Riyanni Djangkaru : Saatnya Merdekakan Hiu dari Perburuan Masif  

Tanggal 17 Agustus selalu menjadi momen yang sangat istimewa bagi masyarakat Indonesia, di manapun berada. Tanggal tersebut adalah tonggak sejarah terpenting karena itu adalah pertama kali Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka.

Tahun ini, peringatan kemerdekaan Republik Indonesia sudah menginjak usia ke-71. Itu artinya, sudah 71 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan oleh negara lain. Namun, apakah di usia 71 tersebut Indonesia sudah benar-benar merdeka?

Menurut Riyanni Djangkaru sepertinya belum.

Bagi mantan presenter acara petualangan yang kini fokus menjadi aktivis lingkungan itu, momen perayaan hari kemerdekaan RI seharusnya bisa dijadikan momen untuk memerdekakan segala hal yang masih terbelenggu. Salah satunya, adalah perburuan hiu untuk dijadikan konsumsi ataupun pengobatan.

“Simpel saja. Indonesia sekarang sudah merdeka 71 tahun. Nah, harusnya yang bisa merasakan merdeka itu bukan masyarakatnya saja, tapi juga makhluk hidup lain. Hiu salah satunya,” ungkap perempuan yang menjadi Koordinator Kampanye dan sekaligus pendiri Komunitas SaveSharks itu.

Yang dimaksud dengan merdeka bagi hiu, kata Riyanni, tidak lain adalah memberi hak kemerdekaan hiu untuk lepas dari belenggu perburuan. Selama ini, hiu selalu menjadi salah satu ikan yang paling banyak dicari oleh nelayan karena harga jualnya yang sangat tinggi.

“Memerdekakan hiu juga akan melestarikan keberadaan mereka. Sudah saatnya masyarakat Indonesia peduli pada keberadaan hiu yang populasinya terus mengalami penyusutan akibat perburuan yang dilakukan nelayan ataupun pengusaha,” jelas dia.

Akan tetapi, Riyanni berpendapat, meski hiu masih banyak diburu, masyarakat atupun Pemerintah tidak tepat jika harus terus menyalahkan nelayan. Karena faktanya, nelayan itu melakukannya atas dorongan pasar yang diiming-imingi dengan harga jual dan beli yang tinggi.

“Saya pernah ke Tanjung Luar di Lombok yang menjadi kawasan produsen hiu terbesar di Indonesia. Saya melihat nelayan hanya menjadi korban saja. Nelayan itu terjebak pada dunia kapital yang mengharuskan mereka mengikuti pasar,” ucap dia.

Menurut Riyanni, karena bagian dari mekanisme pasar, langkah yang paling bijak jika ingin menyelamatkan hiu di Indonesia, adalah dengan melakukan kampanye tanpa putus di segala lini kehidupan. Termasuk, kampanye dalam jejaring sosial media yang sudah mewabah hingga ke pelosok Indonesia dalam beberapa tahun ini.

Dia meyakini, jika kampanye terus dilakukan, maka perlahan akan tumbuh kesadaran di diri konsumen yang menjadi tujuan terakhir dari sistem ekonomi kapital. Jika konsumen sudah sadar, maka permintaan hiu akan berkurang dan itu akan menurunkan produksi hiu di pusat tangkapan.

“Konsumen itu adalah penjahat utama dan paling besar. Jika ingin menyelamatkan hiu, maka sadarkan dulu konsumen. Saya yakin, akan ada hasil positif jika kampanye terus dilakukan,” tutur dia.

Deretan hiu yang ditangkap nelayan untuk diambil siripnya dan dijual di dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Foto : Wahyu Mulyono
Deretan hiu yang ditangkap nelayan untuk diambil siripnya dan dijual di dermaga Tanjung Luar di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Foto : Wahyu Mulyono

Namun demikian, Riyanni mengatakan, kampanye juga tetap harus dilakukan kepada para pelaku yang terlibat dalam bisnis jual beli hiu tersebut. Termasuk, pengusaha, nelayan, dan juga perorangan. Selain itu, Pemerintah juga harus membuat regulasi yang tegas untuk menyelamatkan hiu dari kepunahan.

Aksi Simpatik

Kampanye penyelamatan hiu yang dilakukan bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI tak hanya dilakukan SaveSharks, namun juga Greenpeace. Keduanya bergandengan tangan menggelar kampanye terbuka di lapangan kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, tepat pada Selasa, 17 Agustus.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Sumardi Ariansyah mengatakan, saat ini Indonesia masuk dalam kelompok 20 besar negara penangkap hiu terbesar di dunia. Bahkan, dalam kelompok tersebut, Indonesia menempati urutan teratas dengan prosentase tangkapan 13 persen dari total yang ada di dunia.

Sumardi menjelaskan, meski 13 dari 20 negara penangkap hiu, salah satunya Indonesia, sudah memiliki rencana aksi konservasi hiu (NPOA), namun hingga kini belum ada buktif otentik dampak dari konservasi tersebut berpengaruh pada pengelolaan hiu di lautan.

“Hiu itu rentan tereksploitasi berlebih, karena karakteristik biologinya yang lambat untuk mencapai usia dewasa. Memiliki sedikit keturunan dan berumur panjang,” jelas dia.

Tidak hanya itu, Sumardi memaparkan juga, dari penelitian yang dilakukan Andrianus Sembiring, dari 582 sampel sirip hiu yang diambil dari berbagai lokasi di Indonesia, 92 persen berasal dari jenis yang beresiko terancam punah.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,