Perlindungan Hak Masyarakat Adat, Baru Janji Manis?

Sembilan Agustus  diperingati sebagai Hari Masyarakat Adat Dunia. Semestinya, ini menjadi hari bahagia bagi warga-warga adat kala  pengakuan dan perlindungan hak mereka dipenuhi negara. Sayangnya, di Indonesia, sampai hari ini, warga-warga adat masih berjuang mendapatkan perlindungan hak-hak, seperti hak wilayah, maupun hutan mereka. Konflik lahan maupun sumber daya alam dan kriminalisasi warga adat terus terjadi.

Sebenarnya, komitmen pemerintah Indonesia terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat sudah ada sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diperkuat lagi era Joko Widodo. Bahkan, sejak belum menjadi Presiden, Jokowi sudah menyatakan komitmen kuat melindungi masyarakat adat. Tak tanggung-tanggung, dalam pemilihan Presiden lalu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), resmi mendukung Jokowi.

Bagaimana implementasi di lapangan?

”Saya seperti sudah lelah. Sebenarnya kita sudah dijanjikan terus, baik satgas maupun RUU Masyarakat Adat,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN di sela-sela acara Hari Masyarakat Adat (HIMAS) 2016, di Jakarta, Selasa (9/8/16).

Satgas Masyarakat Adat, sejak awal Jokowi naik digadang-gadang bakal terbentuk, tetapi hingga kini baru sebatas komitmen. Begitu juga, UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, sudah dibahas sejak periode pemerintahan lama,  kini, tak masuk juga dalam program prioritas pembahasan tahun ini.

Meskipun begitu, masyarakat adat terus berjuang dan bekerja keras mendapatkan perlindungan hak. Mereka juga terus menagih janji Presiden.

Kekecewaan inipun, katanya, akan menjadi penilaian bagi gerakan AMAN kedepan. “Tetap mengadakan dialog dengan pemerintah atau sebaliknya. AMAN akan Kongres pada 2017 di Medan.”

Abdon menceritakan dialog-dialog mulai dibangun dengan pemerintah. Pada 2007, AMAN menandatangani nota kesepahaman dengan Komnas HAM,  2009 dengan Kementerian Lingkungan Hidup (sekarang Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Pada 2011 kesepahaman dengan BPN (sekarang, Kementerian ATR/BPN) dan tahun ini dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

”Dialog kita selama ini dicatat, diumumkan, tapi tidak dijalankan,” katanya.

Noer Fauzi Rachman, Anggota Kantor Staf Presiden mengatakan, wilayah-wilayah adat yang terampas buat kepentingan bisnis ekstraktif menghasilkan krisis sosial ekologi di komunitas-komunitas adat

Dia menyadari betapa penting pembentukan Satgas masyarakat adat ini guna menentukan arah kebijakan terkait.

Draf Satgas Masyarakat Adat, katanya, masih pembahasan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang.  Padahal sejak tahun lalu, draf ini sudah disebut-sebut berada “di meja Presiden tinggal teken.”

”Itu menjadi lead sector, proses persetujuan sampai kelembagaan berada di mereka (Kementerian ATR,red),” katanya.

Oji, begitu sapaan akrabnya, dalam diskusi menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK)-35, mengenai penguatan hutan adat bukan hutan negara.

Putusan ini, tampak disambut baik oleh kementerian/ lembaga pemerintah yang ditindaklanjuti dengan aturan teknis. Namun, katanya, masing-masing kementerian/lembaga kerja sendiri hingga implementasi putusan MK jauh dari harapan.

”Kementerian itu sama-sama kerja, punya UU sendiri tapi tak berkerja sama,” ucap Oji.

Komnas HAM juga menyoroti penyelesaian kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat, yang lamban.

Komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga mengatakan, Komnas HAM menyerahkan laporan 40 kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat di kawasan hutan yang terangkum dalam Inkuiri Nasional kepada KLHK melalui Sekretariat Penanganan Pengaduan Kasus Lingkungan dan Kehutanan.

”Sampai sekarang belum ada yang selesai,” katanya.

Orang Rimba di Jambi, Juli lalu mengungsi karena bentrok dengan satpam perusahaan. Foto: Elviza Diana

Andik Hardiyanto, Tenaga Ahli Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi menyebutkan, strategi penuntasan masalah adat masih elitis.

Pemerintah masih tak menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan masalah ini. Konflik masyarakat yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga ini, katanya,  hanya ditangani tingkat direktorat dengan peran tak begitu kuat dalam pengambilan keputusan.

