Jaga Kelestarian Kampung Maryam, Warga Tak Mau Ada Sawit

boven9-berfoto bersama warga kampungWarga Kampung Maryam, berfoto bersama kelompok survei kampung. Warga kampung menanam beragam tanaman baik pertanian maupun perkebunan. Mereka tak ingin sawit masuk ke kampung ini. Foto: Agapitus Batbual

Matahari seakan enggan bersinar, awal Agustus lalu. Sejak malam hingga pagi hari hujan deras mengguyur.

Sekitar 30 orang berbagai instansi harus berangkat survei empat kampung yaitu Kampung Ampera, Maryam, Patriot, Kampung Mawan.

Tiga kendaraan roda empat parkir di Aula Gereja Rehobot. Waktu bersamaan, kelompok lain bergegas ke pelabuhan lama di pinggiran Kali Digoel. Kami menggunakan dua speedboat berkuatan 80 PK.

Cuaca gerimis.  Kami harus ekstra hati-hati. Pasang surut air tak menentu. Saat itu, air pasang, berbagai jenis kayu hanyut. Kami menuju Kampung Maryam.

Noldi Abraham, sebagai fasilitator, pernah bertugas lama di Boven Digoel. Kampung Maryam berpenduduk 55 keluarga atau 300 orang. Untuk transportasi,  seperti ke Pasar Tanah Merah,  warga mengandalkan speedboat atau perahu ketinting.  Berjarak tiga jam perjalanan jika memakai speedboat dengan biaya Rp100.000 perorang. Kalau mendayung harus bermalam.

Saat menginjakkan kaki di jembatan beton, pandangan tertuju pada puncak bukit. Kiri jalan utama tertata rapi, berbagai pohon dari sagu, karet sebesar dua pelukan orang dewasa.

Kampung Maryam, masuk Distrik Mandobo. Warga sepakat menolak sawit apapun alasannya. Mereka memilih tanaman bermanfaat secara ekonomi dan bernilai konservasi.

“Kami harus tanam karet karena ini mampu menahan abrasi sungai, air tanah terjaga, sumber air terpelihara,” kata  Kaspar Got Dombanop, Kepala Kampung Maryam.

Dia dan warga tak mau Kampung Maryam, ada kebun sawit.

Pemilik tanah, katanya, melarang mereka menebang hutan.

“Jadi kami ambil kayu bakar untuk masak. Tuan tanah tak mau kami menebang hutan, tapi boleh manfaatkan apa yang ada seperti kayu kering atau kayu roboh,” katanya.

Pemilik tanah Kampung adalah Marga Maliyan. Marga pendatang adalah Dombanop,  Milianop, Lanukut, Kombanop, Bunanderop, Balio, Wait, Firimbulok dan Ninggan.

Flora umum di daerah ini, seperti, sagu, karet, pinang, kayu besi, matoa, kelapa, damar, genemo, pakis merah, awut  (pakis besar). Sedang fauna, ada babi hutan, tikus tanah, landak, kasuari, muri, sampai ayam hutan.

Hasil alam melimpah dari hutan dan Kali Digoel, seperti ikan mas, gurame, kakap, duri.

Paulus Taman Metemko, warga Kampung Maryam, mengatakan, pernah beberapa orang utusan perusahaan sawit datang di Kampung Mariam. Mereka mau berdiskusi soal keinginan membuka sawit. Warga menolak.

“Kami hanya inginkan karet. Perusahaan sawit kami tolak,” katanya.

Karet, ucap Paulus, berguna menahan longsor, air tanah, juga sumber air. “Karet tanaman bersahabat, tak merusak tanah serta tanaman lain di sekitar.”

Warga Kampung Maryam, hanya berkebun kecil-kecilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sagu, pisang, keladi, dan pakis.

***

Kanan kiri Kali Digoel,  terhampar hutan nan lebat. Di bantaran kali tampak berdiri bevak, tempat istirahat warga bila hujan atau panas usai berkebun. Jejeran mangrove hijau di sepanjang Kali Digoel.

Motoris menujuk bukit tinggi dari atas speedboat.

“Inilah Bukit Tanah Tinggi,  bekas penjara tokoh proklamator RI, M Hatta,” kata Yustinus Butiop, motoris yang mengantar kami.

Sayangnya, tempat ini selalu sepi pengunjung karena terletak agak jauh di belantara Boven Digoel. Di tepian bukit, telihat jelas bekas reruntuhan.

