil pikap milik perusahaan HTI PT Taiyoung Engreen sudah terparkir. Kami segera naik. Mobil melaju membelah jalanan putih berpasir yang mengantarkan kami menuju jalan terakhir menuju hutan pendidikan Kota Palangkaraya yang berjarak sekitar setengah jam dengan kendaraan roda empat.

Hutan Pendidikan Kota Palangkaraya ini luasnya 4.910 hektar, berbatasan langsung dengan perusahaan HTI PT Taiyoung Engreen. Tak jauh dari hutan pendidikan, juga terdapat hutan adat ulin Mungku Baru. Secara administratif, meski masuk Kota Palangkaraya lokasi ini berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas dan Pulang Pisau. Hutan ini dimiliki oleh Kota Palangkaraya, yang pengelolaannya dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMP).

“Keberadaan hutan pendidikan ini amat membantu kami. Dosen kami sering menyuruh kami untuk turun ke lapangan,” kata seorang mahasiswa jurusan Ilmu Kehutanan, Roy Rendra, yang ikut dalam rombongan kami.

“Dengan adanya hutan pendidikan ini, kami tak cuma belajar teori di kelas saja, tapi bisa praktik. Di dalam hutan ini lebat vegetasinya. Satwanya juga banyak. Saat penelitian orangutan yang lalu, kami temukan 12 sarang orangutan di pinggirannya saja,” jelas Roy.

Lebih lanjut bagi Roy pengalaman berharga selama beraktivitas di dalam hutan pendidikan adalah berinteraksi dengan banyak peneliti mancanegara. Banyak mahasiswa luar negeri yang tertarik untuk melakukan penelitian di dalamnya. Ada dari Kanada, Spanyol, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Australia dan lainnya.

Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, berada di Hutan Pendidikan. Mahasiswa asing dan Indonesia belajar di hutan ini. Foto: Indra Nugraha
Drs. Bulkani, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, berada di Hutan Pendidikan Palangkaraya. Mahasiswa asing dan Indonesia belajar di hutan ini. Foto: Indra Nugraha

Keberadaan peneliti asing di hutan pendidikan ini baru pertama kali ini terjadi. Mereka sudah dua minggu berada di dalam hutan dan akan meneruskan ekspedisinya di hutan tersebut selama satu bulan untuk mengidentifikasi habitat dan populasi flora fauna yang ada di dalamnya.

“Kami bisa belajar sekaligus berbagi ilmu dengan mereka, jadi kami semakin semangat, juga menumbuhkan kecintaan terhadap hutan Indonesia,” katanya.

Setelah berjalan sekitar dua jam melewati jalan setapak yang sesekali berliku dan sedikit menanjak, kami tiba di basecamp sederhana yang baru saja dibangun. Ada empat bangunan kayu yang atasnya tertutupi terpal. Ada kamar tidur untuk perempuan dan laki-laki yang terpisah, bangunan aula pertemuan dan sebuah dapur.

“Ini memang base camp sementara. Kedepannya kami akan membangun yang permanen. Untuk sementara ini cukup bagus karena ini merupakan ekspedisi pertama disini, tapi akan terus berlanjut. Untuk jangka panjang, penelitian dan ekspedisi akan dilakukan setiap bulan,” jelas Bernat Ripoll Capilla, co-Director Borneo Nature Foundation (BNF). Organisasi ini telah lama berkecimpung dalam penelitian primata dan satwa liar lainnya.

Capilla mengatakan, kawasan hutan pendidikan ini cukup istimewa dengan vegetasi yang sangat beragam. Sementara ketersediaan data mengenai habitat dan flora fauna di dalamnya masih sangat minim.

Kawasan hutan pendidikan ini kaya dengan ekosistem. Ada lowland forest, riparian forest, rawa gambut dan kerangas. Di dalamnya terdapat jenis pohon seperti agis, keruing, jenis-jenis pohon dipterokarpa serta jelutung. Pohon langka yang ada di hutan pendidikan diantaranya ramin, ulin, mahambung. Bahkan, pohon alau yang dianggap sudah punah ternyata di kawasan hutan pendidikan ini masih banyak.

