Fokus Liputan: Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Bagian 2)

Selama sekitar setahun tambang ilegal di Desa Selok Awar-awar, beroperasi, miliaran uang mengalir ke sang Kepala Desa, Haryono. Tampak uang ini mengalir ke berbagai pihak, dari kepolisian, danramil, perangkat desa sampai orang-orang Perhutani…

Sekitar Januari 2014, tambang pasir besi berkedok desa wisata berawal. Kala itu, Kades Selok Awar-awar, Haryono, menemui Madasir  guna bermusyawarah mewujudkan ‘desa wisata’ itu. Madasir setuju. Haryono, mengadakan pertemuan dihadiri Madasir dan Harmoko.

Harmoko,  saat itu bertugas mendatangkan eksavator guna pembuatan jalan dan danau wisata dengan cara menggali pasir. Barulah, tiga hari kemudian, diadakan pertemuan di Balai Desa Selok Awar-awar dipimpin Haryono.

Berdasarkan berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum, pada Maret 2014, Harmoko menjalaskan tugas menghubungi Kusnul Rofiq via telepon.

“Pak, apa ada alat berat eksavator menganggur?” tanya Harmoko.

“Ada di Eriza Hardi,” jawab Rofiq.

Harmoko lalu melaporkan kepada Haryono. Dia minta diatur pertemuan dengan Rofiq. Pada, 4 April 2014, mereka bertemu di Mc. Donald Waru, Sidoarjo, hadir Haryono, Madasir, Harmoko, Rofiq dan Eriza Hardi.

Mereka sepakat membuat kerjasama pembangunan Desa Wisata dan mendatangkan eksavator untuk menambang pasir. Bertanda tangan Eriza pemilik alat dan Madasir diketahui Haryono.  Saat itu,  disepakati pembayaran alat Rp.180.000, per jam.

Kenyataan, pembayaran alat dengan sistem bagi hasil penjualan pasir per truk, pemilik alat Rofiq dan Eriza Rp110.000 per truk.

Pada Juni 2014,  Eriza mendatangkan alat berat merek Caterpillar dua unit. Selang dua minggu, datang lagi satu merek Hitachi.

Haryono bukan membuat Desa Wisata melainkan menambang pasir. Dia menentukan lokasi di Pesisir Pantai Watu Pecak, lalu dikeruk oleh alat berat.

Harmoko mengumpulkan pasir-pasir ini tak jauh dengan lokasi penambangan, sebelum dijual seharga Rp270.000,per truk. Dia dibantu Yoso.

“Hingga kini,  Yoso masih daftar pencarian orang,” kata M. Naimullah JPU, Kejaksaan Negeri Lumajang.

Bekas kerukan pasir besi. Foto: Tommy Apriando
Bekas kerukan pasir besi. Foto: Tommy Apriando

Kala mengangkut pasir, sopir truk mendapatkan karcis biru. Karcis ini akan diserahkan kepada penjaga portal. Portal dibuat di Jalan Lintas Selatan, depan Balai Desa Selok Awar-awar, guna pemeriksaan truk pasir. Lewati portal harus bayar.

“Setiap truk melintas kena tarif Rp30.000.”

Hasil penjualan pasir sore hari diserahkan kepada Haryono dengan rincian, Harmoko menerima setoran dari Yoso setiap hari rata–rata 150 ret, menghasilkan Rp40, 500 juta. Uang ini dibagi, Haryono R142.000 per ret atau Rp21, 300 juta. Biaya alat berat dan perawatan Rp110.000 per ret.

Setoran perawatan jalan lokasi tambang Rp18.000, diserahkan kepada Eko Aji, Kaur Pemerintahan Desa Selok Awar–awar. Jadi, rata-rata sehari penghasilan tambang ilegal Haryono Rp29 juta.

Dari keterangan Paimin, Kepala Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Lumajang, Haryono tak pernah mengajukan izin penambangan di Desa Selok Awar-awar. KPT Lumajang tak pernah mengeluarkan izin kepada Haryono.