Bukit sangat tinggi dilihat dari kali. Bila ada pelarian zaman Belanda kemungkinan besar tak bisa lolos karena jadi santapan buaya yang terkenal sangat buas kala itu.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengelola tempat ini. Hanya ada rumah dan berdera merah putih berkibar.

“Belanda sangat pintar mengasingkan pejuang Indonesia. Bila mereka melarikan diri sudah pasti diterkam buaya. Nyamuk malaria terkenal ganas disini,” kata Derek Waroy.

Tanah Tinggi, dengan hutan masih lebat. Foto: Agapitus Batbual
Tanah Tinggi, dengan hutan masih lebat. Foto: Agapitus Batbual

Leonard Yansen Yembise, anggota kelompok survei tampak senang melihat sebatang kayu hanyut di samping speedboat. Seekor buaya berjemur santai di atas kayu.

Kasar Got Melianop, Kepala Kampung Maryam, mengatakan, belum pernah ada perhatian Pemerintah Boven Digoel, termasuk Pemerintah Distrik Mandobo terhadap kampung ini.

Mereka, katanya,  tak pernah melihat Kampung Maryam. Padahal, Tanah Tinggi menjadi saksi sejarah perjuangan.

“Terakhir kami merasakan pembangunan zaman Gubernur Barnabas Suebu.”

Di Kampung Maryam,  hanya Kali Digoel,  pusat mata pencaharian warga meskipun ada tiga kali lain yaitu Wemberop, Moktanop, Biakai.   Menurut mereka,  pemilik dusun Marga Suku Auyu.

Di samping Kali Digoel terletak Suku Mandobo. Transportasi satu-satunya lewat Kali Digoel.

 

 

Survei kampung

Paschalina Rahawarin, Koordinator Proyek WWF Indonesia-Lestari mengatakan, Papua memiliki tutupan hutan luas di Indonesia.

Daerah ini,  hanya bisa dijangkau melalui gunung, rawa, dan sungai. Kondisi ini, membuat sebagian masyarakat di Papua,  masih sulit akses informasi, pelayanan pemerintah maupun dari lembaga lain. Menjangkau wilayah inipun, katanya, memerlukan biaya besar.

“Yang jauh di pedalaman Papua, hutan penyerap emisi dan keragaman hayati masih terjaga,”  katanya.

Dia bilang, perlu melibatkan masyarakat lewat survei kampung berkelanjutan.

Survei kampung ini, katanya,  bekerja sama dengan USAID Lestari guna mendukung pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, melestarikan keragaman hayati, ekosistem hutan mangrove bernilai tinggi serta kaya simpanan karbon.

Proyek ini, menerapkan pendekatan lansekap dengan mengintegasikan aksi konservasi dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi di lahan-lahan terdegradasi.

“Ini bisa tercapai melalui perbaikan tata guna lahan, hutan lindung, perlindungan spesies, kelola hutan dan industri berkelanjutan untuk pemangku kepentingan.”

Dana pelatihan ini, berasal dari Lestari bersama mitra yaitu WWF  Indonesia, Winrock Internasional, Wildlife Conservasion Society (WCS), Blue  Forests. Juga, Yayasan Sahabat Cipta, PT. Hydro South Pole Carbon, Sustainable Travel International (ISTI), Micigan State Universty dan FIELD Foundation.

Antonius Kandam, Asisten Bidang Pembangunan Boven Digoel mewakili Bupati Benediktus Tambunop, mengatakan, pengumpulan data penting untuk membantu pemerintah membuat program konservasi dan pengelolaan hutan serta sumberdaya alam sesuai kebutuhan wilayah dan masyarakat.

WWF-Lestari, katanya, memang hanya turun ke beberapa kampung yang telah ditentukan. Namun, katanya, bisa menjadi pelajaran bagi semua peserta untuk bisa survei seluruh kampung di Boven Digoel.

Mangrove yang tumbuh subur. Foto: Agapitus Batbual
Mangrove yang tumbuh subur. Foto: Agapitus Batbual
Solar panel di Kampung Maryam. Foto: Agapitus Batbual
Solar panel di Kampung Maryam. Foto: Agapitus Batbual
Karet tanaman warga. Foto: Agapitus Batbual
Karet tanaman warga. Foto: Agapitus Batbual
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,