Menjaga Danau Begantung: Danau Air Hitam, Surganya Para Pemancing

Perahu kayu yang kami tumpangi mulai mengarungi Sungai Kahayan. Di sore hari pertengahan Agustus itu, sinar matahari keemasan tampak dari ufuk barat. Terlihat beberapa perahu cess nelayan hilir mudik di hadapan. Sebagian menuju tempat sama, Danau Begantung.

Sekira sepuluh menit kemudian, kami sampai di persimpangan sungai. Batas antara Sungai Kahayan dan aliran sungai kecil. Warnanya kontras. Jika Sungai Kahayan berwarna cokelat pekat, aliran sungai kecil yang kami lalui berwarna hitam, khas air ekosistem gambut. Cess berbelok menuju aliran sungai kecil tersebut.

Berjalan tak lama, tampaklah gerbang yang dipasang di atas sungai. Didekatnya terlihat sebuah bangunan dari kayu yang difungsikan sebagai pos penjagaan.

“Ini gerbang menuju Danau Begantung. Kalau malam hari tiba, pintunya dikunci,” jelas Adi Harjo, seorang nelayan yang jadi pemandu kami.

Dibuatnya gerbang dan pos penjagaan menuju danau tersebut bukan tanpa alasan. Adi mengatakan, keindahan danau terancam oleh orang-orang tak bertanggungjawab, termasuk mereka yang melakukan praktek penyetruman dan penggunaan racun.

Itulah mengapa gerbang menuju danau selalu dikunci oleh warga terakhir yang keluar dari danau. Kuncinya diserahkan kepada Pengurus Dusun. Keesokannya, saat warga hendak menuju danau, kunci gerbang diambil kembali.

“Danau ini kami jaga betul. Karena disinilah sumber mata pencaharian kami,” katanya.

Seorang warga memperlihatkan ikan hasil tangkapannya di Danau Bagantung. Foto: Indra Nugraha
Seorang warga memperlihatkan ikan hasil tangkapannya di Danau Begantung. Foto: Indra Nugraha

Adi adalah satu dari warga Dusun Tanjung Pusaka yang terletak di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Di dusun yang terdiri dari 41 KK hampir semua berprofesi sebagai nelayan sungai. Warga biasa mencari berbagai jenis ikan air tawar mulai dari toman, tahuman, kerana, betok, baung, tapah, lele, trandang, puyuk dan lainnya. Jika danau rusak, maka rusak pulalah sumber mata pencaharian mereka.

“Saya biasanya ke danau mulai dari jam lima sampai sepuluh pagi. Dalam sehari biasanya dapat ikan 10 sampai 15 kilo. Biasanya hasil tangkapan langsung dijual ke penampung, ada juga yang dari Palangkaraya langsung datang ke sini,” katanya. 

Harga ikan tergantung musim. Pada musim ikan, harga sedikit murah, antara 20-40 ribu perkilogram, sedangkan udang antara 80-120 ribu perkilogram. Warga biasanya menangkap ikan dengan alat tradisional seperti tempirai, bubu dan sebagainya.

Adi mengatakan, nelayan warga Tanjung Pusaka harus patuh pada peraturan yang telah mereka sepakati bersama selama puluhan tahun. Alat tangkap ikan yang digunakan harus lah yang ramah lingkungan. Jika melanggar, akan dikenakan sanksi. “Sampai menyetrum ataupun meracun ikan di Danau Begantung, bisa diusir dari kampung. Itu aturannya.”

Menurutnya, nama Danau Begantung berasal dari kata bergantung yang dipercaya berasal dari keberadaan sebuah pulau kecil yang ada di danau tersebut. Masyarakat meyakini pulau itu dulunya menggantung dan letaknya sering berpindah-pindah.

Danau ini terdiri dari lima bagian, disatukan oleh aliran sungai berwarna hitam. Ukuran tiap bagian danau berbeda-beda, belum ada yang memetakan berapa sebenarnya luas pasti danau ini. Sepanjang mata memandang, danau berair hitam itu sangat luas membentang.

Di sekeliling danau tersebut banyak pohon tumbuh menjulang, meski di bagian lainnya lagi tampak kerusakan akibat sisa kebakaran tahun lalu.

“Dulu bagus sekali. Saat kebakaran tahun lalu, api datang dari kanal eks PLG. Merembet ke hutan yang ada di sekitar Danau Begantung. Jarak danau ke kanal primer eks PLG hanya lima kilometer,” jelas Adi.

Upaya Menjaga Kelestarian Danau

Untuk menjaga kelestarian Danau Begantung, masyarakat  membuat aturan tertulis yang sudah diterapkan sejak lama dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Suriansyah, Ketua RT 01 Dusun Tanjung Pusaka mengatakan, siapa pun yang akan menggantikan posisinya kelak di kemudian hari, harus tetap berpegang teguh pada aturan yang sudah ada.

“Ketua RT harus tegas menegakan aturan tersebut.”

Aturan itu berisi soal alat tangkap ikan yang boleh digunakan, larangan menyetrum dan menggunakan racun dalam menangkap ikan, hingga soal ukuran jaring yang digunakan. Jaring yang digunakan harus yang berukuran cukup besar. Dengan demikian populasi ikan tetap terjaga dan memberikan kesempatan bagi ikan-ikan berukuran kecil untuk tumbuh.

Selain itu, patroli setiap malam juga rutin dilakukan. Jumlah warga yang ikut patroli antara empat sampai lima orang tiap malamnya. Warga yang dilibatkan adalah mereka yang berumur 16 sampai 45 tahun. Jika menemukan orang luar yang melakukan kegiatan mencurigakan, mereka langsung lapor pada Suriansyah.

