Pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan terhadap Tosan, dua petani dan aktivis penolak tambang di Desa Selok Awar-Awar, merupakan peristiwa dari fenomena gunung es kemelut panjang tambang pasir hitam di Lumajang.
Duapuluhenam September 2015. Pagi itu, pukul 6.00, Salim Kancil sudah selesai mandi. Dia mengenakan jaket abu-abu dan celana panjang krem. Cucunya, berusia lima tahun, Yus Helmi Ananta, juga sudah bangun tidur. Keduanya bermain di halaman rumah.
Sang istri, Tijah, membuatkan kopi untuk Salim. Tiga puluh menit berselang, dia bersiap mencari rumput ke ladang. Dia berpamitan kepada Salim, yang sedang bermain dengan cucu.
Rencananya, hari itu, dia bersama puluhan warga akan aksi damai menolak tambang di Jalan Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka akan menghentikan truk galian tambang. Mereka ingin menyampaikan bahwa, pertambangan sudah dihentikan kepala desa 9 September 2015.
Sekitar pukul 7.00, Salim mengajak anaknya, Dio Eka Saputra, ikut ke rumah Ichsan—juga warga penolak tambang–, untuk membahas rencana aksi. Pukul 7.40, mereka berangkat bersepeda motor.
Baru sekitar 50 meter dari rumah, Salim melihat sekelompok orang—dikenal dengan tim 12— datang dari arah selatan. Dia memutar balik sepeda motor kembali ke rumah.
Setelah memarkir motor, dia meminta Dio lari ke belakang rumah. Kehadiran Salim disambut oleh cucu. Salim seketika menggendong sang cucu dan membawa ke rumah.
Kala berbalik badan, pukulan Ehsan dan Madasir dengan tangan kosong mendera. Tejo mendekap tubuh Salim, tangan diikat Madasir menggunakan tali tambang.
Salim dinaikkan ke sepeda motor oleh Madasir. Diapit Basri. Dia dibawa ke Balai Desa. Melihat sang ayah dibawa gerombolan itu, Dio berusaha mengejar. Dia dibentak dan dilempari batu oleh salah satu pelaku yang tak dia kenal.
“Jangan ikut-ikut kamu!” hardik salah seorang pengeroyok kepada Dio.
Dio berlari mengabarkan peristiwa ini ke ibunya di ladang.
Sehari sebelumnya, Salim mengajak Dio ke sawah. Sawah mereka rusak karena tambang pasir. Salah satu pelaku dari tim 12, bicara di dekat Dio—kala itu sedang mencari ikan dan kepiting.
Mereka bilang, kata Dio, akan membunuh Salim besok.
“Esuk tak pateni kowe Lim (Salim),” kata seorang preman, diulangi Dio.
Dio tak menganggap ancaman ini serius hingga tak menyampaikan kepada ayahnya. Dia pun sudah biasa mendengar teror kepada sang ayah, dari ancaman pukul sampai bunuh karena menolak penambangan pasir hitam di desa mereka.
***
Jarak antara rumah Salim dengan Balai Desa, sekitar dua kilometer. Kala menggunakan sepeda motor, sekitar lima menit.
Khosidah, Seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Desa Selok Awar-Awar pagi itu ada di Balai Desa. Dia melihat Salim dipukuli berkali-kali menggunakan bambu dan kayu. Salim dicelurit berkali-kali. Dibacok dengan golok. Salim tak juga mati.
Dia melihat para pelaku merebahkan tubuh Salim, menggorok leher menggunakan gergaji kayu, tak juga berhasil membunuhnya.
Seorang pelaku menyetrum tubuh Salim menggunakan kabel listrik disambungkan ke sakelar listrik di Balai Desa. Salim masih hidup.
Menurut Ida, massa pengeroyok Salim sekitar 30-40 orang. Dia tak mengenali satu per satu karena saat itu sangat ricuh.
Dia lari menyelamatkan murid PAUD yang keluar dari Balai Desa.
“Anak-anak menangis dan menjerit,” kata Ida.
Cerita Ida, serupa dengan keterangan pelaku di persidangan, Maret 2016, di Pengadilan Negeri Surabaya. Pada pukul 8.30 pagi, dari Balai Desa, massa membawa Salim Kancil ke pemakaman dekat lapangan desa.
