Evaluasi Pertambangan di Jawa Timur Harus Dilakukan, Mengapa?

Konflik pertambangan di Lumajang, Jawa Timur, yang mengakibatkan tewasnya warga sekaligus aktivis lingkungan Salim Kancil, serta Tosan yang menjadi korban penganiayaan, harus dijadikan dasar pemerintah provinsi untuk mengevaluasi seluruh tambang yang ada di Jawa Timur.

Wakil Koordinator Malang Corruption Watch (MCW), Hayyik Ali, menuturkan konflik tambang di Lumajang sampai saat ini belum menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengevaluasi kembali perizinan dan praktik pertambangan. “Sampai sekarang belum ada audit dan evaluasi setelah kejadian Salim Kancil,” ujarnya Mongabay, Selasa (23/8/2016).

Hasil rekomendasi Korsub KPK menyebutkan, ada 152 izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa Timur yang bermasalah atau masuk kategori non clear and clean. Hal ini terkait tumpang tindihnya perizinan antara wilayah tambang dengan hutan lindung dan kawasan lain yang bukan merupakan area pertambangan. “Januari hingga Agustus 2015 saja, ada 500 lebih izin usaha baru diajukan, belum termasuk yang 2016.”

Tidak adanya audit atau evaluasi tambang inilah yang menurut Hayyik menjadi sumber konflik di kemudian hari, seperti sosial, kerusakan lingkungan, hingga korupsi. Malang Corruption Watch (MCW) mencontohkan, untuk Kabupaten Malang di 2014, potensi korupsinya mencapai Rp600 miliar. Selain itu, di Lumajang, sektor pertambangan pasir besi diduga merugikan negara hingga Rp120 miliar.

“Pada dakwan kasus pembunuhan Salim Kancil di persidangan terungkap tindak pidana korupsi senilai Rp3,4 miliar. Tapi, yang diusut di pengadilan pengeroyokan yang berujung kematian, bukan korupsinya.”

Potensi korupsi juga, dapat terjadi di tambang emas dan pasir pesi Silo (Jember), tambang emas Tumpang Pitu (Banyuwangi), serta beberapa daerah lain di Jawa Timur. “Kami mempertanyakan tindak lanjut pemerintah terhadap evaluasi atau audit pertambangan itu seperti apa. Sampai sekarang tidak ada penghentian, pemberian sanksi, atau pencabutan IUP bermasalah. Padahal sudah ada konflik sosial, ada yang meninggal, dan ada korupsi juga,” tegas Hayyik.

Lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan desa dan ribuan rumah di kawasan Porong, bukti praktik pertambangan yang merugikan masyarakat. Foto: Petrus Riski
Lumpur Lapindo yang menenggelamkan belasan desa dan ribuan rumah di kawasan Porong, bukti praktik pertambangan yang merugikan masyarakat. Foto: Petrus Riski

Berkeadilan

Konflik tambang dalam skala luas yang menjadi kasus perebutan sumber daya alam, menurut Direktur Sajogyo Institute, Eko Cahyono, cenderung ditutup pada level permukaan, dan tidak pernah dituntaskan sesuai hukum yang berlaku.

Eko mengatakan, konflik dan perebutan sumber daya alam seringkali dimenangkan oleh kelompok pemilik modal dengan mengalahkan masyarakat. Sementara negara, justru melegitimasi apa yang terjadi di dalamnya.

Kasus-kasus serupa, menurut Eko, dari banyaknya perizinan menjadi gambaran akar persoalan konflik sumber daya alam yang terjadi selama ini di Indonesia. Faktor keadilan cederung tidak diperhatikan atau tidak dipenuhi saat bersinggungan dengan rakyat, meski prosedur formal telah dipenuhi oleh perusahaan yang bergerak di bidang tambang, perkebunan maupun kehutanan. Seperti kasus tambang semen di Jawa Tengah, yang dilakukan di wilayah konservasi dengan cekungan air tanah di bawahnya, merupakan watak pertambangan yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat. “Watak-watak penambangan semacam ini yang juga terjadi di Jawa Timur, adalah watak yang lebih mendahulukan pertumbuhan ekonomi tapi mengabaikan keadilan sosial.”

Eko Cahyono mengungkapkan, hasil studi beberapa akademisi dari UGM dan IPB pada 2008 menyebutkan, Jawa harus dilihat sebagai pulau yang sudah mengalami krisis, baik daya tampung maupun daya dukung, sehingga tidak boleh lagi ada penambangan dan industri ekstraktif. “Sekarang saja sudah ada banjir dan abrasi di Lumajang, juga di Kendeng.”

Kajian Sajogyo Institute di 40 kasus masyarakat hukum adat di kawasan hutan, bekerja sama dengan Komnas HAM pada 2014-2015, menunjukan marginalisasi masyarakat disebabkan karena tiga hal, pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. “Tiga faktor ini merupakan titik rawan praktik-praktik korupsi yang memunculkan rasa ketidakadilan.”

Penataan agraria

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, konflik tambang seperti yang terjadi di Lumajang, merupakan peristiwa yang berakar pada keterlibatan mafia pertambangan serta politik ekonomi agraria yang mengalami ketimpangan. Kasus pembunuhan Salim Kancil, menjadi bukti bahwa peradilan tidak cukup bisa membawa kasus ini ke persoalan korupsi, hanya pidana biasa.

Herlambang yang juga Ketua Serikat Pengajar HAM Indonesia menambahkan, konflik tambang di Lumajang sebenarnya hanya satu dari sekian tempat pertambangan di Jawa Timur, yang menjadi sumbu pendek dan siap meletus. Dari register yang ditemukan, kawasan tanah hutan di Lumajang dapat masuk kemana-mana, mulai gunung hingga pesisir.

Persoalan tambang, lanjutnya, tidak dapat dilepaskan dari administrasi pertanahan zaman kolonial, yang sudah tidak relevan dan perlu ditinjau ulang. Pada masa kolonial, administrasi pertanahan dibuat di atas meja, bukan berdasarkan kondisi lapangan. Pemerintah harus punya inisiatif untuk melakukan penataan struktur, penguasaan, dan pemilikan agraria.

Moratorium atau bahkan penghentian izin-izin pertambangan harus dilakukan, bila terbukti ada kesalahan maupun memberikan rasa ketidakadilan terhadap masyarakat. Proses pertambangan yang non clean and clear harus dihentikan. “Dari pengamatan beberapa kali mengikuti kasus-kasus tambang di PTUN, manipulasi di level perizinan tinggi sekali untuk eksploitasi sumber daya alam,” tandasnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,