Mencari Perempuan Pejuang Pangan, RMI dan Oxfam Gelar Kompetisi Film Pendek

Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Oxfam di Indonesia menyelenggarakan kompetisi video singkat berjudul Female Food Hero Indonesia (FFH Indonesia) atau Perempuan Pejuang Pangan. Kriteria pejuang pangan perempuan yang dicari adalah yang bergelut di pertanian, perikanan maupun wilayah perkotaan, yang menghasilkan pangan dan menginspirasi komunitas atau orang-orang di sekitarnya.

Menurut Mardha Tillah, Manajer Kampanye dan Advokasi Pengelolaan Sumer Daya Alam Berbasis Masyarakat RMI, kompetisi ini mengajak anak muda yang berusia maksimal 30 tahun dari seluruh pelosok Nusantara untuk mendukung pengakuan terhadap perempuan yang selama ini memiliki peran penting dalam rantai produksi pangan namun sering terabaikan.

“Anak muda dapat mengirimkan video pendek berdurasi maksimal 3 menit yang menceritakan tentang sosok perempuan yang dinilai luar biasa, inspiratif dalam perjuangan menghasilkan pangan. Bisa juga misalnya guru yang mengembangkan kebun sekolah, karyawan perempuan yang menginisiasi kebun kecil di tempat tinggalnya, ataupun perempuan nelayan yang berperan membudidayakan rumput laut dan mengajak komunitasnya,” urai Mardha dalam sosialisasi kompetisi ini di Kedai Pojok, Makassar, Kamis malam (11/08/2016).

Menurutnya, ide pelibatan anak muda dalam kompetisi kali ini adalah untuk mendekatkan anak muda pada isu pangan melalui pembentukan opini di media sosial.

“Maka diharapkan partisipasi mereka ini akan membuat peran perempuan dalam rantai produksi pangan jadi marak dibicarakan publik, dimulai dari sosial media. Selanjutnya, tentu saja kompetisi ini bertujuan untuk mendekatkan generasi muda kepada isu pangan,” Jelas Mardha.

Menurut Mardha, disasarnya anak muda dalam kompteisi ini karena mereka dianggap lebih terampil dalam menyampaikan pesan secara viral ke media sosial dan media-media lainnya, yang bahkan bisa menjangkau banyak ruang dimana isu pangan ini kadang tak tersampaikan dengan baik.

“Kita pernah melakukan hal yang sama di tahun 2013 dan hasilnya kemudian memunculkan perhatian pemerintah kepada 7 sosok perempuan yang terpilih sebagai pejuang pangan. Nah sekarang kita ingin melakukan hal tersebut lagi, menjadi semacam pressure dan viral bahwa peran perempuan dalam pertanian sangat besar.”

Dipilihnya isu perempuan dalam kaitannya dengan pangan dalam kompetisi ini, menurut Mardha, karena selama ini peran perempuan tidak dilihat dalam bidang pertanian. Hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Ia mencontohkan pada kolom pekerjaan di KTP untuk perempuan yang tak pernah tercantumkan sebagai petani, sehingga di data statistik dan BPS keberadaan mereka sebagai petani tak terdeteksi.

“Implikasinya adalah ketika SKPD-SKPD membuat program untuk pertanian maka mereka lebih fokus pada bapak-bapaknya saja, sementara ibu-ibunya cenderung terabaikan. Kita juga ingin mengubah mindset dengan menempatkan perempuan sejajar dalam pekerjaan. Selama ini buruh tani perempuan diupah setengah dari upah laki-laki. Laki-laki dianggap lebih berkeringat, padahal ini sebenarnya lebih pada pembagian peran. Ini bukan masalah siapa yang lebih capek dalam bekerja tapi pada peran apa yang dikerjakannya.”

Menurutnya, jumlah perempuan yang beraktivitas di sektor pangan sangat besar, mencapai 50 persen dari total populasi dan 80 persen di antaranya bekerja di sektor pertanian.

“Biasanya kalau bapaknya petani pasti ibunya juga petani. Itu tak dilihat sehingga kami ingin angkat melalui kompetisi ini. Apalagi sudah banyak literatur yang menyatakan bahwa ketika sebuah bantuan pertanian diberikan hasilnya akan lebih efektif ketika dikelola perempuan dibanding laki-laki.”

Hal lain, menurutnya, berdasarkan data World Watch Institute tahun 2015, sekitar 1,2 miliar populasi dunia saat ini dihuni adalah perempuan. Namun hanya sekitar 2 persen saja yang memiliki tanah, karena sistem agraria kita hanya menerima laki-laki. Surat kepemilikan tanah biasanya diperuntukkan untuk laki-laki.

