Naik Status, Perlindungan Orangutan Kalimantan dan Habitatnya Harus Serius

Awal Juli 2016, IUCN (International Union for Conservation of Nature) menetapkan status orangutan kalimantan naik ke level Kritis (Critically Endangered/CR) yang sebelumnya Genting (Endangered/EN). Pil pahit yang mau tak mau harus kita telan saat merayakan Hari Orangutan Sedunia yang selalu diperingati setiap 19 Agustus.

Orangutan merupakan salah satu jenis kera besar yang hidup di Indonesia dan Malaysia (Borneo), sedangkan tiga kerabat dekatnya yaitu gorila, simpanse, dan bonobo berada di Afrika. Perbedaannya adalah, orangutan cenderung sendiri (semi-solitary), sedangkan gorila, simpanse, dan bonobo hidup berkelompok.

Diperkirakan, sekitar 20 ribu tahun silam, orangutan tersebar luas di Himalaya, India, Tiongkok bagian selatan, Semenanjung Malaysia, serta di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Namun, sebagian besar telah punah dan kini, 90 persen orangutan hanya ada di Indonesia yaitu Sumatera dan Kalimantan dan 10 persen, sisanya, di Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Di Indonesia, kita hanya mengenal dua jenis orangutan yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii) yang tersebar di wilayah sempit, mulai Jantho (Aceh) hingga Sitinjak (Tapanuli Selatan), dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

Orangutan kalimantan sendiri yang jumlahnya diperkirakan sekitar 54 ribu individu dikelompokkan menjadi tiga anak jenis. Pertama, Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di utara Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) hingga ke timur laut Sarawak (Malaysia); kedua, Pongo pygmaeus morio yang hidup di Sabah (Malaysia) hingga ke selatan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur; ketiga, Pongo pygmaeus wurmbii yang terlihat mulai dari bagian selatan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) hingga timur Sungai Barito (Kalimantan Tengah).

Hal menarik, orangutan memiliki 97 persen genetik yang hampir sama dengan manusia. Meski begitu, orangutan tidak memiliki selaput suara yang membuatnya tidak bisa bicara. Sementara berat otaknya hanya sepertiga dari otak manusia.

Kejora yang sedang belajar keterampilan hidup di Sekolah Hutan di Nyaru Menteng. Foto: BOSF/Indrayana
Kejora yang sedang belajar keterampilan hidup di Sekolah Hutan di Nyaru Menteng. Foto: BOSF/Indrayana

**

Monterado Fridman, Koordinator Divisi Komunikasi dan Edukasi BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, menuturkan saat ini ada sekitar 478 individu orangutan di pusat rehabilitasi tersebut, termasuk 22 bayi (usia 3 tahun ke bawah).

“Lima individu orangutan liar yang kami rescue beberapa waktu lalu kondisnya menyedihkan. Ada yang patah tulang, buta, luka bakar, dan trauma. Mereka korban kebakaran hutan dan lahan yang terjadi 2015 lalu, selain akibat konflik dengan manusia. Mereka akan disembuhkan, tapi tidak direhabilitasi karena statusnya orangutan liar,” papar Agung, biasa disapa.

Agung menjelaskan, orangutan yang berada di pusat rehabilitasi tersebut merupakan korban. Bila diurutkan, yang tertinggi adalah hutan yang merupakan habitat alami orangutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang baik emas maupun batubara, dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Bila diranking kembali, perkebunan kelapa sawit berada di urutan puncak, sekitar 60 persen.

“Modusnya, ada juga yang tidak langsung, seperti pihak perusahaan sawit memberikan cuma-cuma orangutan di wilayahnya kepada masyarakat sekitar. Ketika BKSDA melakukan penyitaan, pihak perusahaan lepas tanggung jawab, ini yang terjadi.”

