Laut adalah identitas. Ungkapan ini menjadi penanda yang melekat pada Suku Bajo. Orang-orang laut yang mendiami pesisir pantai, teluk, selat, dan kepulauan. Jejak para suku yang dikenal sebagai pengembara laut itu menyebar ke berbagai penjuru karang di Asia Tenggara, Australia, dan belahan dunia lainnya. Tak ada batas negara, melainkan imajiner. Di Indonesia, mereka tersebar mulai dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Maluku.
Rabu pagi, 17 Agustus 2016. Salah satu Suku Bajo yang mendiami pesisir barat Gorontalo di Teluk Tomini, yaitu di Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, menunjukan rasa nasionalisme dengan menggelar Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia.
Upacaranya tentu saja berbeda dengan orang di darat. Mereka membuat panggung ukuran 8 x 12 meter, ditambah papan yang menjorok ke depan sekira 10 meter hingga menyerupai huruf T. Tiang bendera berdiri di papan ini. Setiap sisi panggung berpelampung styrofoam. Dipasangi tenda, karpet hijau, dan dipenuhi hiasan berwarna merah serta putih.
Di sisi kiri, kanan, dan depan panggung; berjejer perahu tradisional. Siswa SD, SMP, SMA, dan masyarakat berdiri di perahu itu, menjadi peserta upacara. Jika anak-anak sekolah berseragam sesuai dengan tingkatannya, warga yang berada di depan panggung memakai pakian berbagai corak. Mulai kebaya, hitam putih, hingga batik.
Beberapa kali dilakukan gladi bersih untuk meminimalisir kesalahan, hingga gelaran itu dimulai pukul 09.00 waktu setempat. Lima orang menabuh rebana. Mereka berpakaian biru-biru, bersongkok dan selempang bendera merah putih. Jackson Sompah, Kepala Desa Torosiaje maju sebagai pemimpin upacara. Ia mengatur jalannya barisan. Sementara ketua adat, Sansang Pasandre membacakan teks proklamasi. Yang menjadi pembina upacara adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo.
Penaikan bendera untuk upacara ini terbilang unik. Seorang perempuan membawa baki bendera diarak lima penabuh rebana tadi dan dikawal ketua adat. Mereka berjalan di lorong-lorong kampung, kemudian naik perahu menuju panggung terapung.
Tiga orang pembawa bendera berpakaian putih-putih menyambut dan mengaraknya ke tiang. Bendera dinaikan, lagu Indonesia Raya berkumandang. Ribuan jiwa penghuni kampung terapung itu menyaksikan dari atas rumah mereka. Usai upacara, mereka bersorak dengan tangan mengibarkan bendera kecil. Selain menyanyikan lagu kebangsaan, mereka menyanyikan juga lagu berbahasa Bajo.
Menurut Jackson Sompah, upacara bendera semacam ini sudah direncanakan sejak tahun sebelumnya. Namun baru bisa dilaksanakan 2016. Upacara kemerdekaan secara terapung itu juga difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo, serta Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Laut (BPSPL) Makassar.
71 ribu mangrove
Usai upacara, ibu-ibu bersuka ria mengikuti lomba tarik tambang di atas perahu. Juga lomba dayung serta balap perahu menggunakan mesin tempel. Lomba ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang menyaksikan kemeriahan 17 Agustus di kampung Bajo.
Siangnya, perayaan kemerdekaan dilanjutkan dengan penanaman bibit mangrove sebanyak 71 ribu batang. Jumlah yang disesuaikan dengan usia kemerdekaan Republik Indonesia.
Tokoh masyarakat Bajo, Umar Pasandre, menjelaskan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga mangrove mulai terbentuk. Masyarakat mengatakan semakin sulit mencari ikan, hingga harus ke perairan Sulawesi Tengah. “Di beberapa titik, mangrove yang kami tanam beberapa tahun lalu tumbuh baik,” ungkap Umar.
Andry Indryasworo Sukmoputro, Kepala BPSPL Makassar yang ikut menanam mengatakan, kondisi mangrove di perkampungan Bajo di Torosiaje masih bagus. Menurutnya, di 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui UPT Dirjen Pengelolaan Ruang Laut mempunyai satu program prioritas, yaitu rehabilitasi wilayah pesisir dengan menanam 4 juta batang mangrove. Provinsi Gorontalo mendapat alokasi 230 ribu batang yang semuanya di tanam di Kabupaten Pohuwato.
“Saat ini yang kami kampanyekan adalah ‘Ayo tumbuhkan mangrove’. Kita tidak sekadar menanam, tapi menumbuhkan dan melestarikan.”