Pertambangan ilegal ini berjalan sekitar 12 bulan, sejak 2014, hingga peristiwa berdarah September itu.  Hasil pertambangan ilegal, kalau dikalikan Rp426 juta perbulan, maka sekitar Rp3, 408 miliar.

Dari penelusuran Jaksa, di persidangan terungkap aliran uang Haryono dari penambangan pasir besi selama 12 bulan total Rp3, 408 miliar itu. Uang ini mengalir ke berbagai cabang. Ad buat judi togel, bayar kredit beberapa mobil, sampai bagi-bagi perangkat desa, polisi, Danramil, camat, sampai Perhutani.

Meskipun sudah gamblang seperti itu, pihak-pihak yang disebutkan ramai-ramai membantah baik Camat Pasirian, Kapolsek, Asper dan Mandor Perhutani, Danramil, sampai Kaur Desa. Mereka bilang, tak menerima uang aliran tambang ilegal ini, atau menerima uang tetapi bukan buat pribadi.

Dalam persidangan April 2016, Kapolsek Pasirian AKP Sudarminto mengatakan, uang diberikan Haryono, namun bukan untuk kepentingan pribadi. Uang buat membantu acara Polsek Pasirian.

“Memang saya menerima transfer, uang bukan untuk pribadi saya, acara di Polsek,” katanya, di hadapan hakim.

Lebih aneh lagi, dia mengaku baru mengetahui ada penambangan ilegal di Pantai Watu Pecak,  sekitar Agustus 2015.  Dia tak tahu ada pengangkutan material tambang ilegal, dari Pesisir Pasirian.

Camat Pasirian Abdul Basar juga menyangkal. Uang ini, katanya, untuk kegiatan di kecamatan. Dia berdalih,  tak tahu ada pertambangan ilegal di Pasirian.

Mendengar keterangan di persidangan ini Tosan hanya tersenyum.

“Mana mungkin camat dan kapolsek tak tahu ada tambang ilegal di Pasirian.”

Dengan jawaban seperti itu, katanya, makin menguatkan dugaan Tosan, mereka sogokan besar dari penambang.

“Sudah jelas setiap hari lebih 500 truk membawa pasir besi.”

 

Lokasi penambangan pasir besi di Desa Selok Awar-awar. Foto: Tommy Apriando
Lokasi penambangan pasir besi di Desa Selok Awar-awar. Foto: Tommy Apriando

 

 

***

Pengerukan pasir besi di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, merupakan bagian dari cerita panjang pertambangan di Pesisir Lumajang, Jawa Timur, yang mulai muncul pada 1998.

Pertama kali eksplorasi penambangan di Desa Wotgalih, Kecamatan Yosowilangun. Ahmad Zaky Ghufron, Tim Advokasi Salim Kancil menceritakan, dulu PT. Aneka Tambang (Antam) memperoleh konsesi seluas 584,4 hektar.

Berbekal surat keputusan Dirjen Pertambangan Umum, per 7 Februari 2000, operasi Antam pun mulai tahun itu. Pengangkutan dilakukan CV. Sumber Alam Nusantara ke Desa Munder sebagai tempat stokpile.

“Ketika akan mengajukan perpanjangan izin eksploitasi pada 2010 seluas 462,3 hektar di desa sama, ditolak warga,” katanya.

Penolakan itu, kata Ghufron, setelah ada gejolak warga. Sejak beroperasi 2000, Antam kurang konsisten terhadap janji. Dulu perusahaan janji ada reklamasi, membangun infrstruktur jalan dan penghijauan di pesisir. Semua cuma janji. Mereka tak menutup bekas tambang.

Antam sendiri aktif eksploitasi sampai 2005. Setelah itu, karena stok pasir masih banyak, selesai keluar sampai 2008.  Pasir dikirim ke pabrik semen PT Bosowa di Banyuwangi dan PT Tiga Roda melalui Pelabuhan Paiton, Probolinggo.