Orangutan jenis apa saja yang ada di Nyaru Menteng Ini? Agung menuturkan, awalnya semua jenis orangutan kalimantan ada di pusat rehabilitasi tersebut. Namun, setelah dilakukan pengecekan DNA, maka orangutan yang ada tersebut dikembalikan sesuai wilayah persebarannya. Saat ini, hanya orangutan Pongo pygmaeus wurmbii yang direhabilitasi untuk selanjutnya dilepasliarkan di wilayah Kalimantan Tengah juga.

BOSF Nyaru Menteng, telah mendapatkan izin pelepasliaran di dua lokasi. Di Hutan Lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya, telah dilepasliarkan sebanyak 167 individu orangutan sepanjang 2012 hingga April 2016. Plus, empat bayi yang lahir yang berarti sudah terbentuk populasi baru di areal tersebut. Secara keseluruhan, Bukit Batikap mampu menampung hingga 300 individu orangutan, namun pihak BOSF kemungkinan besar akan melepaskan sebanyak 250 individu. Sisanya, sebanyak 50 individu dialokasikan untuk orangutan yang berkembangbiak.

Lokasi kedua adalah areal baru di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di Kabupaten Katingan. 11 Agustus 2016, merupakan pelepasliaran perdana 10 individu orangutan di wilayah ini. Diperkirakan, sekitar 300 individu orangutan bisa dirilis di areal tersebut, namun sebagaimana di Bukit Batikap, kemungkinan besar sebanyak 250 individu saja yang dilepasliarkan.

Jumlah orangutan kalimantan dan persebarannya. Sumber: Presentasi Sri Suci Utami Atmoko
Jumlah orangutan kalimantan dan persebarannya. Sumber: Presentasi Sri Suci Utami Atmoko

Untuk melepasliarkan, bukanlah hal mudah. Butuh waktu panjang, rata-rata 6-7 tahun untuk merehabilitasi orangutan dahulu, melatih dan mengembalikan sifat liarnya, sebelum dikembalikan ke hutan. Andai orangutan sitaan yang direhabilitasi usinya 5 tahun, yang berarti selama waktu tersebut perilakunya seperti manusia yang makan nasi dan minum air soda sehingga ia menganggap dirinya manusia, ini merupakan pekerjaan paling sulit. Dengan kata lain, butuh waktu dua kali lipat dari yang ada, yang otomatis lebih dari tujuh tahun untuk merehabilitasinya.

“Ada empat fase menuju pelepasliaran. Karantina, sosialisasi, pra-pelepasliaran, dan pelepasliaran.”

Terkait status orangutan kalimantan yang menyandang gelar Kritis, menurut Agung, ini bukanlah kabar gembira, tapi menyedihkan bagi dunia konservasi. Secara kasat mata, tanda-tanda terancamnya primata ini memang terlihat dari kebakaran hebat hutan dan lahan yang terjadi beberapa tahun belakangan yang ditambah perburuan dan perdagangan ilegal. “Berdasarkan data estimasi BKSDA Kalimantan Tengah, jumlah Pongo pygmaeus wurmbii hingga 2004 adalah 31.300 individu. Sebelumnya, sekitar 35 ribu individu.”

**

Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah merupakan habitat orangutan liar kalimantan yang jumlahnya sekitar 6.000 – 9.000 individu, sebagaimana dikutip dari website Taman Nasional Sebangau. Sebagian besar kawasan ini merupakan tanah gambut dengan kedalaman bervariasi hingga 12 meter.

Sebangau ditunjuk sebagai kawasan pelestarian alam melalui SK 423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 seluas 567.800 hektare. Ada dua pertimbangan besar yaitu, perwakilan ekosistem rawa gambut yang relatif masih utuh dengan karakteristik ekosistem yang unik ditinjau dari jenis tanah, topografi, hidrologi, flora dan fauna; serta memiliki keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang tinggi. Kawasan ini merupakan pendukung tiga daerah aliran sungai (DAS) utama yaitu Katingan, Sebangau, dan Kahayan.