Satwa liar yang ada disana juga beragam. Untuk jenis burung berdasarkan penelitian OUTROP tahun 2010, kawasan ini memiliki keragaman burung tertinggi di seluruh Kalimantan, yaitu sekitar 200 jenis. Jenis-jenis satwa endemik pun ada, seperti macan, kucing hutan, kelasi, bekantan, owa hingga orangutan.

“Di kawasan ini belum ada publikasi yang cukup. Hanya sedikit informasi tentang habitat dan satwa liar,” ujar Capilla.

Menurutnya, pihak BNF telah bekerjasama dengan UMP sejak 2015 di Hutan Pendidikan ini. Termasuk melakukan supervisi kepada mahasiswa UMP dalam membuat dan menuliskan jurnal saintifik.

Selain melakukan penelitian dan identifikasi flora fauna dan potensi lainnya di hutan pendidikan, Capilla mengatakan, pihaknya kini sedang merintis survey di sepanjang kawasan DAS Rungan hingga Kahayan yang luasnya 100 ribu hektar, yang terbentang dari Palangkaraya sampai Gunung Mas.

“Priotasnya menghitung jumlah populasi orangutan di kawasan Rungan. Karena belum ada informasi yang lengkap. Selain populasinya, juga identifikasi keterancamannya dan solusinya,” jelasnya. Ia memprediksi jumlah populasi orangutan di sepanjang DAS Rungan hingga Kahayan ada sekitar dua ribu individu.

Selama ini perhatian publik mengenai orangutan di Kalteng hanya terfokus pada populasi yang ada di Taman Nasional saja, seperti TN Sebangau ataupun Tanjung Puting. Sementara yang ada di sepanjang DAS Rungan-Kahayan masih luput dari perhatian publik dan masyarakat. Padahal, daerah itupun penting mendapat perhatian.

Rektor UMP, Drs. Bulkani, M.Pd pun menyebutkan hutan pendidikan ini sangat ideal sebagai tempat belajar. Dia pun mendukung jika riset kolaboratif dan kerjasama dapat dilakukan di tempat ini.

“Kami memiliki MOU dengan lembaga nasional dan internasional.  Ada MOU dengan beberapa perguruan tinggi luar negeri, termasuk penelitian bersama tentang konservasi dan manajemen hutan.  Juga dalam konteks budidaya hutan,” jelas Bulkani. “Ini jelas membantu, karena mereka punya akses publikasi di tingkat internasional.”

Riset kolaboratif diakui oleh Siti Maimunah, Dekan Fakultas Pertanian dan Kehutanan UMP sebagai satu cara untuk meningkatkan kemampuan para peneliti. “Semua dilakukan secara kolaboratif, dalam setiap publikasi, lembaga kita pun dicantumkan,” jelasnya.

Seorang mahasiswa kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya sedang mencatat data harian yang diperoleh. Foto: Indra Nugraha
Seorang mahasiswa kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya sedang mencatat data harian yang diperoleh. Foto: Indra Nugraha

Perjalanan Terbentuknya Hutan Pendidikan

Siti mengatakan, awal terbentuknya Hutan Pendidikan Kota Palangkaraya adalah tahun 2011, saat Menteri Kehutanan kala itu Zulkifli Hasan, bertandang ke kampus UMP. Menteri menjanjikan akan memberikan kawasan hutan pendidikan bagi kampus tempat Siti mengabdi.

“Saat itu pak Zul meminta Gubernur dan Walikota mengalokasikan kawasan hutan pendidikan. Kami tindaklanjuti dengan membuat permohonan kepada Walikota. Waktu itu arahan dari Walikota di utara atau selatan. Tapi kalau di selatan otomatis akan berbatasan dengan TN Sebangau, takut ada overlapping. Akhirnya diarahkan ke utara berbatasan dengan Gunung Mas,” katanya.

Survey hutan pendidikan pertama kali dilakukan pada tahun 2012 ditemani oleh warga Mungku Baru. Hasilnya kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sehingga dianggap layak untuk dijadikan hutan pendidikan.