Di pemakaman, Salim kembali dipukuli menggunakan bambu dan kayu oleh Tejo. Kepala dipukul pakai cangkul, dicelurit Basri. Salim roboh, tak sadarkan diri.
Para pelaku mengira Salim mati. Mereka meninggalkan Salim terbaring di jalan makam.
Baru sekitar 50 meter, Salim bangun. Dia sadarkan diri. Dia berdiri, berusaha lari. Seorang pelaku melihat dan berteriak kepada yang lain.
Para pelaku kembali menghajar Salim. Saat itu, Madasir masuk ke pemakaman, mengambil batu nisan, memukulkan ke kepala Salim. Kepala Salim meneteskan darah. Melihat Salim bisa berdarah, Madasir memukul berkali-kali. Akhirnya Salim tewas sekitar pukul 8.40 pagi.
Dia mati dibunuh tim 12 lebih 40 orang. Otak pembunuhan, Haryono, Kepala Desa Selok Awar-awar.
“Kami ikhlas Salim mati, karena membela kebenaran. Tak rela jika para pelaku dihukum ringan,” kata Tijah.
***
Pada April 2016, saya bertemu Tijah, di kediamannya. Berkaos dan celana pendek. Rambut panjang keriting dan terkucir. Dia duduk di ruang tamu, bersandar ke tembok.
Foto almarhum Salim Kancil dipajang di ruang tamu. Berukuran 40×80 centimeter. Ike Nurlilah, anak perempuannya, sedang menonton televisi. Dio baru pulang bermain.
Di halaman depan rumah, spanduk dan papan karangan bunga masih terpampang.
Di samping kanan rumah tampak kandang kambing dari kayu. Dua kambing mengembik memakan rumput.
Tijah bercerita, Salim sehari-hari bertani dan buruh tani. Satu setengah tahun sebelum tewas, Salim punya enam petak sawah di Pesisir Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-Awar.
Tanpa ada izin dan pemberitahuan, tiba-tiba dua petak sawah rata jadi tanah oleh kepala desa. Berdalih akan jadi jalan wisata, berubah menjadi jalan dumptruck dan alat berat mengeruk pasir di bibir Pantai Watu Pecak.
Sejak itu, Salim kehilangan lahan bertani. Begitu juga beberapa petani lain. Dari kerusakan itu, Salim satu kali diberi uang ganti rugi Rp1 juta oleh Haryono.
“Pantai yang semula indah kini rusak. Dulu sekali panen dapat 25 karung gabah,” kata Tijah.
Ketika saya ke sawah milik Salim Mei 2016, lahan tak tergarap. Petakan sawah terisi ilalang dan air. Banyak lubang-lubang besar bekas tambang di pesisir pantai. Hanya belasan orang terlihat mancing ikan.
Sejak kepergian Salim, Tijah dan Ike menjadi tulang punggung keluarga. Keduanya dibantu Dio, sehari-hari mencari pakan sapi dan kambing.
Walaupun rumah pembunuh suami persis berada di depan rumah, dia tak menyimpan dendam. Dia sudah merelakan kepergian Salim. Tijah juga tak peduli lagi sisa petakan sawah kelolaan Salim.
“Hukum mati para pelaku. Itu saja,” harap Tijah.
***
Duapuluhenam September 2016, hari sama, Tosan, kerabat Salim, mengalami penyiksaan serupa. Dia lebih dulu dianiaya tim 12 atas perintah Haryono.
Pukul 5.00 pagi, Tosan sudah berdiri di depan rumah. Setiap hari, jalan aspal selebar tiga meter di depan rumah dilewati sedikitnya 500 truk pengangkut pasir besi dan bebatuan.
Tosan menghentikan truk-truk ini. Selembar kertas berisi keputusan penghentian pertambangan pasir besi di Pesisir Desa Selok Awar-Awar, ditandatangani Kepala Desa Haryono, dia berikan kepada supir truk.
“Mohon berhenti dulu. Tolong kertas ini nanti dibaca. Saya sampaikan sejak 9 September 2015 penambangan di pesisir sudah dihentikan dan dilarang,” kata Tosan, mengulangi perkataan kepada para supir, ketika saya temui 19 April lalu.
