Menteri LHK: Tak Boleh Lagi Ada Pengusiran Masyarakat di Dalam Hutan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menegaskan komitmen pemerintah untuk mendukung eksistensi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang beraktivitas di dalam hutan. Tak boleh lagi ada tindakan pengusiran dan penangkapan terhadap mereka seperti yang terjadi selama ini.

“Pak Presiden Jokowi sudah menyampaikan agar tak boleh lagi pengusiran dan penangkapan masyarakat yang ada di dalam hutan,” ungkapnya dalam kunjungan kerja ke Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (8/8/2016).

Ia menyatakan puas dan senang apa yang dilihatnya di Kajang, baik kondisi hutan yang masih terjaga dengan baik maupun nilai-nilai filosofis budaya yang masih terjaga dengan baik. Termasuk adanya sanksi-sanksi adat yang berlaku bagi pelaku pengrusakan hutan.

Ia selanjutnya berharap setelah disahkannya Hutan Adat Ammatoa Kajang ini akan menjadi contoh dan segera diikuti oleh masyarakat adat lainnya di seluruh Indonesia.

Kunjungan Menteri ini sendiri terkait rencana pemerintah untuk menetapkan hutan di wilayah adat Ammatoa Kajang sebagai hutan adat. Jika disahkan nantinya maka akan menjadi yang pertama di Indonesia.

“Kita mau lihat secara konkrit karena proses adminstrasinya sudah lama dan sudah masuk ke kementerian sejak 2015. Oleh dirjen dan LSM-LSM sudah diolah.Di tingkat menteri sih, saya sudah selesai prosesnya, tetapi lagi-lagi untuk diputuskan bapak presiden. Saya harus meyakinkan betul kondisi lapangan seperti apa,” urainya.

Menurutnya, penetapan hutan adat ini adalah bagian dari komitmen Presiden Jokowi yang memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat adat dan tidak menginginkan sumber daya alam hanya dimonopoli oleh perusahaan.

“Pak Jokowi ini kan memperhatikan hal-hal untuk rakyat. Kalau selama ini sumber daya hutan kan sudah sering terdengar untuk corporate, corporate, corporate, gitu ya. Sekaranglah saatnya hutan untuk rakyat sejahtera itu menjadi konkrit,” tambahnya.

Skema hutan adat ini sendiri menurutnya adalah bagian dari sejumlah skema pengelolaan hutan oleh masyarakat, selain hutan desa, hutan tanaman rakyat (HTR) dan hutan kemasyarakatan (HKm).

“Semua skema-skema itu saya harus lihat di lapangan seperti apa, prakteknya bagaimana, kelompok-kelompoknya bagaimana, cara bekerjanya bagaimana, dan bagaimana itu betul-betul mensejahterakan rakyat. Ketika kawasan hutan itu diberikan ruang atau akses pengelolaannya kepada masyarakat apa benar dimanfaatkan. Atau nanti dimanfaatkan rakyat tapi dikaitkan lagi dengan pihak-pihak lain.”

Menurutnya, penetapan hutan adat tinggal menunggu waktu saja karena seluruh prosesnya di KLHK sudah selesai. Kini tinggal menunggu persetujuan dari presiden yang rencananya akan menerima laporan kunjungan ini pada 15 Agustus 2016 mendatang.

Sebelum berdialog dengan masyarakat, Siti Nurbaya menyempatkan diri mengunjungi salah satu kawasan Hutan Adat Kajang yang disebut Borong Jenneberang, yang sangat dikeramatkan. Batas hutan yang bisa dimasuki hanya sekitar 40 meter. Di hutan ini juga tidak boleh ada pengambilan kayu atau hasil hutan lainnya. Ketika memasuki kawasan Ammatoa Kajang,  ia juga melepaskan sepatu sebagaimana aturan yang berlaku di kawasan itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya,, menyempatkan diri memasuki salah satu bagian dari hutan adat di Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (08/08/2016). Hutan adat seluas 313,99 hektar, rencananya segera ditetapkan oleh presiden menjadi hutan adat yang pertama di Indonesia. Foto: Wahyu Chandra
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya,, menyempatkan diri memasuki salah satu bagian dari hutan adat di Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Senin (08/08/2016). Hutan adat seluas 313,99 hektar, rencananya segera ditetapkan oleh presiden menjadi hutan adat yang pertama di Indonesia. Foto: Wahyu Chandra

Andi Buyung Saputra, Camat Kajang yang sekaligus pemangku adat Kajang dengan posisi sebagai labbiria, menilai kunjungan Menteri KLHK ini sebagai momentum untuk mengembalikan Hutan Adat Kajang sebagaimana fungsinya selama ini.

“Ini berarti sebentar lagi hutan ini dikembalikan dari status hutan produksi terbatas menjadi hutan adat yang secara de facto sudah betul-betul dikuasai oleh masyarakat Kajang. Ini sangat berharga bagi kami bahwa perhatian pemerintah kini tidak hanyasecara teori saja tetapi sudah benar-benar diaplikasikan,” ujarnya.

