Sekitar 29 kementerian dan lembaga di Istana Bogor menandatangani nota kesepakatan aksi bersama Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), difasilitasi KPK pada 19 Maret 2015. Dalam kesempatan itu ada deklarasi institusi penegak hukum antara Kepolisian, Kejaksaan, TNI, bersama KPK dalam mendorong penyelamatan SDA di Indonesia. Hingga kini, keseriusan pemerintah dalam menyelamatkan SDA dipertanyakan. Seharusnya, upaya pencegahan dan penindakan korupsi sektor SDA makin meningkat. Faktanya?
“Pasca-penandatanganan GNPSDA tak ada kasus-kasus baru dibongkar KPK untuk proses sampai penindakan. Kita khawatir, kalau tak ada langkah progresif hanya berhenti di seremonial,” kata Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW dalam diskusi di Yogyakarta, akhir bulan lalu.
Catatan ICW, perkara korupsi kehutanan ditangani KPK sejak berdiri ada 12 kasus. Sebanyak 35 orang dihukum, kepala daerah (8), DPR (6), pengusaha (10), PNS (10), lain-lain (1). (daftar kasus korupsi).
Emerson mengapresiasi, kinerja KPK dalam berkoordinasi dan supervisi minerba, kehutanan, dan perkebunan dan penanganan korupsi melibatkan politisi dan pengusaha. “Sayangnya, berhenti pada 2014.”
Dia mengusulkan beberapa hal. Pertama, Presiden mengevaluasi kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepolisian, dan TNI dalam penyelamatan SDA dan kebakaran hutan dan lahan.
Kedua, mendorong penegakan hukum tegas kepada penjahat SDA. Untuk lebih optimal, katanya, bisa membentuk Satgas Antimafia SDA dan Mafia Hutan seperti Satgas Antimafia Hukum.
“Tindakan tegas asumsi kita adalah aspek penindakan. Harus dipastikan tidak ada pelaku yang diampuni atau dibebaskan. Tentang SP3, Kapolri Tito Karnavian perlu melakukan investigasi tindakan Polda Riau. Jika ditemukan ketidakwajaran maka SP3 harus dibatalkan,” katanya.
Lais Abid, divisi investigasi ICW kesempatan berbeda mengatakan, korupsi SDA paling banyak adalah penggelapan.
“Caranya, memanipulasi perolehan atau keuntungan, misal, korporasi tambang tak bayar royalti, kalau di perkebunan sawit tak membayar pajak semestinya. Di pengusahaan hutan memanipulasi tegakan kayu tebangan.”
Korupsi, katanya, biasa terjadi di dua kelompok, yakni penerimaan dan belanja. Korupsi SDA penerimaan biasa, memanipulasi royalti, pajak, hingga penerimaan negara tak terpenuhi. Sisi belanja, seperti mark up barang dan jasa. Penyuapan perizinan sektor SDA juga besar.
Pembicara dari KPK, Dian Patria mengajak aktivis lingkungan dan semua pihak peduli lingkungan bahu membahu menyelamatkan lingkungan. Sebab, yang dihadapi kolaborasi antarpelaku kejahatan.
“Orang-orang baik harus bersatu, karena mereka orang-orang serakah juga bersatu. Waktu kita nggak banyak,” katanya.
“Jika terlambat, kita hanya mewariskan lingkungan rusak ke anak cucu.”
Menurut dia, kesulitan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi SDA adalah pemerintah lemah dan dilemahkan.
“Banyak regulasi bukan hanya tumpang tindih juga saling memakan, misal dalam UU disebutkan pejabat pengawas pertambangan dari pusat, direkrut dari pusat dan seterusnya, tetapi operasional dibiayai pemda. Artinya nggak akan jalan. Kalau kami kaku pada aturan bisa terjebak, bisa salah. Jangan-jangan aturan adalah state captured,” katanya.
Diskusi ini juga menghadirkan pembicara Dirjen Penegakan Hukum, Rasio Ridho Sani, pejabat Bareskrim Polri, kini Direskrim Umum Sulawesi Tenggara Kombes Pol CH Patoppoi. Peserta diskusi adalah pegiat lingkungan, wakil pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil.
Kasus karhutla
Emerson juga menyinggung soal pemberhentian penyelidikan dan penyidikan Polda Riau terhadap 15 kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2015 oleh perusahaan.
“Soal SP3 juga dipertanyakan publik. Jokowi (Presiden) mengatakan tindak tegas pelaku kejahatan kehutanan. Yang muncul justru SP3. Polda tak terbuka menyampaikan alasan ke publik. Juga tak ada informasi resmi,” katanya.
Dalam pandangan Emerson, Polda Riau belum menjelaskan tuntas alasan-alasan keluar SP3 melibatkan 15 korporasi dan 25 orang ini. Tak ada transparansi dan akuntabilitas, menyebabkan muncul sejumlah kecurigaan.
Untuk itu, dia mengusulkan agar ada peninjauan ulang. Bisa pula dilakukan pembicaraan terbuka dengan mengundang masyarakat sipil untuk melihat bersama-sama apakah SP3 sudah dilakukan dengan benar.
Menanggapi itu, Patappoi mengatakan, ada masalah komunikasi menyebabkan belum tersampaikan perkembangan penyelesaian kasus karhutla oleh Polda Riau kepada publik.
“Sebenarnya ditangani ada 71 kasus 2015. Sebanyak 53 kasus P21, sudah masuk tahap kedua. Berkas di kejaksaan, tiga penyidikan, dan 15 SP3. Kenapa yang muncul ke permukaan hanya soal SP3?”
Menurut dia, SP3 sudah berdasarkan fakta lapangan dan hukum, misal, karhutla perusahaan bukan menjadi penguasaannya karena izin dicabut.
Data kasus karhutla Polri 2015, katanya, proses penyidikan 91, P21 (158), dan SP3 (15), dengan terlapor dan tersangka 24 perusahaan dan 250 perorangan.
Data ICW cukup menjelaskan, bahwa yang banyak terjerat perorangan (warga). Catatan ICW, data Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, sampai 22 Oktober 2015, kepolisian menetapkan 247 tersangka pembakar hutan, 17 perusahaan dan 230 perorangan. Sebanyak 21 kasus penyelidikan, 104 penyidikan, 62 siap sidang.
Rasio alias Roy mengatakan, sejak Januari 2016, KLHK telah menerima pengaduan 275 kasus, baik masalah hutan maupun kerusakan lingkungan.
Kasus sedang ditangani 37 karhutla, pidana 80 kasus meliputi kebakaran hutan, perambahan kawasan, hingga pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Serta beberapa kasus perdata tengah berproses di pengadilan.