Pukul 6.00 pagi, Tosan menelpon Imam, sesama penolak tambang pasir. Tosan meminta Imam segera datang ke rumahnya. Dia mengajak Imam berangkat bersama-sama aksi damai menolak tambang pasir ke Balai Desa.
Pukul 6.30, Imam sampai di rumah Tosan. Dia berangkat dari rumah berjalan kaki. Waktu itu, Tosan sedang memanasi mesin motor di teras rumah. Imam duduk di ruang tamu rumah Tosan. Keduanya membagikan selebaran kepada para pengemudi truk yang melewati depan rumah.
Pukul 7.00, Parman, anggota tim 12 tiba-tiba berhenti di depan rumah Tosan. Dia mematikan mesin sepeda motor, dan parkir. Lalu berteriak marah kepada Tosan.
“Kenapa kamu mau demo kepala desa! Kalau kamu mau demo kepala desa, lawan saya dulu,” ujar Imam menirukan ucapan Parman.
Tosan tak tahu jika Parman marah dan membentak dia. Tosan di dalam rumah. Ketika keluar Imam bertanya kepada Tosan.
“Siapa yang minum kopi ini? tanya Imam.
“Saya,” kata Tosan.
Barulah Tosan mendengar Parman marah-marah. Dia mengira Parman bertengkar dengan orang lain, ternyata kepadanya.
“Ada apa Pak? Jika ada saya omong keliru mohon maaf,” kata Tosan.
Tosan hanya mendengar dari kejauhan, dia akan dibunuh.
“Tak carok sampean,” kata Parman.
Parman pergi ke utara. Menaiki sepeda motor dan pergi menuju ke arah rumah Madasir. Berselang 10 menit, sekitar pukul 7.10, Parman kembali bersama 40 orang lain. Mereka menghampiri rumah Tosan mengendarai 20 sepeda motor.
Ketika itu Tosan membasuh tangan. Dia dipukul bergantian. Celurit menghantam badan, kepala, tangan hingga leher.
Imam cerita, rombongan massa dipimpin Ehsan, anak kandung Madasir. Mereka datang dari utara rumah Tosan. Ehsan jadi orang pertama menghampiri Tosan di depan rumah.
Tanpa basa-basi, Ehsan langsung memukul Tosan menggunakan tangan kosong. Melihat Ehsan memukul Tosan, Tinarlab dan Misto, pelaku lain, ikut memukul Tosan. Madasir ikut memukul dari belakang. Tomin dan Buri langsung membacok kepala Tosan pakai celurit.
Tejo, dan Ari, memukul Tosan pakai bambu sekitar satu meter. Bambu disiapkan di motor. Basri memukul pakai cangkul. Sukit membacok Tosan pakai golok.
Ketika pengeroyokan Tosan, Imam sempat melihat salah seorang anggota Babinsa berdiri di seberang jalan depan rumah Tosan. Anggota ini di lapangan tempat Tosan dianiaya massa. Dia hanya diam. Tak melerai.
“Hanya melihat. Diam saja,” kata Imam.
Melihat Tosan dikeroyok, Imam lari ke belakang rumah, berusaha mencari pertolongan dari warga lain. Di belakang rumah, Imam dihadang sekitar 10 orang dipimpin Buri. Dia bersembunyi di rumah Rohim, dekat lapangan, belakang rumah Tosan.
Tosan berkali-kali dipukul, dicelurit, dibacok, bahkan dicangkul kepala tak apa-apa. Tosan berlari ke belakang rumah, meminta tolong warga lain. Tosan melihat rumah warga dengan pintu belakang terbuka. Tosan masuk dan menutup pintu.
Sekitar 15 menit di dalam rumah, Tosan bertanya ke orang rumah.
“Kemana para preman atau tim 12 itu,” tanya Tosan.
“Sudah pergi jauh,” kata pemilik rumah.
Dia keluar dari pintu belakang. Pemilik rumah segera menutup pintu dan mengunci. Tanpa disangka, para pelaku berkumpul di belakang rumah.
Tosan berlari kencang, ke lapangan. Dia melihat anak mengendarai sepeda onthel. Dia pinjam dan segera mencari pertolongan.