“Waktu itu pasir besi hanya untuk bahan baku semen, kandungan besi max 52 dam row 46-48,” katanya.

Pada 2008, keluar Keputusan Bupati Lumajang, Achmad Fauzi, mengenai pemberian izin eksplorasi pertambangan bahan galian pasir besi kepada PT. Indo Moderen Mining Sejahtera (IMMS).

Konsesi di enam kecamatan yakni, Yosowilangun, Kunir, Tempeh, Pasirian, Candipuro dan Tempursari, seluas 8.495.6 hektar. Ia membentang di Pesisir Lumajang dari perbatasan dengan Jember di Timur dan Malang di Barat.

“Pemilik IMMS Lam Cong San. Pertambangan mulai di Desa Kajaran dan Desa Dampar,” katanya.

Pada 25 Agustus 2009, keluar surat keputusan Bupati Lumajang yang baru, Sjahrazad Masdar, berisi persetujuan perpanjangan izin usaha pertambangan eksplorasi untuk IMMS.

Kehadiran IMMS di Desa Dampar dan Kajaran, katanya,  juga menimbulkan penolakan masyarakat. Belum sempat, IMMS menambang , sudah banyak masyarakat lokal menambang di bawah naungan Koperasi Kesejahteraan Rakyat (KKR) di Desa Bades.

Ketika itu, Ketua KKR bernama Balok. Penambangan tak berizin juga dilakukan pondok pesantren milik Gus Ghorin.

“Para pemain tambang di Lumajang mulai warga lokal, pejabat desa, hingga perusahaan besar,”ucap  Ghufron.

Petambang pasir di Pesisir Lumajang, Su, warga Yosowilangun menceritakan, dulu penambangan pasir besi di bibir pantai menggunakan cara manual, hanya diwadahi karung, tanpa alat berat backhoe.

Pasir yang diambil dari proses alam. Ketika ombak datang, pasir terhempas diambil diketebalan dua hingga tiga centimeter.

Inilah kantor Haryono, Kades Selok Awar-awar, yang meraup miliaran rupiah dari sekitar 12 bulan tambang pasir besi ilegal beroperasi. Foto: Tommy Apriando
Inilah kantor Haryono, Kades Selok Awar-awar, yang meraup miliaran rupiah dari sekitar 12 bulan tambang pasir besi ilegal beroperasi. Foto: Tommy Apriando

Salah satu tokoh cukup dikenal dan bagus hasil pasir besi, yakni Salim Kancil. Dia bisa mencari pasir besi dengan limbah 10-20%.

“Pasir besi waktu itu dijual ke Ngoro, Mojokerto,” katanya.

Berbeda keterangan dari Abdullah Al-Kudus, dari Laskar Hijau. Dia bilang, Salim hanya pernah mengambil pasir di Sungai Kali Pancing untuk bangun rumah. “Di pantai, dia urug dengan tanah untuk buat sawah.”

Lambat laun,  duit pasir makin ‘manis,’ KKR menduduki konsesi IMMS. Walau KKR tak punya izin, tetapi bisa nambang.

Akhirnya, para penambang di pesisir memanfaatkan izin IMMS, penentu quota tambang IMMS. Investor hanya pelaksana tambang, IMMS mendapatkan keuntungan penjualan. IMMS tak menambang sama sekali.

Tak ada kejelasan lahan tambang, tetapi pengerukan terus berlanjut. Bahkan, oknum aparat datang, bercampur baur. Mereka saling memberikan perlindungan pada penambang. Lebih parah lagi, ketika itu pengusaha dan pemeritah daerah tak tahu aturan pertambangan.

Baru pada 2011, terbit 57 izin pertambangan rakyat (IPR) melalui SK Bupati Lumajang. Terbit pula konsensi untuk PT. MMI.  Antara Dinas Pengairan dan Perhutani berebut. Ia berujung, kompensasi kepada aparat desa.