Yance Arizona, Direktur Eksekutif Epistema Institute menyebutkan, pengakuan hak masyarakat adat masih ada kesenjangan sosial. Masyarakat masih selalu berhadapan dengan birokrasi dan hukum.

Akses pengakuan wilayah di hutan, katanya, samarata dengan para pemilik modal.

”Harus ada afirmasi semua regulasi dan kebijakan sulit jalan karena ketidaksertaannya tinggi,” katanya. Regulasi tanpa afirmasi,  menurut Yance, hanya melahirkan status quo baru.

”Jika ada deregulasi ekonomi memudahkan investor, mengapa tak ada kemudahan untuk individu dan masyarakat adat? Apalagi mereka tak terlalu paham terkait regulasi di pemerintahan.”

Enam prioritas utama perlindungan dan pemajuan hak masyarakat adat dalam Nawa Cita:

1. Meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Khusus, berkaitan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana
telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana yang telah ditetapkan MK 35/2012.

2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang kini sudah berada pada pembahasan tahap-tahap akhir berlanjut hingga ditetapkan sebagai Undang-undang, dengan memasukkan perubahan-perubahan isi sebagaimana yang diusulkan oleh DPR, AMAN, dan berbagai komponen masyarakat sipil lain.

3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya, seperti RUU Pertanahan, dan lain-lain, berjalan sesuai norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang diamanatkan dalam MK 35/2012.

4. Mendorong suatu inisiatif berupa penyusunan (rancangan) Undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik-konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari pengingkaran berbagai peraturan perundang-undangan sektoral atas hak-hak masyarakat adat selama ini.

5. Membentuk Komisi Independen yang diberi mandat khusus Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan urusan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat ke depan.

6. Memastikan penerapan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa berjalan, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi desa.

Sumber: Dokumen Nawa Cita Jokowi

Pelanggaran HAM dalam masyarakat adat pada kawasan hutan hasil Inkuiri Nasional

Hak ekonomi: hak mempunyai m ilik, hak untuk bertempat tinggal dan berkehidupan layak

Hak sosial: hak atas pekerjaan yang layak

Hak budaya: hak atas pendidikan, hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak untuk melakukan kehidupan budaya

Hak sipil: hak untuk hidup, hak mempertahankan hidup, hak meningkatkan taraf hidup, hak untuk tenteram, aman, damai, bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Lalu, hak atas rasa aman dan tenteram, hak perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atas tidak berbuat sesuatu, hak untuk tak diganggu tempat kediaman, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk bebas dari perlakuan kejam, hak untuk bebas dari perlakuana yang tak manusia dan hak untuk bebas dari perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Hak untuk tak ditangkap sewenang-wenang, hak tak ditahan sewenang-wenang, hak untuk diberitahu saat penangkapan dan alasan penangkapan, hak atas kompensasi penahanan atau penangkapan yang sah, hak didampingi penasehat hukum selama proses peradilan. Lalu hak atas pengakuan hukum yang adil, hak jaminan hukum yang adil, hak perlindungan hukum yang adil, hak mendapat kepastian hukum, hak perlakuan sama di depan hukum, hak berkomunikasi, hak memperoleh informasi, hak melaksanakan kepercayaannya dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Hak khusus (masyarakat adat (berdasarkan UNDRIP):
*Hak untuk menikmati penuh atau secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, semua HAM dan kebebasan-kebebasan dasar yang diakui dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia dan hukum internasional tentang HAM

*Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan menjalankan hak mereka, khusus yang didasarkan atas asal usul atau identitas mereka.

*Hak untuk menentukan nasib sendiri, untuk bebas menentukan status politik mereka, dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

*Hak kolektif untuk hidup bebas, damai dan aman sebagai kelompok masyarakat yang berbeda dan tidak boleh menjadi target atas tindakan genosida apapaun atau tindakan pelanggaran-pelanggaran lain, termasuk pemindahan anak-anak secara paksa dari kelompok ke kelompok lain.

*Hak untuk tak dipindahkan dari tanah atau wilayah mereka. Tidak direlokasi tanpa persetujuana bebas dan sadar, tanpa paksaan dan sebelum ada kesepakatan perihal ganti rugi yang adil dan memuaskan. Jika dimungkinkan dengan pilihan untuk kembali lagi.

*Hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan berkenaan dengan hal-hal yang akan membawa dampak pada hak-hak mereka, melalui perwakilan yang mereka pilih sesuai dengan prosedur mereka sendiri. Juga untuk mempertahankan dan mengembangkan pranata pembuatan keputusan yang mereka miliki secara tradisional.

Sumber: Komnas HAM

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,