Jika ada rencana berwisata ke Sulawesi Utara, jangan lupa masukkan nama pulau Lembeh dalam daftar kunjungan. Karena banyak alasan menikmati keindahanya, seperti 92 lokasi menyelam (data BPS Kota Bitung tahun 2014). Dan keindahan pantai dan pesona ekowisata mangrovenya.
Pulau Lembeh merupakan wilayah administratif kota Bitung. Luasnya 5.040 hektar. Di sana, terdapat 2 kecamatan, yaitu Lembeh Utara dan Lembeh Selatan. Total, terdapat 17 kelurahan di pulau ini.
Jika berencana mengunjungi pulau Lembeh, wisatawan bisa terlebih dahulu mendatangi dermaga Ruko Pateten, Aertembaga, tak jauh dari pelabuhan kota Bitung. Di dermaga ini, wisatawan dapat menggunakan jasa perahu taksi bermotor tempel. Ongkosnya hanya Rp5ribu, dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.
Bagi wisatawan mancanegara, pulau Lembeh bukanlah nama asing. Sejumlah resort yang berada di pulau tersebut tak pernah sepi pengunjung. Gideon Ganda, Operation Manager di Froggies Dive Resort, mengatakan, tiap hari rata-rata 20 wisatawan mancanegara menginap di tempatnya, yang tertarik dengan fenomena bawah laut di selat Lembeh.
“Selain memiliki 92 titik penyelaman, selat Lembeh juga dihuni sekitar 300 famili binatang bawah laut, dengan ribuan spesies. Salah satu primadonanya adalah mini octopus,” kata Gideon ketika ditemui Mongabay-Indonesia di ruang kerjanya, Minggu (14/08/16).
Sebagai upaya menghindari kerusakan ekosistem bawah laut, pihaknya selalu memberi arahan bagi wisatawan yang ingin menyelam. Selain itu, ada juga kesepakatan antara masing-masing resort. Satu wilayah selam, tidak boleh diisi lebih dari 15 orang. Angka itu sudah termasuk dive guide.
“Jadi selalu ada komunikasi antara masing-masing dive centre. Kalau di satu titik sudah ada aktifitas penyelaman, maka dive centre lain tidak boleh membawa wisatawan untuk menyelam di titik yang sama. Karena terlalu banyak penyelam, akan berpengaruh pada aktifitas ikan,” terangnya.
Ekowisata Mangrove di Pintu Kota
Selain wisata bawah laut, lokasi lain yang bisa dikunjungi adalah kawasan ekowisata mangrove di kelurahan Pintu Kota, kecamatan Lembeh Utara. Biayanya relatif murah. Pengunjung hanya perlu merogoh Rp2.500 untuk bisa masuk kesana.
Di sepanjang jalan menuju lokasi wisata, terdapat himbauan yang harus diperhatikan. Kemudian, di dalam kawasan, pengunjung dapat bersantai di gazebo atau berfoto-foto dengan latar tumbuh-tumbuhan mangrove.
Tak hanya itu, lebih ke dalam lagi, pengunjung bisa menyaksikan laut yang diapit 2 bukit. Lokasi ini juga menjadi tempat ideal untuk mengabadikan kenangan. Kabarnya, beberapa pasangan pernah memanfaatkannya sebagai latar foto pre-wedding.
Kawasan ekowisata mangrove Pintu Kota memiliki luasan 4 hektar. Di sana, terdapat 4 jenis mangrove, yang terdiri dari, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Soneratia alba dan Soneratia caseolaris.
Selain menikmati ekowisata mangrove, dengan sewa perahu, pengunjung bisa mendatangi obyek wisata lainnya di pulau Lembeh. Dengan tarif RP600ribu per harinya, jasa transportasi perahu akan mengantar pengunjung ke monumen Tri Kota, pulau Sarena serta pantai Pasir Panjang.
Wirasto Mutahang, Ketua Kelompok Pengelola Sumberdaya Pesisir Kelurahan Pintu Kota, menceritakan, program ekowisata mangrove dimulai sejak tahun 2015 melalui program CCDP-IFAD. Lewat program tersebut, jelasnya, masyarakat diberi arahan dan motivasi untuk mengelola sumber daya alam.
“Kami juga diberi semacam studi banding dan terinspirasi dengan ekowisata di tempat-tempat lain. Dalam pelatihan-pelatihan tersebut, tim diberi materi seputar pengenalan dunia wisata, bagaimana mengelola dan manfaat ekowisata,” katanya kepada Mongabay-Indonesia di kawasan Ekowisata Mangrove Pintu Kota.