BPSPL Makassar bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato melakukan upaya restorasi mangrove dengan cara melakukan penanaman mangrove di hutan kota Kabupaten Pohuwato. Tujuannya, mengembalikan fungsi mangrove, seperti mencegah erosi dan abrasi.
“Pelaksanaannya swakelola, dibagi lima blok sehingga melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan, pembibitan, penanaman, hingga pemeliharaan. Jumat, 19 Agustus 2016, gerakan ayo tumbuhkan mangrove Pohuwato dicanangkan.”
Di perkampungan Bajo sendiri menurut Umar Pasandre, masih ada beberapa warga yang mengambil batang mangrove untuk kebutuhan, seperti sebagai sumber api untuk memasak. Namun, jumlahnya kecil dan sudah ada aturan. Kalau ingin mengambil, yang sudah mati. “Persoalan terbesar adalah alih fungsi untuk dijadikan tambak ikan bandeng atau udang.”
Selain mangrove, katanya, masih ada beberapa warga yang mengambil ikan menggunakan bom. Padahal, menurutnya, cara tersebut bukan budaya orang Bajo. Selain itu, praktik perburuan penyu yang dilindungi kerap terjadi. Belum lama ini kepolisian berhasil memergoki seorang nelayan di perairan Torosiaje, perkampungan terapung suku Bajo tengah mengangkut seekor penyu hijau.
“Perburuan terjadi karena ada permintaan. Satu ekor penyu dijual seharga Rp100-300 ribu. Tergantung ukuran.”
Masalah
Profesor Andi Ima Kesuma, guru besar dari Universitas Negeri Makassar, mengatakan ada persoalan internal yang dihadapi masyarakat Suku Bajo. Hal itu ia sampaikan pada seminar on Bajo Sea Nomad in Asia – Pacific yang bertajuk “Maritime Culture and Best Practices in the Management of Fisheries Resources” di Makassar, Oktober 2015.
Persoalan tersebut adanya jarak antara generasi tua dengan generasi muda mengenai filosofi kemaritiman. Pengeboman, penggunaan racun ikan, penambangan karang dan kerusakan lainnya disebabkan internalisasi generasi muda Suku Bajo yang tidak lagi sejalan dengan filosofi generasi tua. Salah satunya menjaga aturan yang sudah ada sejak nenek moyang.
Andi mengutip penelitian Profesor Moses Usman pada masyarakat Suku Bajo di Torosiaje. Kesenjangan pemahaman dan internalisasi budaya yang tidak berjalan baik menyebabkan masyarakat tidak lagi sejalan dengan konsep pemeliharaan ekosistem, sebagaimana yang sudah dilakukan nenek moyangnya.
“Meskipun penelitian tersebut tidak dilakukan pada semua Suku Bajo, paling tidak kesenjangan ini terjadi di masyarakat Suku Bajo Wakatobi.”
Berikutnya, berkorelasi dengan masalah di atas, perubahan ekonomi yang kompleks. Di satu pihak, ada perubahan umum dalam praktik cara hidup di laut ke pesisir. Di samping kebudayaan yang berkelanjutan dan kepentingan ekonomi, sebagian dari mereka mulai berpartisipasi pada pertanian sesuai anjuran pemerintah.
Namun, laut tetap menjadi tumpuan hidup mereka. Akan tetapi, katanya, ketika sudah bersentuhan dengan sistem ekonomi kapital di darat tentu akan mempengaruhi pola perekonomian. Mereka mendapatkan batu karang yang dijual untuk keperluan bangunan dengan kandungan kapurnya. Selain diekspor ke luar negeri atau dijadikan pondasi rumah.
“Dapat dibayangkan akibatnya, pertumbuhan karang tidak kurang dari satu meter untuk satu tahun. Jika Suku Bajo menghancurkan karang setinggi satu meter, butuh 100 tahun untuk mendapatkan karang seperti itu.”
Masalah eksternal, menurut Andi, dari segi pendidikan dan sarana pendukung untuk memaksimalkan potensi kemaritiman. Sebuah studi kasus menyebutkan, tingkat partisipasi sekolah masyarakat Suku Bajo hanya 0,5 persen. Artinya, kebanyakan mereka tidak melihat perbedaan penting antara yang sekolah dengan yang tidak. Belum lagi terkait pernikahan dini yang mengurangi jumlah generasi muda mereka untuk mengenyam pendidikan.
“Masalah lain yang juga mempengaruhi adalah ekonomi masyarakat yang amburadul,” jelanya.