Ribuan Burung Liar Itu Ditangkap dari Alam untuk Dijual

Studi terbaru yang dilakukan TRAFFIC menunjukkan, sekitar 23 ribu burung liar ditangkap dari alam untuk dijual di lima pasar burung yang berada di Surabaya (Bratang, Kupang, serta Turi), Malang, dan Yogyakarta. Survei yang dilakukan selama tiga hari di pasar burung itu menunjukkan bila ribuan burung tersebut diambil secara paksa dari habitat aslinya.

Dalam laporan berjudul “In the Market for Extinction: Eastern and Central Java” yang dirilis 11 Agustus 2016 itu disebutkan, ada 22. 911 burung dari 241 jenis yang diobservasi selama survei. Pasar Kupang tercatat paling banyak menjual burung beserta kios dagangannya, sementara Malang merupakan wilayah penjualan dengan jangkauan terluas.

Dalam laporan itu juga tercatat, sebanyak 10 jenis (237 individu) merupakan jenis yang masuk terancam punah berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) Red List, mulai dari Vulnerable (VU/Rentan), Endangered (EN/Genting), dan Critically Endangered (CR/Kritis). Sedangkan 17 jenis tergolong Near Threatened (NT/Mendekati Terancam Punah).

Dari keseluruhan burung tersebut, sebanyak 98 persen (22.348 burung dari 213 jenis) merupakan jenis yang memang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 28 jenis (351 individu) merupakan jenis yang dilindungi UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

 Serak bukit (Phodilus badius) yang dijual di pasar burung di Malang. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC
Serak bukit (Phodilus badius) yang dijual di pasar burung di Malang. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC

Jenis yang termasuk dilindungi itu adalah jalak putih (Sturnus melanopterus), jenis yang hanya ada di Jawa dan Bali. Statusnya saat ini adalah Kritis dengan jumlah populasi di alam sekitar 600-1.700 individu dewasa. Burung ini berukuran 23 cm dengan paduan warna hitam dan putih. Saat dewasa, keseluruhan bulunya berwarna putih, kecuali sayap dan ekornya yang hitam. Biasanya hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, namun kini jarang terlihat di dataran rendah dan juga pekarangan.

Begitu juga dengan poksai kuda (Garrulax rufifrons), burung berukuran 27 cm yang hanya ada di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Persebarannya terbatas dan kian terancam akibat perburuan. Burung berbulu coklat zaitun bagian atas dan coklat kuning bagian bawah ini hanya ditemukan di ketinggian antara 1.000 – 2.400 m di atas permukaan laut. Statusnya saat ini adalah Genting dengan jumlah individu yang belum diketahui banyaknya.

Serene Chng, Programme Officer TRAFFIC yang juga penulis laporan tersebut menjelaskan, tingginya angka perdagangan burung tersebut sangat memprihatinkan. “Sekitar 56 jenis tersebut merukana endemik Indonesia atau tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Ini sangat mengancam kehidupan burung-burung liar yang ada di alam,” ujarnya, Kamis (11/08/2016).

Celepuk reban (Otus lempiji) yang diubah warnanya menjadi putih untuk dijual. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC
Celepuk reban (Otus lempiji) yang diubah warnanya menjadi putih untuk dijual. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC

Studi ini sekaligus melengkapi informasi sebelumnya yaitu “In the Market for Extinction: An inventory of Jakarta’s bird markets,” edisi 25 September 2015. Penelitian yang dilakukan di tiga lokasi pasar burung di Jakarta yaitu Pramuka, Jatinegara, dan Barito, selama tiga hari tersebut mencatat sekitar 19.036 individu burung yang berasal dari 206 jenis terus diperjualbelikan. Sekitar 98 persen dari seluruh burung yang berhasil diamati tersebut merupakan jenis endemik Indonesia.

Bila dibandingkan hasilnya, survei kali ini mencatat bila jenis dan sub-jenis asli Indonesia yang berada di lima pasar tersebut lebih banyak dijual. Asalnya, dari timur Indonesia. “Tidak seharusnya, burung-burung itu diperjualbelikan. Harus ada cara mencegahnya agar penangkapan burung dari alam tidak terus terjadi,” papar Chris R. Shepherd, Direktur Regional TRAFFIC Asia Tenggara.

Ragam jenis burung yang dijual di pasar burung yang nyatanya diambil dari alam. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC
Ragam jenis burung yang dijual di pasar burung yang nyatanya diambil dari alam. Foto: Heru Cahyono/TRAFFIC

Terkait perburuan burung liar di alam, Pendiri PROFAUNA Rosek Nursahid menjelaskan, ada tiga faktor besar mengapa kegiatan negatif yang sangat merugikan itu tetap melenggang. Pertama, penjagaan kawasan yang menjadi habitat alami burung tersebut lemah, tidak ada patroli rutin yang dilakukan petugas terkait. Kedua, tidak ada pemantauan kuota tangkap satwa liar yang tidak dilindungi di alam. Ketiga, maraknya komunitas penggemar burung yang turut memicu terjadinya perdagangan burung.

Apa yang harus dilakukan agar perburuan berkurang? Menurut Rosek, patroli hutan di wilayah-wilayah konservasi alam yang menjadi tempatnya penangkapan burung harus ditingkatkan. Untuk Jawa Timur, ada beberapa kawasan konservasi yang masih dan sering dilakukan penangkapan burung melalui jaring seperti di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Meru Betiri, juga Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo. “Penjagaan memang harus diperketat, jangan hanya terfokus di pintu masuk saja.”

Yang cukup mengenaskan adalah semua jenis burung ditangkap di wilayah tersebut. Ini disebabkan, cara menjeratnya menggunakan jaring sepanjang 20-25 meter yang dibentangkan di antara pepohonan. Jenis burungnya beragam, mulai cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), cipoh kacat (Aegithina tiphia), cica-daun besar (Chloropsis sonnerati), perenjak jawa (Prinia familiaris), dan jenis sepah. “Pastikan juga komunitas pencinta burung dipantau, tidak jarang perburuan terjadi karena tingginya permintaan. Meski sulit dilacak, namun harus dilakukan,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,