CCDP-IFAD adalah akronim dari Coastal Community Development Project-International Fund for Agricultural Development. Lewat program-program pelatihan yang mereka selenggarakan, kata Wirasto, masyarakat menjadi tahu, selain manfaat ekonomi yang diperoleh dari ekowisata, mangrove punya peranan seperti mencegah abrasi, menahan ombak dan menangkal potensi tsunami.
“Dulu banyak masyarakat menebang mangrove untuk kayu bakar. Namun, setelah berbagai pihak memberi penyuluhan, secara perlahan kesadaran masyarakat mulai terbentuk. Tak ada lagi yang tebang mangrove.”
Kini, kawasan ekowisata mangrove Pintu Kota dikunjungi sekitar 1000-1200 wisatawan perbulan. Dengan biaya masuk Rp2.500, Wirasto memaparkan, total pendapatan per bulan antara Rp2.5juta hingga 3juta. Pemasukan itu digunakan untuk pemeliharan lokasi wisata.
Hingga saat ini, pihaknya belum berani menaikkan biaya masuk ke kawasan ekowisata. Sebab, di lokasi tersebut, fasilitas umum dirasa masih kurang. “WC belum ada, begitu juga ruang ganti. Kalau fasilitas sudah layak, kemungkinan biaya masuk bisa disesuaikan.”
Selain itu, tim di lapangan, dinilai perlu meningkatkan keterampilan mengelola situs wisata. Karena, umumnya, pengunjung datang untuk sekedar foto selfie di hutan mangrove. Pengelola kawasan ekowisata sendiri, merasa belum yakin memberi edukasi dan penjelasan kepada wisatawan mengenai jenis, manfaat dan peranan mangrove.
Sebenarnya, ujar Wirasto, akademisi telah mengidentifikasi jenis-jenis mangrove di sana. Hanya saja, nama-nama spesies belum sempat dicantumkan. Kondisi ini dirasa cukup menjadi kendala.
“Kami masih perlu meningkatkan pengelolaan di sini. Kedepannya, saya berharap, masyarakat sekitar perlu dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan terkait pengenalan dan manfaat mangrove agar mengerti,” demikian Wirasto berharap.
Konservasi Laut di Pulau Lembeh
Selain kawasan ekowisata, warga pulau Lembeh juga berupaya menjaga kelestarian lingkungan, salah satunya lewat pembentukan daerah perlindungan laut (DPL). Ketika mengunjungi kelurahan Posokan, kecamatan Lembeh Utara, Mongabay-Indonesia memperoleh keterangan tentang aktivitas konservasi di sana.
Stedy Balaati, Ketua Kelompok Pengelola Sumberdaya Pesisir kelurahan Posokan, mengatakan, sejak tahun 2013 warga telah menyepakati pembentukan DPL. Ide pembentukan DPL didasari oleh peranan penting ekosistem laut dan pesisir.
Sebab, seperti halnya hutan, karang dinilai dapat menyerap karbon. Selain itu, tambahnya, karang juga menjadi tempat memijah ikan, yang akan membantu nelayan supaya tidak menangkap ikan terlalu jauh.
Di wilayah DPL Posokan, terdapat 2 zona konservasi, yakni zona penyangga dan zona perlindungan. Kata Stedy, luasan DPL sekitar 1 hektar. Lewat musyawarah, masyarakat menyepakati lokasi lindung dan luasannya.
Wilayah yang disepakati menjadi DPL diyakini sebagai tempat karang bertumbuh dan kondisinya relatif lebih bagus dibanding tempat lain. “Sebab, dulu, masyarakat merasa susah menangkap ikan. Dengan DPL, maka ikan-ikan akan berkembang biak. Ketika mereka keluar dari lokasi lindung, maka masyarakat bisa menangkapnya,” cerita Stedy.
Warga kelurahan Posokan juga berupaya memperbaiki kondisi karang yang dinilai telah mengalami kerusakan, lewat program transplantasi karang. Dalam program itu, mereka didampingi aktivis Manengkel Solidaritas, sebuah lembaga konservasi yang berkantor di Manado.
Transplantasi karang merupakan program BLH kota Bitung yang melibatkan warga setempat. Rencananya, kegiatan itu akan dilaksanakan pada Kamis (18/8/16). Lokasi transplantasi berada tepat di dalam DPL. “Kami berterima kasih dengan adanya program ini. Dengan program transplantasi karang, kami berharap, pelestarian ekosistem laut akan semakin baik kedepannya,” pungkas Stedy.