Kasus Kebakaran Hutan, Majelis Hakim Hukum PT NSP Bayar Rp1 Triliun

Kabar gembira buat lingkungan! Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menang gugatan perdata terhadap PT National Sago Prima (NSP) atas kasus kebakaran hutan seluas 3.000 hektar di Riau pada 2014. Pada Kamis (11/8/16), Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum perusahaan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp1,07 triliun.

”Kita mempunyai harapan baru mendapatkan kembali keadilan lingkungan bagi rakyat,” kata Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani, di Jakarta, Jumat (12/8/16).

Persidangan di PN Jaksel, mulai pukul 13.00-15.00 pada 11 Agustus 2016, dipimpin Nani Indrawati sebagai ketua majelis digantikan Effendi Mochtar. I Ketut Tirta dan Nur Syam sebagai hakim anggota.

Proses persidangan sejak 17 November 2015 ini mengabulkan gugatan KLHK. Putusan yang tertuang dalam 113 lembar ini memuat perusahaan harus membayar ganti rugi Rp319.168.422.500 sesuai gugatan, tindakan pemulihan Rp753 miliar dari tuntutan Rp 753, 745 miliar.

Meski demikian, majelis hakim tak mengabulkan permintaan eksekusi seketika.

”Menunggu putusan inkracht, prinsipnya tuntutan dikabulkan semua,” kata kuasa hukum KLHK, Patra M. Zen usai konferensi pers.

Putusan ini, katanya, membuktikan hakim memegang prinsip In Dubio Pro Natura, yakni berpihak pada lingkungan hidup.

Dia berharap, prinsip ini menjadi doktrin bagi majelis hakim.

Kala anak usaha PT Sampoerna Agro Group ini tak membayar denda setelah putusan inkracth, maka membayar uang paksa (dwangsom) Rp50 juta setiap hari atas keterlambatan. Tergugatpun wajib membayar biaya perkara Rp462.000.

”Proses eksekusi akan menunggu,” ucap Roy, sapaan akrab Rasio.

Dalam kasus ini, katanya, majelis hakim menggunakan tanggung jawab mutlak Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

Setiap perusahaan yang meminta izin menggunakan hutan, wajib mencegah dan menanggulangi karhutla pada konsesi mereka. Fakta sidang tak menyebutkan ada pencegahan maksimal, sarana dan prasarana pun tak optimal.

Penekanan lain, soal papan peringatan bahaya hutan. Kedua hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik konsesi.

Kekuatan lain dalam persidangan ini, KLHK mampu membuktikan upaya pemadaman tak maksimal. Salah satu, menyewa heli kapasitas kecil saat api mulai melebar.

NSP telah beroperasi berdasarkan izin menanam sagu dari Menteri Kehutanan tahun 2013 dengan luas konsesi 21.418 hektar di Kepulauan Meranti, Riau.

Pada 2014, NSP telah divonis pidana di PN Bengkalis dan proses kasasi di Mahkamah Agung.

Dalam persidangan kemarin terjadi beberapa hal menarik. Salah satu perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari hakim Nur Syam.

Nur menyatakan, kerusakan mengakibatkan kebakaran hutan pada konsesi NSP bukan kelalaian perusahaan melainkan bencana alam.

”Itu tidak merusak lingkungan, tapi akan memulihkan bahkan menyuburkan lahan,” kata Syahrul dari Auriga, mengulang argumen Nur Syam kala persidangan.

NSP menyayangkan putusan PN Jaksel.

”Kami mempertimbangkan langkah lanjutan, kemungkinan naik banding,” kata Harjon Sinaga, kuasa hukum NSP tergabung dalam Law Firm Lubis Ganie Surowidjojo.

Mengenai perbedaan pendapat, Fajri Fadhillah, peneliti ICEL, berpendapat, pertimbangan dalam dissenting opinion ini keliru dan berpotensi menimbulkan kesalahan pemahaman perihal alasan-alasan yang bisa melepaskan pertanggungjawaban dalam perkara karhutla.

“Merujuk penjelasan bencana menurut teori maupun UU Penanggulangan Bencana dan sesuai doktrin hukum perdata, karhutla dapat masuk bencana alam jika tak dapat diperkirakan, bersifat luar biasa dan tak ada kontribusi manusia.”

Ketiga hal itu, katanya, tak masuk dalam SK Bupati Meranti tentang Status Siaga Bencana Karhutla.

Putusan manjelis hakim ini disambut baik Koalisi Anti Mafia Hutan. Syahrul Fitra, peneliti hukum Yayasan Auriga kepada Mongabay berharap, putusan ini menjadi contoh dan harapan baru dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Meski demikian, mereka perlu memastikan dan mengawal tahapan lanjutan yang akan ditempuh NSP. Pasalnya, sita jaminan aset seketika KLHK ditolak hingga putusan inkratch.

”Jika banding, akan ada proses menghabiskan waktu dua tahun. Masa ini bisa menjadi celah aset NSP habis. Saat pembayaran denda perusahaan pailit.”

Gugatan sita jaminan itu penting guna memberikan kepastian bagi penggugat melawan terdakwa. Syahrul berharap, materi ini menjadi memori banding ketika diajukan di pengadilan tinggi.

”KLHK harus memastikan dan monitoring terus prosesnya. Memastikan NSP bisa membayar uang ganti rugi gugatan.”

Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur ICEL menyebutkan, pertimbangan majelis hakim ini mampu menjadi tonggak awal menyudahi polemik yang menyebutkan karhutla di konsesi perusahaan karena masyarakat.

Proses hukum karhutla 2015

Dalam rilis Koalisi pun mendesak KLHK memproses hukum perusahaan-perusahaan yang terlibat karhutla pada 2015. Termasuk kasus-kasus karhutla perusahaan yang diduga membakar dan dihentikan Polda Riau.

“Proses perusahaan-perusahaan ini baik pidana dan perdata,” kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional kepada Mongabay.

Sebagai pemberi izin, katanya, KHLK seharusnya bisa menunjukkan kewibawaan lebih dan bisa segera memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin sejak awal ketika tahu ada pelanggaran NSP.

Yaya mengatakan, ketegasan sejak awal penting guna memperlihatkan tolok ukur penilaian kinerja perusahaan. Dengan begitu, katanya, menutup kemungkinan perusahaan bermain-main dengan aturan.

Koalisi juga meminta Presiden segera menerbitkan Perpres pasca putusan MK-18 terkait perubahan Pasal 95 ayat 1 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ayat ini berbunyi, dalam rangka penegakan hukum terpadu, pelaku tindak pidana lingkungan hidup termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran UU ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik PPNS, kepolisian dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri.

Penerbitan perpres ini, katanya, bisa menghindari surat perintah penghentian penyidikan) seperti kasus kebakaran hutan di Riau.

Roy mengatakan, ada beberapa kasus sedang ditangani KLHK. Kasus gugatan pada PT. Jatim Jaya Perkasa Juni 2016, KLHK banding di Pengadilan Tinggi Jakarta per 21 Juni 2016.

KLHK juga sedang menpersiapkan eksekusi bersama PN Meulaboh atas Putusan Kasasi Makhamah Agung RI terhadap PT Kalista Alam sebesar Rp366 miliar.

”Kita juga sudah memasukkan gugatan kebakaran hutan lahan PT Waringin Agro Jaya.”

Gugatan kepada perusahaan di Sumatera Selatan itu diajukan 18 Juli 2016.  Selain itu, katanya, KLHK masih mempersiapkan gugatan-gugatan kepada empat perusahaan lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,