Menaiki sepeda, Tosan terjatuh. Dia ditabrak sepeda motor, di lapangan desa. Imam melihat Tosan dari rumah Rohim. Tiba di depan lapangan, sepeda Tosan ditabrak motor Siyo. Tosan terjatuh.
Ketika jatuh, Tosan dipukuli lagi pakai bambu dan kayu oleh massa. Tubuh Tosan dilindas motor empat kali oleh Ehsan dan Siyo. Melihat ini, Ridwan, warga yang rumah dekat kejadian berusaha mengusir massa.
“Atas perintah Madasir, massa berjalan ke utara menuju rumah Salim Kancil,” kata Ridwan.
Tak lama berselang, sekitar dua menit setelah pelaku pergi, istri Tosan, Ati Hariyati datang. Barulah, sekitar pukul 7.40, polisi datang.
Ridwan mengatakan, ada empat anggota Polsek Pasirian datang. Imam dan Ridwan dibawa ke Polsek Pasirian mencari aman dari ancaman pembunuhan tim 12.
Tosan dan istri dibawa ke rumah sakit. Lambung Tosan pecah, bagian kepala robek. Nyawa Tosan bisa selamat.
Tosan, sehari-hari petani dan pedagang pepaya. Sejak 1,5 tahun lalu, bersama beberapa kawan termasuk Salim, mereka menolak tambang pasir.
Operasi tambang ini bikin jalan aspal desa berlubang dan rusak, termasuk jalan depan rumah Tosan. Dinding rumah warga retak. Mereka menolak, menyurato dari kepala desa hingga Gubernur Jawa Timur.
“Penolakan ini untuk menghentikan dampak tambang yang banyak merugikan,” ucap Tosan.
Tambang bikin rusak lingkungan seperti sawah, gumuk pasir hilang, keindahan pantai, dan ekosistem pantai rusak. Ruas jalan aspal desa juga berlubang dan becek karena lalu lalang dumptruk angkut pasir basah yang meneteskan air asin ke jalan.
“Walaupun perut saya robek dan Salim Kancil mati, perjuangan saya menjaga pesisir akan terus berlanjut. Supaya terhindar dari bencana,” kata Tosan.
Di rumah, dia tinggal bersama istri. Dia punya tiga anak: Rumlatul Zannah, putri sulung, sudah berkeluarga dan memiliki satu anak. Anak kedua, M Ridho, baru lulus SMA. Anak bungsu, Fajar, Kelas V SD.
“Tak ada pertambangan di pesisir pantai, sudah Alhamdulillah.”
Pembunuhan berencana
Pembunuhan terhadap Salim Kancil, dan penganiayaan Tosan, ternyata sudah direncanakan para pelaku sejak 25 September 2015.
Saat itu, Jumat malam, 25 September 2015, tim 12 dan kades menyusun rencana membunuh Salim dan Tosan. Rencana pembunuhan di salah satu Pondok Pesantren milik Kyai Huri, di sebelah selatan terminal Probolinggo, Jawa Timur.
Berdasarkan keterangan terdakwa dan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP), Haryono dan Madasir, dijelaskan, 25 September 2015, pukul 19.00, pertemuan di rumah kepala desa dihadiri Tim 12 dan Paguyuban Pendukung Tambang diketuai Madasir.
Tim 12, sebutan tim pemenangan ketika Haryono mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Selok Awar-Awar.
Di pertemuan ini, membahas upaya unjuk rasa tandingan. Selang 15 menit, Babinkamtibmas Polsek Pasirian yakni Aipda Sigit dan Babinsa mendatangi pertemuan. Keduanya memberikan penjelasan dan melarang kepala desa dan Tim 12 unjuk rasa tandingan.
Berdasarkan keterangan Sigit, setelah dilarang aksi tandingan, Tim 12 dan kades bersepakat mengadakan kerja bakti. Rupanya, “kerja bakti” adalah kata sandi untuk eksekusi terhadap Salim dan Tosan.
Sekitar pukul 21.00, Madasir, pimpinan tim 12 mendatangi Asnawi. Dia mengajak Asnawi mengikuti pertemuan di Probolinggo bersama kades dan tim 12. Asnawi diajak karena mantan kepala dusun. Dulu tim sukses Haryono.