Orang dalam IMMS mengatakan, Bs, IMMS hanya tumbal dalam kasus kematian Salim dan penganiayaan Tosan.

“Banyak pihak seharusnya dimintai pertanggungjawaban. Tak pernah polisi, jaksa dan hakim menelusuri siapa pembeli pasir milik Haryono?” kata Su.

Tambang pasir besi Lumajang, melibatkan banyak aktor, tak terkecuali oknum kepolisian dari jajaran Polres hingga Polda Jatim.

Mongabay mendapatkan dokumen, surat tertanggal 2 Desember 2015 dengan tanda tangan AKBP Anjas Gautama Putra, selaku Direktur Reserse Kriminal Khusus Poda Jatim, memberikan rekomendasi pengadaan proyek antara CV. Mapan Jaya Lestari dengan CV. Anugerah Semeru.

Ada juga, pada 12 Januari 2016, Direktur PT. Calvary Abadi di Mojokerto, mengirimkan permintaan keperluan material khusus pasir Lumajang melalui Kapolres Lumajang.

Rere Christanto, Direktur Walhi Jatim mengatakan, dii balik pembunuhn dan penganiayaan aktivis penolak tambang Salim Kancil dan Tosan kuat dugaan keterlibatan sejumlah pihak termasuk perusahaan tambang lebih besar.

Untuk itu, perlu perhatian dan penanganan lebih serius dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Walhi Jatim mencatat, 67 tambang pasir besi ilegal di sepanjang pesisir selatan Lumajang, diduga ada keterlibatan perusahaan internasional di sana, yakni Dampar Golden International (DGI).

Perusahaan asing ini, katanya, berperan sebagai pencuci dosa dalam tambang liar lalu dekspor sampai ke Tiongkok. Dia menduga,  ada kesepakatan yang dibuat perusahaan DGI, dengan IMMS.

Modus mereka, hasil pertambangan di pesisir, disimpan di stockpile, didistribusikan ke Pelabuhan Tanjung Tembaga di Probolinggo, Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya, dan Gresik, sampai ke Pelabuhan Qingdao di Tiongkok.

Sebelum ekspor ke Tiongkok, pasir besi ditampung  DGI, yang mendapat surat izin dari Gubernur Jatim. Izin ini eksklusif, DGI bisa menampung pasir besi dari Lumajang buat dikirim ke daerah lain, termasuk Tiongkok.

“Polisi harus mengusut siapa orang di dalam perusahaan yang menampung pasir. Bahkan, harus mengungkap tuntas siapa saja yang menikmati hasil pertambangan,” ucap Rere.

“Pencucian” pasir besi ilegal inilah, katanya, yang menyuburkan praktik-praktik ilegal di Lumajang. Kelancaran tambang pasir ilegal juga karena ada dua pelabuhan tempat bersandar, yakni Tanjung Tembaga dan smelter pertambangan di Gresik.

IMMS dan DGI saling terkait. IMMS, menanam saham 45% di Asia Resources Holding, 100% milik PT Mighty Kingdom. Mighty Kingdom Investment 55%, dan 5% Empire Bridge Asset (terdaftar di British Virgin Island).

Dalam surat Bupati Lumajang tentang persetujuan izin usaha pertambangan tahun 2013, untuk pengolahan dan pemurnian pasir besi kepada DGI, tercantum Presiden Komisaris, Chim Kim Lun, dan Ricky,  dengan pemegang saham dalam negeri IMMS Rp50 miliar, Mighty Kingdom Investment Limited RP68,75 miliar dan Empire Bride Asset Limited Rp6,25 miliar.

Perusahaan internasional mudah masuk ke tanah air tanpa izin, dengan melalui IMMS.

Lokasi pengolahan dan pemurnian di Dusun Dampar, Desa Bades, Kecamatan Pasirian, seluas 9.000 meter persegi, jangka waktu tiga tahun. Surat itu ditandatangani Bupati Sjahrazad Masdar.