Okta Simon, Project Leader Sebangau WWF-Indonesia, menjelaskan Sebangau memiliki wilayah gambut yang relatif baik dan merupakan habitat orangutan dengan populasi yang stabil. “WWF bersama para peneliti orangutan telah melakukan survei populasi orangutan untuk keseluruhan Sebangau pada 2006-2007 yang jumlahnya sekitar 5.400 individu. Hanya, dalam publikasi populer, dituliskan jumlah rentangnya yaitu 6.000 – 9.000 individu orangutan.”

Tahun 2015, survei orangutan kembali dilakukan. Angka yang didapat kali ini adalah 5.840 individu orangutan. Bila jumlah 5.400 individu dijadikan acuan maka terjadi kenaikan populasi orangutan di taman nasional ini sekitar 7,8 persen. “Peningkatan populasi ini terjadi karena adanya upaya pemberdayaan masyarakat, restorasi hidrologi, dan pengamanan kawasan yang terbukti ampuh membuat kehidupan orangutan tidak terganggu.”

Taman Nasional Sebangau. Foto: Dok. Taman Nasional Sebangau
Taman Nasional Sebangau. Foto: Dok. Taman Nasional Sebangau

Okta menuturkan, bicara orangutan tentunya bukan hanya yang ada di Sebangau. Ini dikarenakan, sekitar 78 persen orangutan yang ada saat ini berada di luar kawasan konservasi. Ancaman utama yang dihadapi orangutan liar saat ini, terutama di Kalimantan Tengah, adalah gambut yang terbakar dan konversi lahan yang menyebabkan orangutan terkadang turun ke permukiman warga. Akibatnya, terjadi konflik yang tak jarang orangutan menjadi korban. “Bila mengacu data, orangutan yang ada di Sebangau terlihat stabil, bahkan meningkat. Namun, tantangan sebenarnya adalah bagaimana menjaga gambut sekaligus menyelamatkan orangutan yang berada di luar kawasan konservasi.”

Seberapa besar daya dukung Sebangau sebagai habitat orangutan? Okta menuturkan, inilah hal penting yang harus dipikirkan mengingat luasan Sebangau yang tetap namun jumlah orangutannya meningkat. Kajian harus dilakukan, sehingga bila wilayah ini dijadikan lokasi translokasi orangutan eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektare di Blok C maupun korban konflik. “Jangan sampai di masa mendatang menjadi sumber masalah baru.”

**

Menyelamatkan hidup orangutan sudah pasti berkaitan erat dengan menjaga habitat alaminya, hutan. Bernat Ripoll Capilla, co-Director Borneo Nature Foundation (BNF), lembaga yang meneliti primata dan satwa liar, menuturkan sejak 2015 BNF telah melakukan kajian orangutan melalui Rungan River Orangutan Conservation Programme (RROCP). Melalui pendekatan landsekap untuk konservasi daerah aliran sungai (DAS) Rungan, Kalimantan Tengah, program ini memiliki tujuan besar melindungi hutan beserta populasi orangutan yang hidup di dalamnya.

Bentang alam yang berawal dari Kota Palangka Raya hingga Kabupaten gunung Mas ini mencakup 100 ribu hektare. Di dalamnya, ada rawa gambut, hutan kerangas, hutan ulin, serta satwa terancam punah. Wilayah yang kaya akan ragam hayati dan relatif utuh ini hingga sekarang belum ada kegiatan konservasi sebagai benteng perlindungan. “Survei awal telah kami lakukan 2010 lalu dan saat ini terus berlangsung. Wilayah tersebut kedepannya perlu mendapat status apakah hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan desa yang tujuannya untuk konservasi. Bukan yang lain,” tutur Bernie, panggilannya.

DAS Rungan. Foto: Rahmadi Rahmad
DAS Rungan. Foto: Rahmadi Rahmad

Bernie menjelaskan, perlindungan orangutan saat ini tidak bisa lagi digunakan konsep individu, tetapi populasi. Tidak cukup ratusan, melainkan ribuan. Status orangutan kalimantan yang saat ini Kritis alasan utamanya sehingga konsep perlindungan populasi harus dijalankan di hutan Rungan yang nyatanya memungkinkan. “Berdasarkan estimasi, sekitar 2.000 individu orangutan ada di sini. Nantinya, akan dibuat informasi lengkap mengenai persebaran orangutan, strategi konservasi, dan rekomdasinya.”