“Terutama tiap kemarau saat air agak surut, ada forum rapat bersama masyarakat. Kita diskusi apa yang perlu dilakukan untuk menjaga  danau dari ancaman orang tak bertanggungjawab. Kita jaga tiap hari. Warga kita kumpulkan, dan kita bagi jadwal patroli malamnya,” ujarnya.

Suriansyah menampik jika dikatakan sumberdaya danau lalu disebut dimonopoli hanya oleh warga dusunnya. Baginya, warga lain dipersilakan mengambil ikan, namun harus melaporkan alat tangkap yang digunakan dan juga memberikan kontribusi bagi pengelolaan danau.

“Kalau alat tangkapnya yang tradisional gak apa-apa. Kalau dari luar dia harus bayar lima puluh ribu rupiah untuk kontribusi pemeliharaan danau. Dana itu untuk membersihkan sungai, dan membiayai kegiatan patroli rutin. Uang dikumpulkan di bendahara.”

Suriansyah mengatakan, jika ada warga luar yang kedapatan menyetrum ataupun meracun di area Danau Begantung, akan dikenakan sanksi hingga sejuta rupiah. Tak hanya itu, mereka pun akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

“Pernah dulu tahun 2013, ada enam orang dari Tumbang Nusa kedapatan menyetrum. Langsung kita laporkan dan ditangkap ke Kapolsek. Begitupun yang kedapatan meracun,” katanya.

Untuk warga Dusun Tanjung Pusaka, Suriansyah menjamin tak ada satupun warga yang menyetrum dan meracun di area Danau Begantung. Kesadaran warga dalam menjaga kawasan Danau Begantung sudah dianggap cukup tinggi.

Danau Bagantung-1
Masyarakat menggantungkan hidupnya dari mencari ikan di Danau Bagantung. Foto: Indra Nugraha

Bahkan menurutnya, masyarakat Taruna Jaya pernah menolak usulan Kepala Desa untuk memasukkan sawit ke wilayah mereka. Masyarakat sadar akan dampak akumulasi pestisida yang dipakai di kebun sawit. 

“Meskipun dia bilang jauh dari danau, seandainya 5 km dari danau, tahun ini racunnya 1 km dari danau. 10 tahun ke depan, sudah masuk ke danau racunnya. Sementara masyarakat kami sangat tergantung dari danau. Kami tolak.”

Sejalan dengan kesadaran lingkungan yang meningkat, ekowisata Danau Begantung pun mulai dirintis. Tiap wisatawan yang berkunjung akan dijemput menggunakan cess dan ditemani oleh warga Taruna Jaya. Peraturan tersebut dibuat agar warga dapat memastikan alat pancing yang digunakan ramah lingkungan. “Selain itu juga untuk berbagi pendapatan buat warga kampung.”

Umumnya, wisatawan dan para pemancing yang akan menjelajah Danau Begantung harus merogoh kocek Rp200 ribu per hari. Uang tersebut untuk sewa cess, bensin dan pemandu wisata. Itu juga sudah termasuk dengan sumbangan biaya pemeliharaan danau Rp 15 ribu.

Salah seorang pemancing, Niki Fales, seorang karyawan swasta asal Manado yang menetap di Palangkaraya mengaku terpesona dengan keindahan Danau Begantung.

“Karena disini masih bagus, masyarakatnya tak ada yang meracun ataupun menyetrum. Biasanya yang saya tangkap ikan toman (Giant Snakehead). Rata-rata disini yang pernah ditangkap ukurannya dua hingga lima kilogram.”

Suriansyah menyebutkan kesulitan dalam menjaga danau, adalah masih banyaknya dijumpai oknum-oknum luar dusunnya yang ingin merusak keindahan danau, termasuk tergoda menyetrum dan meracun ikan.

Demikian pula dampak kebakaran tahun lalu yang melanda hutan di sekitar danau juga mengganggu. Ikan menjadi  berkurang. Saat pohon-pohon masih lebat, di bawahnya banyak ikan. Jadi tempat berkembangbiak ikan-ikan.  Sekarang karena pohon-pohon terbakar, kalau surut ikan tak lagi berkumpul.

Vegetasi tersisa dari kebakaran lahan dan hutan tahun 2015. Foto: Indra Nugraha
Vegetasi tersisa dari kebakaran lahan dan hutan di Danau Begantung pada tahun 2015. Foto: Indra Nugraha

“Sekarang memang pohon-pohon sudah mulai tumbuh, tapi tak cepat.  Dulunya pepohonan lebat. Dulu ada blangiran (Shorea blangiran) dan pohon-pohon besar lainnya. Satwa liar juga dulunya banyak. Lima puluh meter masuk danau sudah bisa melihat orangutan, kalaweit, bekantan, sekarang hampir tak ada karena kebakaran. Sudah jarang. Biasanya, kalau musim kemarau, banyak orangutan turun ambil air di danau,” terangnya.

“Kami berkomitmen menjaga danau ini tetap lestari. Kami ga memikirkan kesenangan jangka pendek. Meracun dan menyetrum ikan, besoknya kaya tapi setelah itu ikan habis. Sedikit-sedikit saja. Memang dari turun temurun ga kaya, tapi kami menikmati hasil dari menjaga danau.” 

Suriansyah dan warga dusunnya pun berharap agar pemerintah dapat menganggarkan dana untuk penanaman kembali lahan hutan yang pernah terbakar. Karena sementara ini tak ada program penanaman yang dilakukan oleh warga.

“Kalau  memang ada dari pihak pemerintah yang memprogramkan, masyarakat pasti dukung,” tutupnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,