Dari keterangan Asnawi, menolak ikut karena merasa ada yang tidak beres dengan pertemuan itu. Akhirnya, Madasir pulang mempersiapkan keberangkatan 12 orang lain ke Probolinggo.
“Saya menolak, karena pertemuan di Probolinggo sangat mengherankan,” kata Asnawi.
Di tempat berbeda, Gus Namin, seorang tokoh agama di Kecamatan Wotgalih, Lumajang, mengatakan, dua orang santri berpamitan untuk berangkat ke Probolinggo. Katanya, ada pertemuan bersama Kades Selok Awar-Awar.
Gus Namin sudah melarang kedua santri ikut, tetapi mereka memaksa berangkat. Gus tak tidak mengetahui apa isi pertemuan di Probolinggo. Kedua santri tak mengatakan apapun.
Pukul 21.15, Asnawi bersama tiga warga desa, melihat empat mobil ditumpangi tim 12 dan kades berangkat dari Balai Desa. Keempat mobil menuju utara, arah jalan keluar desa.
Mereka pakai Nissan Evalia, Suzuki Ertiga, Kijang LGX Isuzu Elf.
“Kaca mobil ditutup rapat. Keberangkatan rombongan ke Probolinggo dana kades, dari uang hasil penjualan pasir kades,” kata Tosan. Ini berdasarkan keterangan pelaku di pengadilan.
Malam sama, Abdul Hamid, warga Desa Selok Awar-Awar mengatakan, sekitar pukul 21.00, dia bersama Salim, Tosan, dan tujuh orang lain ke rumah kyai di Wotgalih, Lumajang.
Mereka meminta doa kepada kyai, karena keesokan hari akan demonstrasi di balai desa. Saat di jalan menuju Wotgalih, Hamid merasa rombongan diikuti beberapa orang tak dikenal.
“Orang yang menguntit kami itu mampir ke rumah Kades Wotgalih,” kata Hamid.
Sesampainya di rumah sang kyai, entah secara kebetulan atau tidak, rombongan Hamid berjumpa anggota Brimob. Hamid tak sempat berkenalan dengan Brimob ini.
Setelah bercerita panjang lebar mengenai rencana demonstrasi esok hari, rombongan kembali ke desa. Anggota Brimob ini ikut berpamitan, setelah sempat mendengarkan panjang-lebar mengenai rencana demonstrasi Salim cs.
“Kami pamit ke kayi lalu pulang. Anggota brimob juga pamit.”
***
Langit masih gelap. Ketika itu, pukul 5.00 pagi, warga sedang sibuk berbelanja di pasar. Tampak Tim 12 justru berkumpul di rumah kades dan mempersiapkan senjata untuk membunuh Salim dan Tosan.
Saat itu, tetangga Tosan, Bi, berpapasan dengan Basri, pembunuh daan penganiaya Salim dan Tosan.
Basri naik sepeda motor membawa cangkul, menuju rumah kades. Saat itu, dia pulang ke rumah dari belanja di pasar.
“Saya kira waktu itu mau ada kerja bakti membetulkan jalan raya, kok saya melihat Basri bawa cangkul ke utara,” katanya.
Dia juga melihat Tejo. Tejo bersepeda motor membawa bambu ke arah rumah Madasir.
Keterangan ini diperkuat Di, tetangga Madasir.
Dia melihat sekitar 40 orang menggunakan 20 sepeda motor berkumpul di rumah kades.
“Waktu itu saya kira mau ada acara desa, karena mereka bawa alat-alat kerja.”
Alat-alat kerja yang dimaksud seperti cangkul, celurit, bambu, dan parang. Alat-alat ini dibawa para pelaku pembunuhan sejak dari rumah.
Dia melihat Madasir berbicara kepada 40 orang ini, seperti memberikan arahan. Orang-orang ini berkumpul sekitar 10 menit, sebelum berangkat bersama-sama ke Balai Desa.
Pukul 6.00 pagi, mereka berkumpul di Balai Desa, sebelum berangkat ‘kerja bakti’ ke Tosan dan Salim Kancil.
“Otak pelaku kades dan Madasir,” kata Tosan.
***
Penambangan pasir besi di Watu Pecak Desa, Selok awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, mulai 2014. Pertambangan warga ini diketuai Haryono, Kades dan Madasir Ketua Tim 12, paguyuban pendukung penambangan dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).