Terkait dengan aktivitas mereka di sektor pertanian, hanya 5 persen perempuan yang pernah mendapat penyuluhan, meski peran mereka sama besarnya.

“Malah tadi ada Kepala Dusun yang cerita bahwa di kampungnya justru perempuanlah yang banyak berperan di pertanian.”

Jumlah perempuan global yang bekerja di sektor pangan mencapai 50 persen dari total populasi manusia dan sekitar 50 persen di antaranya bekerja di sektor pertanian. Foto: Wahyu Chandra.
Jumlah perempuan global yang bekerja di sektor pangan mencapai 50 persen dari total populasi manusia dan sekitar 50 persen di antaranya bekerja di sektor pertanian. Foto: Wahyu Chandra.

Menurut Mardha, kompetisi ini tidak akan melihat dari perspektif beban ganda perempuan, karena perempuan bekerja di sektor pertanian sebenarnya sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.

“Justru kami menolak anggapan bahwa perempuan hanya boleh di rumah karena memang perempuan memiliki peran tersendiri, sehingga laki-laki bisa mengerjakan hal lain. Tangan laki-laki tidak selembut perempuan dalam mensortir buah misalnya. Kita ingin laki-laki juga membantu pekerjaan domestik di rumah karena istri sudah membantu mereka di sawah. Itu yang ingin kami dorong.”

Menurut Mardha, enam sosok perempuan yang terpilih dalam kompetisi ini, selain akan diberikan penghargaan juga akan dibantu dalam hal akses agar mereka memiliki pasar sendiri untuk produk-produk yang mereka hasilkan, sehingga tidak lagi melalui tengkulak.

“Untuk anak muda video maker nya sendiri kita akan akan ada pengembangan lanjut kepada mereka.”

Pengakuan Petani Perempuan

Widiyanto, Project Manager Hak Atas Pangan Oxfam di Indonesia menjelaskan kompetisi ini dilaksanakan berangkat dari situasi dimana situasi bahwa meskipun perempuan terlibat dalam produksi pangan, baik di wilayah pesisir, pegunungan maupun di perkotaan, namun selama ini luput dari pengakuan publik. Petani dan nelayan adalah dua profesi yang biasanya diidentikkan dengan laki-laki, meski pun tak jarang peran perempuan di kedua profesi tak kalah besarnya.

“Dalam banyak riset kalau perempuan diberi akses yang sama dengan laki-laki maka mereka akan punya produksi lebih banyak 30 persen. Artinya makin banyak pula orang yang terhindar dari ancaman kelaparan. Kalau analisis dari FAO 2011 terdapat 150 juta jiwa yang bisa terhindarkan dari ancaman kelaparan kalau perempuan diberi investasi yang sama dengan laki-laki, karena perempuan i lebih produktif dalam menghasilkan pangan,” katanya.

Menurutnya, diskriminasi terhadap perempuan teruas terjadi dan kadang itu tidak disadari. Misalnya pemberian bantuan pemerintah kepada petani kadang bias dan diskriminatif pada perempuan. Bantuan alat pertanian yang diberikan kepada petani hanya familiar untuk laki-laki seperti traktor dan pupuk.

“Kita sedang mendorong paling tidak pengakuan itu diwujudkan dalam akses, perlakuan dan perlindungan yang sama. Jika perempuan penghasil pangan memiliki akses yang sama atas kredit perbankan, bantuan pemerintah maupun akses atas sumberdaya alam, maka hasil produksi pangannya 30 lebih banyak dibanding laki-laki,” tambahnya.

Perempuan terbukti lebih mampu mengelola bantuan program pemerintah dibanding laki-laki, termasuk dalam sektor pertanian. Foto: Wahyu Chandra
Perempuan terbukti lebih mampu mengelola bantuan program pemerintah dibanding laki-laki, termasuk dalam sektor pertanian. Foto: Wahyu Chandra

Female Food Hero sendiri merupakan kampanye internasional Oxfam yang dimulai di Tanzania pada 2011 dan menyebar di beberapa negara dimana Oxfam bekerja di 5 benua. Di Indonesia, FFH pertama kali diadakan pada tahun 2013 dengan memilih 7 perempuan pejuang pangan yang kiprahnya selanjutnya diakui oleh pemerintah daerah, sektor privat, hingga ke tingkat nasional sebagai Duta Ketahanan Pangan.

Female Food Hero Indonesia 2016 adalah event kedua yang diadakan di Indonesia yang mengambil format lain dengan melibatkan kelompok anak muda untuk menominasikan perempuan-perempuan pejuang pangan versi mereka,” ujar Widiyanto.

Informasi tentang kompetisi ini bisa diakses di www.perempuanpejuangpangan.org. Pengiriman video paling lambat diterima tanggal 24 September 2016.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,