Sejak 2010, pendirian IMMS mendapat penolakan warga Kecamatan Yosowilangun, Lumajang, karena menyebabkan kerusakan lingkungan, menghilangkan mata pencarian petani dan kerugian negara.

IMMS mendapatkan keputusan Bupati Lumajang pada 2012 untuk persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi IUP operasi produksi. Lokasi di Desa Bades, Bago, Selok Awar-awar, Selok Anyar, Pandanarum dan Pandanwangi dengan luas 2.744,21 hektar, selama 10 tahun.

“Sudah tentu tambang pasir besi Lumajang tak hanya sumber konflik dan kerugian negara, juga sumber korupsi,” kata Rere.

Kini, pemilik IMMS dalam proses persidangan atas dugaan korupsi di Pengadilan Tipikor Suarabaya, bersama Abdul Gofur, Tim Teknis Amdal Lumajang.

“Kami menanti aktor-aktor lain yang terlibat juga diseret ke ranah hukum. Agar tambang ilegal tak terulang.”

Dia mendesak, penegak hukum membongkar kasus mengusut keterlibatan pemodal besar. Juga kaji ulang penataan ruang sampai proyek-proyek infrastruktur penampung hasil tambang illegal ini.

“Perlu moratorium pertambangan di Lumajang, bahkan seluruh Jawa.”

Para tersaangka pembunuh Salim Kancil dan penganiaya Tosan, dalam persidangan. Foto: Tommy Apriando
Para tersaangka pembunuh Salim Kancil dan penganiaya Tosan, dalam persidangan. Foto: Tommy Apriando

***

Abdul Rahem Faqih, Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, Malang, tak bisa berkutik kala Senin (20/7/16), langsung ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Dia jadi tersangka korupsi pertambangan pasir besi di Dusun Kaliwelang, Desa Bdes, Lumajang yang dikelola IMMS.

Faqih,  juga Wakil Direktur CV. Lintas Sumberdaya Lestari, kala itu konsultan Analisis dampak lingkungan (Amdal) IMMS.

Kepala Seksi Penegakan Hukum Kejati,  Jatim, Romy Arizyanto mengatakan, Faqih sebagai pembuat rekayasa Amdal IMMS. Barang bukti dan keterangan kuat, Faqih langsung menjadi tersangka.

Kejati juga menetapkan warga negara Tiongkok, Lam Cong San, pemilik IMMS. Faqih didakwa merugikan negera Rp79 miliar ditahan di Rutan Kelas I Surabaya, terhitung 20 Juni-9 Juli 2016.

“Ditahan karena takut melarikan diri juga khawatir menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan,” kata Romy.

Ketua Tim Teknis Dokumen Amdal Pemkab Lumajang R. Abdul Gofur. Mereka telah merugikan negara Rp79 miliar karena penambangan liar tanpa mengantongi izin penggunaan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dalam kasus ini, CV. Lintas Sumberdaya Lestari,  merupakan konsultan pemberi izin Amdal IMMS. Kejaksaan Tinggi Jatim memperoleh fakta eksplorasi penambangan IMMS, tak memenuhi izin, karena wilayah milik Perhutani.

Dalam persidangan,  Lam Cong San dan Abdul Gofur, katanya, dijerat tindak pidana korupsi oleh kejaksaan dalam kasus korupsi pasir besi Lumajang. Dari investigasi BPKP Jatim, kata Romy, ada perhitungan kerugian negara dari kasus ini sebesar Rp126 miliar.

Sejak awal, warga menolak tambang pasir besi di Pesisir Lumajang karena lahan masuk kawasan konservasi Perhutani. Anehnya, Pemkab Lumajang tetap mengeluarkan izin eksplorasi pada 2009, kepada IMMS hingga akhir 2013.

Kejati Jatim menyelidiki hingga keluar kesimpulan telah terjadi pelanggaran saat pengeluaran izin eksplorasi IMMS pada 2014.

