Petani Amed Memetakan Lahan Garamnya. Untuk Apa?

I Wayan Patra Gunawan, petani garam Amed berusia 38 tahun ini membaca layar alat global positioning system (GPS) map di tangannya, akhir pekan lalu. Tertera angka titik lokasi yang akan dikunci, ketinggian, titik Lintang selatan dan timur, kemudian simpan sebagai arsip di GPS.

Sementara Novi Tirtayanti, pewarta warga Amed bertugas mencatat dalam sebuah formulir. Berisi nama lokasi pemilik atau penggarap lahan garam. “Ini dicatat juga? Mau dijual lahannya,” ujar Patra.

Keduanya memutuskan dicatat saja dulu sampai pasti dijual. Mereka melanjutkan merekam titik kordinat lokasi lahan lain yang sudah dikepung hotel, restoran, dan pemukiman di pesisir Bali Timur ini.

Musim ini harusnya petani sudah mulai menyiapkan alat-alat tradisional pembuat garam laut. Namun cuaca masih tak menentu, kadang masih hujan. “Harusnya sudah mulai menurunkan palungan dan tinjungan sekarang,” lanjut pria pemilik dua petak lahan garam ini. Itu adalah nama-nama lokal untuk alat produksi garam khas Amed, Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur ini.

Palungan adalah bilah-bilah batang kelapa yang digunakan untuk menjemur air laut yang sudah difilter. Air laut ini disaring dari wadah bernama tinjungan, berbentuk prisma dari bambu. Air laut mengalir melalui lapisan tanah sari sehingga membuat garam Amed bercita rasa khas dan tanpa mengandung timbal, logam berbahaya.

Sebelum ke lapangan, para petani dilatih mengenal alat dan peta secara singkat oleh Conservation International (CI) Indonesia, lembaga konservasi yang di Bali fokus mendorong kawasan konservasi perairan. Perihal pemetaan ini didorong kebutuhan petani garam yang merasa lahannya makin terjepit sementara garamnya baru diakui sebagai produk berindikasi geografis.

Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi keduanya memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Di Indonesia baru ada 38 produk lokal berkualitas dengan sertifikasi indikasi geografis ini. Misalnya Ubi Cilembu, kopi Arabika Gayo, Kangkung Lombok, dan lainnya. Sekaligus sebagai hak merk dan pengakuan kekhasan.

Pemetaan partisipatif oleh petani dan warga sekitar untuk memastikan lahan garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur tersisa dan potensinya. mengkonservasi lahan garam Amed yang makin terdesak karena pembangunan hotel dan vila. Foto : Luh De Suriyani
Pemetaan partisipatif oleh petani dan warga sekitar untuk memastikan lahan garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur tersisa dan potensinya. mengkonservasi lahan garam Amed yang makin terdesak karena pembangunan hotel dan vila. Foto : Luh De Suriyani

Hanggar Prasetio dari CI Indonesia memaparkan pemetaan partisipatif harus dari orang lokal dibantu orang luar. Ia memperkenalkan ide pemetaan, jenis peta dan fungsinya, geografi, dan koordinat.

Peta adalah gambaran wilayah yang didalamnya berisi info wilayah. Saat ini yang berwenang mengordinir Badan Informasi Geospatial. Ada pihak lain yang juga membuat peta Badan Pertanahan, dan lainnya untuk keperluan tertentu.

Masyarakat bisa bikin peta, walau yang wajib melakukannya pemerintah. Peta yang dibuat masyarakat secara partisipatif ini dilaporkan untuk jadi rujukan.

“Masyarakat perlu buat peta seperti industri kecil karena bisa tergusur jika tak diinformasikan. Tak hanya protes, warga punya fakta legal jika memgalami konflik penguasaan lahan,” jelas Hanggar.

Masyarakat sendiri yang tahu wilayahnya dan sebagian informasi dari pengetahuan warga. Peta ini manfaatnya meningkatkan kesadaran hak, potensi, dan wilayah yang dikelola.

Jenis keluaran peta misalnya dua dimensi dan tiga dimensi. Pada peta tiga dimensi, terlihat tinggi rendahnya sebuah gambar, sementara dua dimensi hanya permukaan.

Menurut penggunaannya ada peta dasar, topografi, dan tematik. Peta selain mengandung informasi, juga alat identifikasi wilayah dan penyelesaian konflik.