Ancaman nyata yang mulai tampak di sekitar hutan Rungan adalah mulai bergeraknya perusahaan sawit, konsesi kayu, tambang, dan kebakaran gambut. Bila tidak ada solusi, dikhawatirkan bentang alam tersebut akan rusak dan terpecah. “Padahal, di wilayah ini bukan hanya orangutan yang berdiam, tetapi juga ada macan, kucing hutan, beruang, kelasi atau lutung merah (Presbytis rubicunda), owa kalimantan (Hylobates albibarbis), dan bangau storm (Ciconia stormi) yang statusnya Genting (Endangered).”

Bernie menjelaskan, survei di kawasan seluas 100 ribu hektar tersebut akan terus dilakukan. Berikutnya, analisa bentang alam dan peta distribusi orangutan akan dibuat sebagai bahan rekomendasi ke semua pihak akan pentingnya wilayah ini untuk kegiatan konservasi. “Harapan kami, tahun ini aksi penyelamatan orangutan bisa dijalankan.”

Rungan River Landscape. Peta: BNF
Rungan River Landscape. Peta: BNF

Sri Suci Utami Atmoko, dari Pusat Riset Primata Fakultas Biologi Universitas Nasional menuturkan, status orangutan kalimantan yang saat ini Kritis bila dilihat dari sisi habitat memang memungkinkan. Hutan gambut di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, telah terokupasi oleh perusahaan besar. Jumlah konflik antara orangutan dengan manusia yang dihadapi juga tinggi. “Meski begitu, harusnya dilihat secara seimbang karena program penyelamatan orangutan kalimantan juga berjalan,” paparnya, saat ditemui Selasa, 16 Agustus 2016.

Suci menjabarkan, hal penting yang harus diperhatikan dari peningkatan status tersebut adalah data yang diaplikasikan tersebut belum menyeluruh. “Saat ini, perhitungan PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) orangutan 2016 yang pastinya data tersebut lebih lengkap, sedang dilakukan,” ujar peneliti yang aktif di Forum Orangutan Indonesia (Forina) ini.

Apakah nasib orangutan kalimantan yang bila tidak dilakukan perlindungan sistematis dan terarah sebagaimana orangutan sumatera yang hanya berada di wilayah yang sempit? Bila dilihat dari peta, ada gelagat seperti itu. Menurut Suci, ada hal yang harus diperhatikan terkait habitat orangutan kalimantan ini.

Hutan Kehje Sewen, misalnya. Lahan konsesi PT. RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia) di Kalimantan Timur yang didirikan oleh Yayasan BOS, 21 April 2009 dengan tujuan spesifik, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) untuk pelepasliaran orangutan itu harusnya diberi dukungan. “Namun, restorasi tersebut harus bayar pajak perizinan dan perlakuannya sama dengan pengusaha. Padahal, tujuannya jelas membantu pemerintah, sementara dari pemerintah sendiri belum tampak kebijakannya untuk wilayah alternatif pelepasliaran.”

Kedua, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK, menggerakkan unit pelaksana teknis (UPT) untuk lebih intensif bekerja sama dalam pelepasliaran orangutan. “Survei awal sudah kami lakukan di Taman Nasional Betung Kerihun yang kemungkinan besar bisa dipergunakan untuk pelepasliaran Pongo pygmaeus pygmaeus.”

Ketiga, Direktorat Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial diharapkan dapat membuat koridor-koridor dengan skala landscape. Skala ini pastinya tidak dalam luasan yang sedikit, tetapi menyeluruh. Kawasan ini sedang diwujudkan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. “Berbagai kombinasi yang coba diterapkan untuk orangutan ini, diharapkan menjadi role model bagi penyelamatan satwa liar lainnya,” jelas Suci.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,