Debit Mata Air Menurun, Masyarakat Larantuka pun Kekurangan Air Bersih

Menurunnya debit mata air Leo Matan akibat degradasi lingkungan yang ada menyebabkan sebagian warga di Larantuka, ibukota Flores Timur, sejak beberapa tahun belakangan ini mengalami krisis air. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai satu-satunya perusahaan penyalur air bersih milik Pemda pun terus menuai protes.

Praktis saat ini masyarakat mengandalkan air yang dibeli dari mobil-mobil penjual air yang saban hari hilir mudik keluar masuk gang menawarkan air pada masyarakat. Satu tanki air ukuran lima ribu liter dijual seharga 150 sampai 250 ribu rupiah. Sementara satu drum dijual seharga 20 ribu rupiah.

Data yang diperoleh Mongabay Indonesia dari PDAM Flotim menyebutkan, volume ketersediaan air baku dari kawasan mata air Bama – Blepanawa yang selama ini digunakan PDAM memenuhi kebutuhan warga kota Larantuka berkurang sangat signifikan.

Debit mata air Leto Matan sekarang tinggal 32 liter/detik dari kondisi normal 110 liter/detik, sangat tidak mencukupi untuk melayani 6 ribu pelanggan atau 30 ribu jiwa warga kota Larantuka. Dengan kebutuhan air per jiwa maksimal per hari sama dengan 80 liter, maka volume minimal yang harus disiapkan sebanyak (80×30.000 = 2.400.000 liter) atau 2.400 m³/hari.

Sementara kemampuan produksi PDAM saat ini hanya 32 liter/detik atau belum mampu memenuhi angka kebutuhan rata-rata. Padahal, jumlah pelanggan dalam 7 tahun terakhir pun meningkat sangat signifikan berbanding terbalik dengan volume produksi.

Ide Pembuatan Embung

Mariatmo Lein seorang guru warga kota Larantuka saat dijumpai Mongabay (30/7) mengaku prihatin terkait kondisi ini. Menurutnya, kondisi hutan sekitar mata air semakin gundul dan tidak ada penghijauan oleh pemerintah.

“Pemerintah hanya memanfaatkan airnya saja namun tidak memikirkan cara bagaimana meningkatkan debit mata air ini,” jelas Mariatmo, yang asal Kecamatan Demon Pagong tempat lokasi mata air Leto Matan berada.

Sambil mengingat masa yang silam, sekitar tahun 1999, Mariatmo secara swadaya pernah mengajak anak-anak Pramuka dan Larantuka untuk melakukan penghijauan di sekitar mata air Leto Matan, sayangnya karena tidak ada arahan dan pengenalan terhadap jenis tanaman sehingga pohon yang ditanam tidak efektif.

Yoseph Homenara. Foto: Ebed de Rosary
Yoseph Homenara (berbaju biru), salah satu tokoh masyarakat Desa Blepanawa saat menjelaskan persoalan mata air Leo Matan. Foto: Ebed de Rosary

Yoseph Homenara Lein, salah satu tokoh Desa Blepanawa Kecamatan Demon Pagong menyebutkan, warga desa Blepanawa sebagai pemilik mata air ini sudah lama mengusulkan lewat Musrembang maupun langsung pada PDAM Flotim dan  Bupati Flotim agar membangun embung atau bendungan, namun belum ada jawaban.

Embung tersebut menurutnya harus dibangun di kawasan rata yang luasnya mencapai ratusan hektar di bagian atas mata air Leto Matan agar bisa menampung air hujan. Selain itu perlu dilakukan penghijauan di sekitar mata air agar debit air bertambah. Komunitas adat Demon Pagong pun tuturnya sudah merelakan tanah mereka dipergunakan.

“Jika kami tidak peduli dengan warga kota Larantuka, maka kami tidak mau karena ini kan bukan kepetingan kami. Tapi kalau kami sudah bersedia menyerahkan tanah dan mengusulkan namun pemerintah tetap tidak peduli mau bagaimana. Memangnya kami masyarakat Demon Pagong mendapat untung, kan tidak,” tuturnya kesal.

Menurut Yoseph, mata air Leto Matan mulai dimanfaatkan sejak tahun 1930 pada era kolonial Belanda.

Saat itu, warga kota Larantuka masih mengandalkan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Pemimpin Belanda bersama raja Larantuka saat itu, Raja Usi, lalu  mengumpulkan tetua adat meminta agar air tersebut dapat dialirkan ke kota Larantuka.

“Waktu itu leluhur kami minta agar dibayar lima Gulden sebulan dan setiap tahun harus menyediakan kambing atau babi seekor untuk membuat ritual adat,” sebutnya.

Setelah disepakati pipa air pun di pasang di dekat mata air Leto Matan seperti tertera di prasasti yang ada disana, bahwa bak penampung diresmikan 16 November 1936. Raja Usi sepakat dan diberikan uang muka 2,5 Gulden atau 1 Ringgit saja sementara sisanya tidak diberikan sampai sekarang meski pipa sudah selesai dipasang dan dipergunakan.

Setiap tahun, terang Yoseph komunitas suku Demon Pagong khususnya Blepanawa tetap membuat ritual adat dan menyembelih ayam, kambing atau babi untuk dipersembahkan kepada leluhur, pasangan Uto Wata bersama suaminya Kopong Sede yang dipercaya sebagai “penunggu” mata air Leto Matan.

“Beberapa tahun belakangan debit mata air menurun dan hampir menghilang sehingga kami selalu membuat ritual adat agar mata air tidak mengering. Pemda tidak pernah membantu menyediakan hewan korban sehingga kami menyediakan sendiri,” pungkasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,