“Setelah survey, kami mintakan pertimbangan teknis Gubernur.  Kemudian turun memo yang merekomendasikan kawasan itu yang lalu kami ajukan ke Kemenhut. Kami diminta untuk membuat presentasi tujuan hutan pendidikan. Paparan dilakukan tahun 2013.”

Surat Keputusan pun turun pada Juli 2014 bernomor 611/menhut-II/2014. Siti mengatakan, kawasan Hutan Pendidikan berfungsi untuk arboretum, konservasi flora fauna, tata guna air, silvikultur, daerah tangkapan air termasuk untuk praktek agroforestri bagi mahasiswa. Di dalam SK dinyatakan bahwa hutan pendidikan ini dimiliki oleh Kota Palangkaraya, tapi pengelolaannya boleh dilakukan oleh UMP.

Dalam mengelola hutan pendidikan, Bulkani mengatakan, UMP memiliki konsep agar hutan pendidikan dapat memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat sekitar termasuk meningkatkan taraf ekonomi. Dengan demikian, akan menghindari pergesekan kepentingan dengan masyarakat sekitar.

“Kalau camp permanen disini selesai dan banyak peneliti asing masuk ke sini, maka masyarakat akan banyak terlibat, seperti penyediaan transportasi dan penyiapan makanan. Itu saya kira lebih bermakna bagi mereka daripada sekedar menebang kayu. Masyarakat nanti juga dapat turut membantu penelitan dan pengembangan jasa pemanduan dan ekowisata,” katanya.

Capalli, Co Director Borneo Nature Foundation (BNF), organisasi yang sering melakukan penelitian satwa liar di Kalimantan pun melakukan studi di hutan pendidikan ini. Foto: Indra Nugraha
Bernart Capilla, Co Director Borneo Nature Foundation (BNF), organisasi yang sering melakukan penelitian satwa liar di Kalimantan pun melakukan studi di hutan pendidikan ini. Foto: Indra Nugraha

Armadiyanto atau Edo, seorang warga Mungku Baru membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan pendidikan sudah sangat bagus. Ia menjamin masyarakat tak ada yang melakukan pengrusakan di dalam kawasan hutan pendidikan.

“Sekarang sudah terbentuk tim serbu api termasuk di tingkat Kecamatan. Masyarakat juga sudah tahu bahwa orangutan dan burung-burung itu dilindungi. Masyarakat disini juga ikut menjaga satwa-satwa itu,” jelasnya.

Tahun ini, Edo yang meskipun usianya sudah tak muda lagi, mendapatkan kesempatan untuk kuliah di UMP. Pihak kampus memberikan beasiswa kepada dirinya. Ia akan masuk jurusan Ilmu Kehutanan. Hal ini dilakukan pihak kampus dalam rangka mencerdaskan warga sekitar.

Menurut Siti, timnya telah merancang berbagai skema yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Masyarakat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu seperti damar, rotan, tanaman obat dan lainnya.  Pihaknya akan membantu pemasaran produk hutan bukan kayu ke produsen yang membutuhkan.

Bekerjasama dengan BKSDA, pihak kampus mulai melakukan konservasi eksitu dan insitu berbagai jenis anggrek dan kantung semar. Menurut Siti, penyuluhan pun dilakukan agar masyarakat makin menyadari kekayaan hayati yang ada.

Siti juga merancang sistem tumpang sari di dalam kawasan hutan pendidikan. Masyarakat diberi akses menanam di area lahan yang rusak. Berdasarkan survey, terdapat sekitar 200 hektar lahan yang ditargetkan sebagai zona agrofestri yang dapat dikelola masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan tanpa perlu lagi menebang pohon yang ada.

“Sudah ada sekitar 20 orang petani yang siap mengelola. Sejak awal tahun ini kami juga sudah ada MoU dengan PT Sido Muncul untuk menampung hasil tumpang sari masyarakat,” jelas Siti menerangkan kerjasamanya dengan perusahaan jamu ternama tersebut.

Imbas dari kerjasama yang terjalin apik dengan masyarakat sekitar dalam menjaga kawasan hutan pendidikan itu, menurut Siti terbukti kala kebakaran hebat melanda Kalteng tahun lalu. Kawasan Hutan Pendidikan justru aman karena para pihak turut bahu-membahu menjaga kawasan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,