Nyaris semua lahan garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur terjepit bangunan karena makin ramainya kawasan wisata pesisir bawah laut ini. Foto : Luh De Suriyani
Nyaris semua lahan garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur terjepit bangunan karena makin ramainya kawasan wisata pesisir bawah laut ini. Foto : Luh De Suriyani

Sebelum mengunci titik koordinat dengan GPS, para petani membuat peta sketsa berisi lahan garam, ancaman, serta potensinya. Mereka mengisi catatan di sebuah gambar yang bisa diunduh dari Google Earth, kemudian mempertajam dengan memberi catatan dan tanda lokasi garam 5-10 tahun lalu dan yang tersisa saat ini.

Terlihatlah, jika nyaris semua pesisir Amed adalah lahan produksi garam laut sebelum kini menyisakan sekitar 20 petani saja. Hanya sebagian yang punya lahan sendiri, sisanya penggarap dan tergantung pada lahan milik orang lain.

Kini tersisa 6 area penggaraman dengan sejumlah petak-petak. Para petani dimudahkan mengidentifikasi karena peta dari aplikasi Google Earth sudah memperlihatkan titik dan nama hotel, homestay, dan lainnya karena keperluan identifikasi lokasi dan promosi.

Ancaman misalnya hilangnya lahan produksi di pesisir karena makin banyak yang dijual atau tak disewakan lagi untuk petani. Ketika di lapangan, ancaman terlihat ini nyata. Bangunan hotel kini banyak bertingkat karena lahan sangat sedikit, sekitar 2-5 are (200-500 meter persegi) saja.

Sementara lahan produksi perlu matahari langsung dan penuh, jalur pipa-pipa penyedot air laut jika menggunakan mesin penarik. Jika petani tak memiliki mesin ini, mereka perlu lahan lebih lebar lagi untuk membawa timba panggul dari lahan penggaraman menuju laut dan sebaliknya.

Potensinya adalah kelompok Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Garam (MPIG) dan sertifikatnya, gudang penyimpan stok garam sementara, dan upaya untuk melestarikan garam dengan natrium (NaCl) rendah ini.

“Saya tidak akan jual lahan. Prospeknya makin bagus,” seru Patra, salah satu petani muda ini. Lahannya sudah beberapa kali ditawar agar dijual, namun ia bergeming. Harga lahan pesisir Amed saat ini sedikitnya Rp200 juta per are.

Komitmen dan kolaborasi

Inisiatif perlindungan lahan garam Amed ini juga didukung sebuah kolaborasi, Mabesikan Project, antara seniman dan komunitas lokal didukung Search for Common Ground, lembaga pengampanye rekonsiliasi konflik. Mereka membuat serangkaian kegiatan seperti workshop seni.

Rudi Waisnawa, seorang fotografer mengajak remaja setempat mendokumentasikan lahan dan sejarah garam Amed melalui foto. Sementara Arie Putra merespon dengan membuat mural, gambar di tembok rumah atau restoran setempat.

Arie sudah membuat dua mural besar dengan tema selamatkan Garam Amed. Pertama gambar seorang petani yang terjepit bangunan di pantai. Kedua, seorang anak minta diperhatikan karena ada sejumlah anak-anak penjual garam di pantai.

Ada juga seniman mural dari Prancis, Sautel Cago, turut serta dengan kampanye membuat peri garam berwarna cerah dengan teknik cat semprot. Ia juga melukis sebuah perahu nelayan dengan ide yang sama.

Karya mural di sebuah restoran dibuat oleh Arie-Peanut Dog, tentang petani muda garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur yang pertahankan lahannya di tengah jepitan bangunan. Foto : Luh De Suriyani
Karya mural di sebuah restoran dibuat oleh Arie-Peanut Dog, tentang petani muda garam Amed Desa Purwakerthi, Karangasem, Bali Timur yang pertahankan lahannya di tengah jepitan bangunan. Foto : Luh De Suriyani

Kepala Desa Purwakerthi yang baru dilantik Nengah Karyawan mengatakan garam memang potensi daerahnya. “Dulu pesisir Amed hanya nelayan dan garam, sekarang dijual untuk homestay,” katanya.

Ia berharap kawasan dengan pemandangan bawah laut ini tak menajdi Kuta, warga lokal jadi penonton industri pariwisata. “Jangan sampai ada hotel besar, sistem desa wisata memanfaatkan rumah penduduk dan turis bisa berbaur dengan warga lokal,” lanjut pria ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,