“Hingga kami akhirnya menetapkan bos IMMS Lam Chong San dan Abdul Ghofur sebagai tersangka,” ujar dia.

Kejaksaan sempat mendapat hambatan kala akan menggeledah kantor IMMS. Penghuni kantor, kata Romy,  berusaha menghalangi. Adu mulut pun tak terelakkan saat mereka menyita sebuah gudang yang menyimpan berbagai peralatan tambang. Bersyukur, mereka berhasil menyita berbagai peralatan tambang, mulai alat berat hingga komponen penambangan.

Keberadaan kantor IMMS di Jember,  terendus petugas setelah ada penyidikan dugaan eksploitasi pasir besi di Lumajang melibatkan pejabat. Mereka menduga, ada keterlibatan 12 pejabat pemkab lain dalam mengeluarkan izin operasi IMMS.

“Kami terus mendalami keterlibatan para pihak dalam pertambangan IMMS dan merugikan Negara ini,” katanya.

Pada Senin (18/7/16), Kejaksaan Tinggi Jatim, menambah daftar tersangka dalam kasus korupsi IMMS dengan menangkap Ninis Rindhawati, PNS Lumajang, selaku mantan PLT Kepala Dinas Lingkungan Hidup Lumajang pada 2010.

Lam Cong San, bos IMMS, kala di persidangan. Foto: Tommy Apriando
Lam Cong San, bos IMMS, kala di persidangan. Foto: Tommy Apriando

Kasus Ninis, pada 2010, IMMS mengajukan IUP dan operasi produksi di Blok Dampar, Pasirian. Sebelum mengajukan IUP,  IMMS harus memiliki Amdal terlebih dahulu sebagai syarat operasi konsesi seluas 1.195, 856 hektar di Blok Dampar,  yang sebagian besar milik Perhutani. Tim Penilai Amdal IMMS diketuai Ninis.

Romy mengatakan, Amdal IMMS seharusnya ditolak karena tak ada dokumen-dokumen pendukung dan tak ada dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). IMMS malah tetap beroperasi di kawasan itu dari 2010- 2014 hingga negara rugi sekitar Rp79 miliar.

“Tersangka ditahan 20 hari, 18 Juli-6 Agustus 2016 di Rutan Madaeng.”

Gufron,  tim advokasi Salim Kancil mengatakan, baik Lam Cong San, Abdul Gofur, maupun Ninis,  memang semestinya diminta pertanggungjawaban. Mereka merugikan negara. Namun, katanya, ada pihak lain harus diselidiki oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, KPK maupun PPATK.

Dia menyebut, ada dari DPRD Lumajang diduga terlibat dalam KSO atau penarikan pajak borongan salah satu perusahaan. Ada juga dari Dinas Ekonomi saat perizinan pertambangan dan penggurusan Amdal IMMS.  Juga mantan pejabat Pemkab Lumajang.

“Juga kepolisian di Lumajang harus ditelusuri,” katanya.

Kematian Salim dan penganiayaan Tosan, kata Gufron,  harus jadi pintu masuk membongkar mafia tambang dan memperbaiki tata kelola tambang lebih berkelanjutan. Bersambung

Aksi para aktivis mendesak penyelidikan tuntas tambang pasir besi Lumajang, dan penegakan hukum dan menyeret para pelaku dan aktor tambang pasir besi di Lumajang. Tak hanya Haroyono cs, dijerat sebatas kasus kriminal pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan Tosan. Foto: Tommy Apriando.
Aksi para aktivis mendesak penyelidikan tuntas tambang pasir besi Lumajang, dan penegakan hukum dan menyeret para pelaku dan aktor tambang pasir besi di Lumajang. Tak hanya Haroyono cs, dijerat sebatas kasus kriminal pembunuhan terhadap Salim dan penganiayaan Tosan. Foto: Tommy Apriando.

lumajang15

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,