Bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-71, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Anti Asap (GAAS) Kalteng mengajukan gugatan Citizen Law Suit ke Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal 16 Agustus 2016 kemarin.
Gugatan ditujukan kepada beberapa pejabat negara. Diantaranya Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur dan DPRD Kalimantan Tengah. Momentum Proklamasi sekaligus menjadi peringatan atas kelalaian negara yang mengakibatkan penderitaan bagi warga di Kalteng selama 2015.
“Mereka kami laporkan karena lalai terhadap penanganan kabut asap di Kalteng sehingga jutaan masyarakat Kalteng terpapar asap. Ada ribuan masyarakat yang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), diare, bahkan empat orang tercatat meninggal karena dampak asap. Problem asap dan Karhutla di Kalteng terjadi karena kelalaian yang dilakukan pemerintah,” jelas Arie Rompas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, yang juga ikut sebagai penggugat mengatakan (16/8/16).
Menurutnya, gugatan tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi Pengadilan Negeri Palangkaraya, dimana Parlas Nababan, sosok ketua PN Palangkaraya, sebelumnya memiliki catatan kontroversial dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel.
“Kami memperkirakan kebakaran masih akan terus terjadi, karena dalam periode satu tahun ini pemerintah belum menunjukan bukti konkrit untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan di Kalteng. Kami bersama Gerakan Anti Asap melaporkan dan berharap proses dari pengadilan ini menunjukan rasa keadilan,” kata Arie.
Menurutnya pihaknya telah mengajukan notifikasi kepada para tergugat sejak 6 Maret 2016 lalu tetapi tak mendapat tanggapan, sehingga mereka menempuh gugatan lewat PN Palangkaraya.
Arie yang juga sebagai salah seorang penggugat mengatakan, salah satu poin yang menjadi penting dalam tuntutan ini bahwa pemerintah harus meminta maaf kepada warga Negara yang mengalami penderitaan akibat kabut asap dan kebakaran hutan.
“Di hari Kemerdekan RI ke-71 harus menjadi momentum bagi Presden Jokowi untuk menyampaikan permohonan maaf sebagai perwujudan bahwa negara hadir dalam menjamin hak atas lingkungan yang sehat sebagai hak asasi manusia yang merupakan perwujudan kemerdekaan hakiki bagi rakyat Indonesia yang selama ini terpapar asap akibat kebakaran hutan dan lahan,” ujarnya.
Raynaldo Sembiring, pratiksi hukum ICEL (Indonesia Centre for Environmental Law) menambahkan bahwa pengawasan yang lemah dan minimnya ketaatan dianggap merupakan akar dari munculnya kebakaran hutan.
“Kebakaran hutan dan lahan umumnya terjadi karena minimnya pengawasan pemerintah terhadap ketaatan perusahaan. Padahal pengawasan merupakan kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, gugatan ini merupakan upaya publik untuk memaksa pemerintah lebih serius dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan,” jelasnya.
Dalam kesempatan sama Direktur Save Our Borneo, Nordin mengatakan para tergugat merupakan pihak yang memiliki otoritas hukum dan melakukan kelalaian dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sebagai aparatus negara yang dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum sehingga kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi hingga saat ini.
Sementara itu salah satu pengacara dalam gugatan ini Muhnur Satyahaprabu mengatakan, dalam gugatan ini harus ada jaminan kualitas sidang yang subtansif dan berkualitas. Diharapkan para hakim yang akan menangani gugatan ini adalah hakim yang memiliki kapasitas dan keahlian yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
“Ini berhubungan dengan hasil putusan yang berkeadilan dan merupakan tantangan terbesar bagi Parlas Nababan selaku kepala Pengadilan Negeri Palangkaraya,” katanya. Dia pun berharap hakim-hakim yang menangani kasus ini memiliki kompetensi terkait dengan lingkungan hidup, sehingga putusan putusan yang diambil memiliki substansi keadilan bagi warga dan lingkungan.
Seperti diketahui dampak karhutla tahun 2015, 122.882,90 hektar luas wilayah Kalteng terbakar, terbanyak berada di lahan gambut. Ini setara dengan dua kali luas daratan DKI Jakarta.
Hal ini mengakibatkan nilai ambang batas (NAB) konsentrasi polusi udara atau Partikulat (PM 10) mencapai 10 kali lipat di atas ambang batas normal. Sehingga membuat 13.949 warga terserang ISPA dan 4.453 warga mengalami diare dan empat orang meninggal dunia. Hal ini juga diperparah dengan diliburkannya kegiatan belajar di seluruh sekolah selama dua bulan berturut-turut. Kerugian materil lainnya diperkirakan mencapai miliaran rupiah.