Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus mendorong seluruh daerah untuk bisa mewujudkan kemandirian perikanan budidaya. Upaya yang bisa ditempuh daerah, salah satunya adalah dengan mengembangkan kemandirian di bidang pakan atau sarana budidaya ikan.
Di antara pakan yang bisa dikembangkan adalah artemia, yaitu pakan alami esensial untuk larva ikan dan udang. Selama ini, pakan jenis tersebut selalu didatangkan dari luar negeri, khususnya dari Amerika serikat, Tiongkok, dan Vietnam.
Agar bisa mewujudkan kemandirian pakan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) membuat terobosan dengan melakukan percontohan produksi artemia. Percontohan tersebut, menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, dimulai dari Jepara di Jawa Tengah.
“Hal ini dilakukan untuk memangkas angka impor artemia yang terbilang sangat tinggi tiap tahun,” ungkap dia kemarin.
Slamet menjelaskan, saat ini rata-rata artemiacyst yang diimpor Indonesia, dalam setahun bisa mencapai 40 ton. Kalau harga rata-rata perkilogramnya dipatok Rp1,4 juta, kata dia, maka nilai impornya bisa mencapai Rp56 miliar dalam setahun.
“Ini saya kira sangat disayangkan kalau kita sendiri tidak bisa memproduksi artemia. Sementara kita sendiri memiliki teknologi dan lahannya,” ujar dia.
Sebagai negara yang biasa memproduksi garam konsumsi dan industri, Slamet menilai, pengembangan artemia sangat cocok dilakukan. Karena, pakan tersebut memang bisa dikembangkan di daerah-daerah yang biasa menghasilkan garam. Lebih-lebih, area tambak garam nasional, berdasar data tahun 2015 seluas 25.830 ha, ini sangat luas dengan perairan yang begitu subur.
Selain Jepara, Slamet menyebut, pihaknya juga mengembangkan percontohan artemia di daerah lain, seperti Rembang dan Pulau Madura. Di Jepara saja, kata dia, lahan yang digunakan untuk artemia mencapai 5 hektare, Rembang seluas 10 ha, dan Madura seluas 0,5 ha. Semuanya bekerja sama dengan PT Garam.
“Dengan tingkat penguasaan teknologi yang mumpuni, proyek percontohan ini diharapkan dapat diduplikasi oleh masyarakat pembudidaya khususnya di wilayah pesisir. Sehingga mampu menambah pendapatan khususnya bagi petambak garam,” tutur Slamet.
Berdasarkan analisa usaha budidaya artemia yang dilakukan di areal tambak garam, usaha budidaya ini cukup menguntungkan. Dari 1 hektar lahan budidaya artemia, dapat menghasilkan 200-300 kg cystartemia per siklus (3-4 bulan di musim kemarau).
Dengan harga artemiacyst per kilogram basah adalah sekitar Rp300 ribu, maka akan diperoleh hasil Rp60 juta – Rp90 juta per siklus. Kemudian, biaya produksi budidaya artemia per siklus per hektar berkisar Rp15 juta-Rp20 juta. Apabila dihitung, maka keuntungan yang akan diperoleh adalah Rp40 – Rp60 juta per siklus (3 – 4 bulan).
Artemia Tak Kurangi Produksi Garam
Sebagai produk percontohan, KKP sangat berharap bisa menuai kesuksesan. Utamanya, karena artemia bisa diproduksi dalam bentuk cysts maupun biomas (hidup). Dengan demikian, menurut Slamet Soebjakto, saat waktu panen tiba, pembudidaya akan mendapatkan panen dua sekaligus, artemiacyst dan artemiabiomass.
“Produksi biomass artemia per hektar adalah 400 kg dengan harga mencapai Rp75 ribu per kilogram. Artinya, dalam setiap hektar lahan, biomas artemia yang dihasilkan bernilai sekitar Rp 30 juta,” ungkap dia.
Slamet memaparkan, budidaya artemia bisa berjalan beriringan dengan produksi garam, karena pada saat bersamaan air yang dihasilkan dari produksi artemia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan produksi garam. Tidak itu saja, air dari artemia juga diyakini mampu meningkatkan kualitas garam yang diproduksi.
“Hal ini sudah dilakukan di lokasi tambak garam PT. Garam di Madura,” sebut dia.
Untuk meningkatkan produksi artemia dari segi volume maupun kualitas, Slamet menuturkan, pihaknya akan menggunakan tenaga ahli dari Belgia. Tujuannya adalah, untuk mengawal kualitas artemia dan membantu memperluas jaringan pasar luar negeri.
“Dengan demikian,artemia yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk impor dan tentunya dengan harga yang terjangkau. Karena kalau kita impor dengan berat 450 gram per kaleng, harganya mencapai Rp800 ribu. Ini terlalu mahal, dan ini membuat usaha budidaya menjadi tidak efisien,” tandas dia.
Selain dari sisi volume dan kualitas produksi, Slamet juga menjanjikan ada penyerapan produk artemia d tingkat nasional. Janji tersebut diungkap, agar para pembudidaya bisa fokus untuk mengembangkan produk artemia hingga bisa mengurangi ketergantungan impor.
Untuk tahap pertama, menurut Slamet, DJPB telah menjalin kerjasama dengan dua BUMN dan satu swasta, yakni Perum Perikanan Indonesia (Perindo), PT Garam, dan PT. Arafura Marikultur. Ketiga perusahaan tersebut diminta untuk berperan dalam penyerapan artemia basah dari para pembudidaya untuk diproses lebih lanjut lalu dipasarkan.
“Artemia adalah pakan utama larva yang mengandung asam lemak tak jenuh dan protein sangat tinggi, mempunyai berbagai macam asam amino yang esensial untuk keperluan pertumbuhan larva ikan dan udang, sehingga tepat sekali digunakan untuk pakan larva ikan, udang, ikan hias, dan jenis larva ikan lainnya,” pungkas dia.