Penambangan telah memberikan dampak kerusakan kawasan pesisir di Pantai Watu Pecak, merusak jalan desa, lahan pertanian dan polusi udara.
Salim dan Tosan cs menolak. Berbagai upaya mereka lakukan menghentikannya tambang ini.
Pada 29 Juni 2015, Tosan mengirimkan surat kepada Camat Pasirian, dijabat Abdul Basar, berisi permintaan penutupan tambang di Selok Awar-awar, Pasirian. Juga meminta penarikan alat berat dan segala macam alat tambang di semua bibir pantai. Tosan juga mempertanyakan aliran uang hasil tambang.
“Uang hasil tambang tak berdampak kemajuan desa.”
Camat Pasirian hanya menjelaskan kepada Tosan akan berkoordinasi dulu dan memanggil Haryono maupun Madasir.
Basar menanyakan tambang pasir, Haryono berdalih, pengerukan bukan buat penambangan pasir tetapi mengelola dan membentuk desa wisata Selok Awar-awar.
Basar menyampaikan kepada Tosan. Dia menyarankan, mediasi setelah hari raya Idul Fitri, sekitar Agustus.
Tosan cs yakin, kegiatan di pesisir itu penambangan pasir besi. Wisata hanya kedok.
“Mana mungkin wisata kok pakai alat berat, mengeruk pasir. Jika wisata tak akan rusak pesisir,” kata Tosan.
Dia tak bisa menerima penjelasan camat.
Tak perlu lama membuktikan kecurigaan Tosan cs. Pada Agustus, pertambangan makin luas dan merusak keindahan pesisir.
Lubang-lubang besar galian sedalam puluhan meter menganga begitu saja. Sawah-sawah petani berulang kali terendam air laut. Jalan-jalan desa rusak dan berlubang.
Akhirnya, September Tosan mengirim surat ke Polsek Pasirian untuk aksi damai menolak penambangan pasir besi.
Surat dinilai kurang lengkap oleh Kapolsek Pasirian, kala itu Sudarminto. Kapolsek memerintahkan anak buah, Sigit memberikan penjelasan tentang surat izin unjuk rasa.
Pada 5 September 2015, Tosan mengantarkan surat untuk unjuk rasa pada 9 September.
Pada 8 September 2015, sekitar pukul 13.00, diadakan pertemuan di Kantor Camat Pasirian. Rapat itu dihadiri antara lain Abdul Basar, Camat Pasirian; Sudarminto, Kapolsek Pasirian; Haryono, Kades Selok Awar-awar; Madasir, Ketua LMDH dan tim 12; Serma Abdul Gofur, Koramil Pasirian. Lalu, Totok S, Perhutani, IPDA Hariyanto, Kanit Pidsus Polres Lumajang, Hanafi, Pendamping LMDH. Juga Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-Awar yaitu Tosan, Salim Kancil, Iksan Sumar, Si Sapari, Ansori, dan Abdul Hamid.
Pertemuan tak menghasilkan kesepakatan apapun. Hanya ada perkataan Madasir, apabila tambang ditutup akan ada pertumpahan darah.
Usaha menggelar aksi damai tak surut. Sadar ada ancaman pembunuhan, setiap pukul 14.00, Tosan duduk di depan rumah. Dia berikir jika dibunuh, banyak orang tahu dan pelaku dihukum.
Pada 8 September 2015, Camat Pasirian mengajak Tosan berbicara empat mata.
“Pak Tosan katanya sampean mau tutup tambang. Kapan?” kata Tosan mengulangi perkataan camat.
“Jika ada waktu sekarang, saya tutup,” jawab Tosan.
“Tapi karena sudah sore besok saja.”
“Tidak ada jalan lain Pak Tosan?” tanya camat lagi.
“Bisa saja, asalkan Pak Kades mau tutup tambang,” jawab Tosan.
Sehabis pembicaraan, Tosan diminta keluar ruangan. Saat itu, ada pertemuan tertutup camat, Danramil, Kapolsek dan kades.
Sekitar satu jam lebih pertemuan, camat panggil Tosan lagi.
“Tak bisa Pak Tosan Pak kades tutup tambang,” kata camat.
“Jika Pak Tosan bisa tutup tambang, mau dicium kaki. Jika ditutup tambang, ada tumpah darah di Selok.”