Meski senang dengan adanya penetapan hutan adat ini, namun Buyung berharap kondisi dan situasi di Kajang tidak dijadikan standar baku dalam penetapan hutan adat di daerah lain.

“Kalau hutan adat di Kajang ini dijadikan standar maka hampir tidak mungkin lagi hutan adat di daerah lain bisa diakui dan ditetapkan. Kajang ini dalam kacamata orang luar masih sangat terjaga hutannya dan dianggap primitif. Kita berharap hutan adat di sini tidak dijadikan sebagai standar baku, karena masing-masing masyarakat adat memiliki standar tersendiri.”

Hutan adat yang akan ditetapkan ini seluas 313,99 hektar yang tersebar di tiga lokasi, dengan fungsi yang berbeda-beda. Selain fungsi lindung, ada juga fungsi konservasi dan hutan produksi terbatas.

“Meski namanya hutan produksi terbatas namun pemanfataan hasil hutan di dalamnya tidak ditujukan untuk kepentingan komersil tetapi semata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat adat di sini,” ujar Andi Buyung.

Hutan bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang memiliki makna tersendiri dalam kaitannya dengan kehidupan spiritual mereka. Hutan tak boleh dirusak dan ada sanksi bagi siapapun yang melanggar.

Pentingnya hutan bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang bisa dilihat dari adanya 83 pasang terkait pentingnya menjaga hutan. Pasang sendiri merupakan pesan leluhur yang diwariskan secara turun temurun sebagai hukum tak tertulis, yang diketahui dan disampaikan oleh Ammatoa sebagai pemimpin spiritual tertinggi di komunitas adat ini.

Salah satu pasang terkait pengelolaan hutan adalah ‘Jagai linoa lolloboneanna nasaba injo boronga pallekona linoa’, yang berarti kita harus menjaga hutan karena merupakan selimut dunia.

Terkait sanksi, bagi yang melakukan pelanggaran di dalam kawasan hutan adat, dikenal tiga tingkatan sanksi. Pertama, adalah sanksi ringan atau cappa babbala. Dendanya sebesar Rp5 -7 juta.Sanksi menengah disebut tanga babbala, dengan denda Rp7 – 8 juta. Sanksi paling berat disebut poko’ babbala dengan denda sebesar Rp12 juta.

“Kalau pelanggarannya sangat berat dendanya bukan cuma uang tapi bisa diusir dari kampung,termasuk seluruh keturunannya.Mereka istilahnya di-paumpai tana’ atau tak boleh lagi menginjakkan kaki di tanah Kajang.”

Uniknya, uang hasil pembayaran denda ini bukan untuk diberikan kepada pemangku adat, tetapi dibagi secara rata kepada seluruh masyarakat yang ada di dalam kawasan, termasuk pada pelaku pelanggaran itu sendiri.

“Kepada yang berbuat pun dibagikan, yang menandakan bahwa masalah ini sudah terselesaikan dan tak boleh diungkit-ungkit lagi.”

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra

Menurut Sardi Razak, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, kunjungan Menteri LHK ini harus dilihat sebagai bagian dari proses untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat Ammatoa Kajang, baik itu melalui lahirnya perda masyarakat adat dan menyusul kemudian hutan adat.

“Apa yang terjadi di Kajang dan juga sedang berlangsung di daerah lain ini adalah bagian dari implementasi putusan Mahkamah Konstitusi 35 tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara,” tambahnya.

Terkait penetapan Hutan Adat Ammatoa Kajang ini sendiri, Sardi berharap tidak lagi ditunda-tunda penetapannya, karena seluruh persyaratan yang diamanahkan oleh perudang-undangan telah dipenuhi dengan baik. Situasi sosial dan fakta-fakta di lapangan juga yang menunjukkan hal yang sesuai.

“Semoga kunjungan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mempertegas komitmen dan keseriusan mereka. Apalagi dari pernyataan bu menteri dikatakan bahwa ini sudah clear dan tinggal menunggu penyerahan SK penetapan dari Presiden.”

Sardi berharap dengan adanya penetapan hutan adat ini juga akan membuka jalan pembahasan kembali RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang sempat tertunda pengesahannya oleh DPR.

Sri Endang Sukarsih, staf ahli AMAN Sulsel, berharap dari kunjungan ini pemerintah bisa belajar pengelolaan hutan dari masyarakat adat yang telah memiliki mekanisme tersendiri sebagai warisan dari leluhur.

“Ketika menteri turun artinya dia menyaksikan bagaimana hutan adat itu dikelola, dan ini pembelajaran penting tanpa harus jauh-jauh belajar tentang pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan di Kajang ini bisa menjadi contoh, karena terlihat sudah jelas pembagian-pembagiannya, sudah ada batas-batasnya, tata ruang dan ruang kelola yang tersusun baik,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,