Tosan kecewa.
Niat menghentikan pertambangan makin besar.
Bermodalkan Rp20.000 untuk mengurus izin ke kepolisian dan membeli kertas putih perangkat aksi. Rabu pagi, 9 September 2015, Tosan memberitahukan camat untuk aksi damai di depan rumah dengan cara menghentikan mobil atau truk pengangkut pasir. Dia memberikan kertas ukuran folio bertuliskan, “Tolong Jangan Digali Lagi.”
Tosan marah. Ketika Kapolsek Pasirian di lokasi, hanya melampaikan tangan dan tersenyum, melihat para sopir truk pengangkut pasir melewati rumahnya.
“Ada pencuri tanah negara, sampean cuma senyum dan melampaikan tangan. Sampean tak punya hati nurani, tak pantas jadi polisi,” kata Tosan.
“Yang kami perjuangan tanah negara yang dicuri. Kami anak Negara.”
Seketika Kapolsek pergi. Dua jam kemudian, kapolsek, camat dan danramil ke rumah Tosan. Mereka membaca surat Kades Selok Awar-awar berisi, mulai 9 September 2015, semua pertambangan di Pesisir Pantai Watu Pecak, setop.
Tosan cs senang. Mereka bersalaman dengan para pejabat ini.
Kelegaan Tosan cs hanya hitungan jam. Pada 10 September 2015, 30 orang datang ke rumah Tosan. Mereka tim 12 dan LMDH diketuai Madasir. Mereka marah, mengancam membunuh Tosan.
Tosan bersegera lapor Kapolsek Pasirian. Laporan tak diterima, pukul 19.00, dia diminta ke Polres Lumajang untuk melapor dan dimintai keterangan Berita Acara Pemeriksaan serta ) mendapatkan tanda bukti lapor.
“Laporan saya selesai hingga pukul 2.00 11 September 2015.”
Tosan memperbanyak surat pernyataan kades tentang penutupan pertambangan. Dia memfotocopy dan membagikan ke warga desa.
Kelegaan Tosan cs tak berlangsung lama. Pada 15 September 2015, penambangan buka lagi. Sontak Tosan dan Salim pada 23 September 2015 melaporkan ke Camat Pasirian bahwa akan aksi damai 26 September 2015. Hari itu, berujung upaya pembunuhan Tosan dan Salim. Salim tewas.
Hingga kini, Tosan kecewa terhadap kepolisian Lumajang. Puluhan laporan pertambangan ilegal, hingga ancaman pembunuhan taka da respon. Kalau kapolres becus, tentu ada repon laporan 11 September 2015 dan menangkap pelaku. Itu tak terjadi…
Tosan juga kecewa kepada Camat Pasirian ketika tambang buka lagi.
“Sampean kok bisa jadi titipan dan ngikuti perintah kades. Sampean itu berat jabatan apa sogokan? Surat penutupan yang sampean berikan, kok sekarang dibuka lagi,” kata Tosan, kala itu.
Tosan melihat, kepolisian dan aparat kecamatan mendukung pertambangan ilegal.
“Di Lumajang, polisi gendeng. Masih banyak pelaku pembunuh saya belum ditangkap,” katanya.
Dia bahkan sudah melapor kepada Bupati Lumajang, As’at Malik, akhir tahun 2015. Dia menyampaikan, pasir besi jangan keluar Lumajang.
“Menambang pasir harus pakai alat manual.”
Kala itu, Bupati menyatakan, pasir Lumajang jangan sampai keluar. Tosan diminta membina anak muda membuat batako.
“Supaya yang keluar dan dijual bukan barang mentah, namun olahan, harga jual lebih tinggi, tenaga kerja terserap tinggi.”
Pengamatan Tosan, dalam 24 jam di Selok Awar-awar, lebih 500 truk keluar dari pesisir. Kalikan Rp400.000 /truk, ada sekitar Rp200 juta pemasukan dana penjualan pasir besi. Uang masuk ke kantong kades. Rakyat mendapatkan kerusakan.
“Berulang kali saya ditawari uang agar tak menuntut tambang ditutup Saya tolak. Alam terjaga untuk masa depan anak cucu lebih penting dari uang.” Bersambung